Pedagang beras melayani pembeli di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Senin (11/3/2024). | Edi Yusuf/Republika

Iqtishodia

Stabilitas Harga Beras Terjaga, Keterjangkauan Masih Jadi Pekerjaan Rumah  

Stabilitas harga beras tidak hanya menyangkut kesejahteraan konsumen

OLEH Sahara (Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB), Aldho RI, Achmad IM, Wira BPRL (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian, IPB)

 


When essential food remains stable, a nation’s hope remains secure (ketika pangan pokok tetap stabil, harapan bangsa tetap terjamin). Bagi masyarakat Indonesia, beras bukan hanya identik dengan pangan pokok, namun juga memiliki dimensi sosial dan ekonomi serta sensitivitas politik yang tinggi. Fluktuasi harga yang tajam dapat memicu demonstrasi, keresahan sosial, hingga tekanan politik terhadap pemerintah Indonesia.

Stabilitas harga beras tidak hanya menyangkut kesejahteraan konsumen, namun juga berdampak pada petani selaku produsen. Harga beras yang stabil turut mendorong harga gabah yang stabil sehingga memberikan kepastian harga dan pendapatan petani, mendorong produksi, serta mampu memperkuat sektor pertanian nasional.

Stabilitas harga beras bukan hanya persoalan ekonomi pasar, namun juga terkait ketahanan pangan dan stabilitas sosial. Perubahan harga beras tidak banyak menyebabkan perubahan jumlah beras yang dikonsumsi karena preferensi pangan dan posisi beras sebagai sumber kalori utama masyarakat Indonesia. Namun, permintaan beras yang bersifat inelastis tersebut justru menjadikan stabilitas harga sebagai hal yang sangat penting.

Ketika harga beras naik, masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat mengurangi konsumsinya secara signifikan. Hal tersebut mengakibatkan tekanan terhadap pengeluaran pangan rumah tangga meningkat, memperburuk kemiskinan, dan menimbulkan keresahan sosial.

Kebijakan HET belum efektif

Pemerintahan Presiden Prabowo dimulai pada Oktober 2024. Dalam rangka menjaga stabilitas harga beras, pemerintah melakukan intervensi melalui pengaturan Harga Eceran Tertinggi (HET), subsidi distribusi, dan operasi pasar. Pada awal pemerintahan, kebijakan HET masih mengacu pada Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2024 (peraturan.bpk.go.id) yang menetapkan HET berdasarkan mutu serta kesesuaian kondisi pasar dan distribusi. Akibat kenaikan biaya produksi, pada Agustus 2025 pemerintah menaikkan HET melalui Keputusan Kepala Bapanas Nomor 299 Tahun 2025 (badanpangan.go.id/wiki/kebijakan).

HET beras medium Zona I (Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB, Sulawesi) mengalami kenaikan dari Rp 12.500 per kilogram menjadi Rp 13.500 per kilogram. Zona II (Sumatera selain Lampung dan Sumatera Selatan, NTT, Kalimantan) naik dari Rp 13.100 menjadi Rp 14.000 per kilogram. Zona III (Maluku dan Papua) naik dari Rp 13.500 menjadi Rp 15.500 per kilogram. Sementara itu, HET beras premium tidak mengalami perubahan.

Berdasarkan pencermatan penulis terhadap harga beras medium menggunakan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), HET yang ditetapkan pemerintah belum berjalan optimal. HET cenderung hanya berlaku di tingkat pasar produsen. Pada pasar tradisional, pasar modern, dan pedagang besar, HET tidak mampu menahan harga. Ketidakefektifan ini disebabkan minimnya informasi stok beras tiap wilayah secara real time, perbedaan ongkos produksi antarwilayah, keterlambatan respons harga gabah terhadap harga beras, serta faktor lainnya.

Harga beras masih tinggi meskipun swasembada terjadi

Kenaikan harga beras saat swasembada menggambarkan ketidakseimbangan antara tujuan stabilisasi harga dan peningkatan kesejahteraan petani. Pemerintah gencar memberikan insentif bagi petani melalui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Kebijakan ini berhasil mendorong produksi gabah pada 2025. Produksi beras Indonesia selama Januari–November 2025 mencapai 33,19 juta ton, meningkat 12,6 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024. Pemerintah menyatakan Indonesia berhasil swasembada beras dengan surplus 4 hingga 5 juta ton. Cadangan beras yang dikelola Bulog mencapai 4,2 juta ton, tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Implikasinya, Indonesia menghentikan impor beras pada tahun ini.

HPP efektif meningkatkan produksi, namun justru mendorong harga beras di pasar menjadi lebih tinggi. Bagi industri, kenaikan harga gabah meningkatkan biaya produksi sehingga harga beras ikut naik. Selain itu, struktur pasar yang oligopolistik membuat kekuatan industri dalam menentukan harga lebih besar dibandingkan konsumen.

Harga beras naik, panen raya tak banyak berpengaruh

Sepanjang 2025, harga beras menunjukkan tren kenaikan yang konsisten. Di akhir 2024, harga masih stabil di kisaran Rp 14.300 per kilogram. Memasuki Maret, terjadi penurunan tipis seiring masuknya panen awal. Namun, saat panen raya April, harga justru kembali naik ke sekitar Rp 14.500 per kilogram. Fakta ini mengindikasikan panen raya belum cukup kuat menahan tekanan harga. Puncak terjadi pada Agustus–September yang menembus Rp 15.100 per kilogram, sebelum sedikit melandai menjelang akhir tahun. Pola ini menunjukkan faktor distribusi dan biaya logistik lebih dominan dibandingkan siklus produksi.

Secara wilayah, kesenjangan harga antarprovinsi cukup mencolok. Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara masih berada di posisi atas dengan harga mendekati Rp 16.200–Rp 16.500 per kilogram. Namun, Sumatera Barat justru mencatat harga tertinggi, melampaui wilayah timur yang secara geografis lebih sulit diakses. Sebaliknya, Nusa Tenggara Barat mencatat harga terendah sekitar Rp 11.600 per kilogram, diikuti Jawa Timur dan Sulawesi Barat. Hal ini menunjukkan bahwa selain jarak, terdapat faktor lain yang memengaruhi harga.

Harga beras paling stabil di pasar tradisional

Harga beras bervariasi pada setiap rantai nilai. Harga terendah berada di tingkat pasar produsen, sedangkan tertinggi di pasar modern. Selama pemerintahan Prabowo, harga rata-rata beras di pasar tradisional tercatat Rp 14.156 per kilogram untuk kualitas bawah, Rp 15.530 per kilogram untuk kualitas medium, dan Rp 16.648 per kilogram untuk kualitas premium. Pasar tradisional menawarkan harga lebih kompetitif dibandingkan pasar modern dengan selisih Rp 890 hingga Rp 2.900 per kilogram.

Stabilitas harga tertinggi juga terdapat di pasar tradisional. Indeks coefficient of variation (CV) beras di pasar tradisional berkisar 1,44–1,94 persen, menandakan fluktuasi rendah. Kondisi ini terjadi karena keseimbangan informasi harga antara penjual dan pembeli serta struktur pasar yang mendekati persaingan sempurna.

Sebaliknya, harga beras di pasar modern cenderung lebih fluktuatif dengan nilai CV antara 1,48–2,78 persen. Beras kualitas bawah di pasar modern dijual melalui sistem kupon dengan pembatasan dua kemasan lima kilogram per transaksi.

Karakteristik harga dan fluktuasi tiap wilayah

Harga stabil namun tinggi dijumpai di Sumatera Barat (Rp 16.703 per kilogram; CV 1,75) dan Papua Barat (Rp 16.452 per kilogram; CV 1,60). Ini menunjukkan persoalan utama terletak pada level harga yang mahal secara konsisten.

Harga rendah namun fluktuatif terjadi di Sulawesi Tengah (Rp 14.245 per kilogram; CV 7,12) dan Sulawesi Utara (Rp 14.589 per kilogram; CV 7,51). Kondisi ini berisiko memicu inflasi lokal.

Harga rendah dan stabil ditemukan di Yogyakarta (Rp 13.896 per kilogram; CV 1,20) dan Jawa Barat (Rp 14.142 per kilogram; CV 1,15). Kedua wilayah ini dapat menjadi benchmark karena didukung akses distribusi dan struktur pasar yang kompetitif.

Harga tinggi dan fluktuatif dijumpai di Gorontalo (Rp 14.978 per kilogram; CV 5,97) dan Sulawesi Barat (Rp 13.589 per kilogram; CV 5,31). Kondisi ini berisiko terhadap daya beli dan stabilitas pangan.

Kebijakan stabilisasi berhasil, tetapi perlu restrukturisasi

Stabilitas harga beras tidak sepenuhnya diikuti kepatuhan terhadap HET meskipun swasembada tercapai. Pemerintah perlu memperketat pengawasan harga, meningkatkan koordinasi antarlembaga, serta memberikan sanksi tegas terhadap praktik moral hazard.

Sinergi pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen menjadi kunci keberhasilan stabilisasi harga. Perhatian khusus perlu diberikan pada wilayah dengan harga tinggi dan fluktuatif seperti Gorontalo dan Sulawesi Barat melalui subsidi logistik, pengawasan stok, operasi pasar, serta mekanisme kuota dan kupon yang tepat sasaran.

Peningkatan total factor productivity (TFP) melalui teknologi, mekanisasi, benih unggul, irigasi, dan praktik budidaya yang baik menjadi kunci menekan biaya produksi. Dengan efisiensi meningkat, petani memperoleh pendapatan lebih baik, sementara konsumen menikmati harga beras yang lebih terjangkau.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat