ILUSTRASI Para perintis psikologi Islam telah muncul sejak abad ke-10 M. | DOK REPRO BUKU Sustenance of the Soul

Dunia Islam

Siapakah Perintis Psikologi Islam?

Sejarah psikologi Islam merentang sejak dirintis pada abad ke-10 M.

Pada masa keemasan Islam, beberapa cendekiawan Muslim merintis perkembangan disiplin-disiplin ilmu. Terkait dengan psikologi, sosok Ibnu Sina (980-1037 M) memiliki pengaruh yang signifikan.

Dalam menggagas pemikirannya, ilmuwan yang oleh masyarakat Barat dikenal sebagai Avicenna itu mengadopsi gagasan-gagasan psikologi dari para filsuf Yunani Kuno, yang diselaraskannya dengan ajaran Islam. Ia mula-mula menukil pemikiran Aristoteles, yang menyebutkan bahwa manusia memiliki tiga jenis jiwa: vegetatif (tumbuhan), hewani, dan rasional (kecerdasan akal).

Sebelum Ibnu Sina, ada seorang tokoh psikologi lainnya. Bahkan, sosok ini disebut-sebut sebagai perintis psikologi Islam. Dialah Abu Zaid al-Balkhi (850-934 M). Pemilik nama asli Ahmad bin Sahl itu sesungguhnya adalah seorang pakar multidisiplin ilmu pengetahuan (polymath).

Bagaimanapun, jasanya dalam bidang ilmu jiwa begitu penting. Sehingga, dialah yang disebut-sebut sebagai perintis psikologi Islam.

Cendekiawan Persia itu menulis banyak karya. Di antaranya adalah Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Di dalamnya, ia memperkenalkan istilah terapi kesehatan jiwa atau thibb ar-ruhani.

 

 
Menurut al-Balkhi, pengobatan yang hanya berfokus pada kondisi fisik tidaklah cukup. Seorang dokter juga perlu memperhatikan aspek mental atau kejiwaan pasien.
 
 


Dalam masa sekarang, topik yang diusung sang cendekiawan Muslim itu kerap disebut sebagai psikosomatis. Ini merupakan kondisi ketika suatu penyakit fisik yang muncul diduga disebabkan atau diperparah oleh kondisi mental seseorang. Di antara gejala-gejala psikosomatis adalah jantung yang berdebar-debar, sesak napas, dan nyeri pada seluruh tubuh.

Rihlah yang dijalani al-Balkhi hingga menjadi ahli ilmu jiwa bermula sejak dini. Seperti tampak dari namanya, lelaki ini lahir di wilayah Balkh—kini termasuk Afghanistan. Ayahnya merupakan seorang guru. Demi mendukung kesuksesan anaknya, sang bapak pun mengirimkannya ke pelbagai syekh untuk menimba ilmu.

Hingga akhirnya, al-Balkhi merantau ke Baghdad. Selama delapan tahun, dirinya belajar dan bekerja di pusat Negeri Abbasiyah tersebut. Waktu itu, Abbasiyah sedang mengalami kekacauan politik dan sosial. Bahkan, wilayah kekhalifahan ini menyusut hingga menyisakan Baghdad dan sekitarnya.

Bagaimanapun, al-Balkhi tidak begitu terpengaruh oleh kondisi negara yang carut-marut. Dirinya tetap dengan tekun menuntut ilmu, melanjutkan tradisi intelektual Islam.

Melalui Masalih, ia mengkritik dunia kedokteran di masanya yang cenderung memusatkan perhatian pada penyakit fisik pasien. Padahal, menurutnya, banyak orang yang dirawat di rumah sakit pun mengalami gangguan kejiwaan.

 
Malahan, ia mengajukan hipotesis, penyakit fisik patut diduga mempengaruhi kondisi kognitif dan kejiwaan si pasien.
 
 

Malahan, ia mengajukan hipotesis, penyakit fisik patut diduga mempengaruhi kondisi kognitif dan kejiwaan si pasien. Pun berlaku sebaliknya: keadaan psikis seseorang yang terganggu bia menyebabkannya rentan terserang penyakit (fisik).

Al-Balkhi menjadi yang pertama mendeteksi perbedaan antara neurosis dan psikosis. Ia pun yang pertama kali merintis terapi kognitif dalam rangka mengkaji pengelompokan gangguan penyakit ini. Ilmuwan tersebut mengelompokkan penyakit mental-kejiwaan ke dalam empat bagian, yaitu ketakutan dan fobia (al-faza); agresi dan amarah (al-ghadab); kesedihan dan depresi (al-jaza); serta obsesi (was was al-sadr).

Sebagai contoh, untuk mengatasi al-jaza, seorang tabib dapat menerapkan terapi internal dan eksternal. Internal berarti, si pasien didorong untuk menanamkan pikiran-pikiran positif yang bisa menangkal kesedihannya.

Umpamanya, menguatkan keyakinannya bahwa kematian orang yang dikasihinya adalah takdir Allah SWT yang mengandung hikmah tertentu. Adapun terapi eksternal dapat dilakukan dengan memberikan nasihat atau membuka obrolan persuasif dengannya.

Di antara nasihat al-Balkhi yang terkenal ialah sebagai berikut.

 

 

 
“Kematian adalah keniscayaan. Janganlah engkau takut padanya. Jika engkau takut pada apa yang akan terjadi setelah kematian, perbaikilah dirimu sebelum kematian menjemputmu. Takutlah akan perbuatan-perbuatan jahat (yang engkau lakukan), bukan pada kematianmu!”
AL-BALKHI
 

 

Agar Resolusi tak Hanya Jadi Mimpi

Lebih rajin berolahraga adalah salah satu resolusi yang paling populer.

SELENGKAPNYA

Menjadi Muslim yang Kaya

Muslim yang kaya menjadi mulia karena kedermawanannya, bukan kekayaannya.

SELENGKAPNYA

Fatahillah, Ulama dan Panglima Perang

Berdirinya Kota Jakarta merupakan upaya Fatahillah saat menaklukkan Sunda Kelapa dari tangan Portugis.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya