Hiwar
Tantangan dan Peluang Kampus Muhammadiyah
Kampus-kampus Muhammadiyah dan Aisyiyah sigap hadapi tantangan di masa depan.
Sebagai gerakan Islam berkemajuan, Muhammadiyah terus berkontribusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan kemanusiaan pada umumnya. Dalam hal pengembangan perguruan tinggi, persyarikatan ini kian menebar maslahat.
Berdasarkan data Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah, terdapat 173 unit perguruan tinggi yang bernaung di bawah organisasi ini. Ratusan kampus itu tidak hanya berdiri di dalam, melainkan juga luar negeri.
Menurut Sekretaris PP Muhammadiyah Muhammad Sayuti PhD, saat ini ada berbagai tantangan yang dihadapi PTMA. Becermin pada pencapaian dan raihan di sepanjang tahun 2022, ia mengaku optimistis, Persyarikatan mampu mengatasi itu semua.
Seperti apa tantangan dan juga peluang PTMA kini dan nanti? Selain itu, bagaimana Muhammadiyah terus meningkatkan perannya di bidang pendidikan tinggi?
Berikut ini adalah wawancara wartawan Republika, Muhyiddin, dengan Dekan FKIP UAD tersebut, beberapa waktu lalu.
Apa saja tantangan utama yang kini dihadapi perguruan tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) pada umumnya?
Jumlah PTMA sekarang adalah 173 unit. Itu terdiri atas sembilan PTA dan 164 PTM, termasuk UMAM (Universiti Muhammadiyah Malaysia). Saya kira, fakta itu adalah salah satu capaian yang luar biasa bagi Persyarikatan Muhammadiyah.
Bahkan, ketika universitas-universitas negeri belum bisa mendirikan kampus di luar negeri—alhamdulillah atas berkat rahmat Allah SWT—Muhammadiyah bisa melakukannya. Persyarikatan ini menjadi satu-satunya institusi yang dapat mewujudkan kampus Indonesia di luar negeri.
Kalau dari sisi kuantitatif, insya Allah Muhammadiyah termasuk yang terbesar, mungkin pula di level dunia. Nah, tantangannya ada beberapa. Pertama, pada aspek kualitas. Ini adalah perjalanan yang panjang.
Seperti apa tantangan dari segi kualitas?
Dari seluruh 173 PTMA, sudah muncul sekitar 20 kampus yang cukup besar. Mereka pun cenderung lebih maju daripada kampus-kampus negeri. Namun, persaingan perguruan tinggi bukan hanya pada skala nasional, tetapi juga internasional.
Aspek-aspek kualitas pun banyak. Misalnya, soal sumber daya manusia (SDM), riset, sarana prasarana, laboratorium, akreditasi, dan rekognisi internasional. Semua itu menjadi tantangan bagi Muhammadiyah.
Kalau kita berbicara tentang perguruan tinggi di Indonesia, kualitasnya masih sangat jauh dibandingkan dengan kampus-kampus di sejumlah negara maju. Kampus-kampus yang terbaik di dalam negeri mungkin peringkatnya masih 500 besar atau bahkan 1.000 besar dunia. Apalagi, kalau raihan Nobel, umpamanya, disinggung. Belum ada kampus di Indonesia yang (akademisinya) mendapatkan itu.
Tantangan terbesar adalah pada segi SDM. Ini adalah intinya inti (core of the core). Penguatan SDM tentu berdampak pada kualitas riset, inovasi, pembelajaran, dan lain sebagainya dari setiap kampus. Itu menjadi tantangan utama yang dihadapi PTMA.
Bagaimana dengan aspek pemerataan pertumbuhan antarkampus PTMA?
Saya kira, ketimpangan pertumbuhan tidak hanya terjadi di PTMA, tetapi juga kampus-kampus negeri. Bisa dikatakan, ini problem yang “Indonesia banget.” Sebab, ada macam-macam kendala kesenjangan; mulai dari soal geografis, ekonomi, infrastruktur, dan lain-lain.
Banyak PTM di Pulau Jawa yang relatif maju. Di luar Jawa pun ada yang demikian. Sebagai contoh, Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara. Itu juga luar biasa. Akreditasi institusi, termasuk fakultas kedokterannya juga unggul. Itu salah satu bukti, Muhammadiyah cukup kapabel membangun kampus-kampus secara merata. Kemajuan bukan hanya di Jawa, tetapi juga Sumatra, misalnya.
Apakah masih ada kesenjangan di kampus-kampus PTMA?
Soal kesenjangan di PTM ini, panjang ceritanya. Bila (kesenjangan) dilihat dari sisi umur kampus, ada yang sudah 60 tahun berdiri. Namun, ada pula yang baru beberapa hari. Dari segi jarak, ada yang berdiri di daerah-daerah dekat perbatasan, seperti Kalimantan Utara, Batam (Kepulauan Riau), dan Papua.
Bagi kami, ini adalah sunatullah. Tidak bisa salah menyalahkan. Namun, aspek keunggulannya justru terasa signifikan di lokal masing-masing. Misal, di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) ada UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) dan UAD (Universitas Ahmad Dahlan) yang bersaing sangat ketat dengan UGM.
Di Kalteng, ada Universitas Muhammadiyah Palangkaraya yang justru menjadi alternatif pertama bagi para lulusan SMA di luar kampus-kampus negeri. Keadaan serupa pun jamak ditemui di daerah-daerah lain, seperti Sumatra Selatan atau Aceh.
Makanya, jangan hanya menggunakan parameter Jakarta atau Yogyakarta, misalnya. Kita mesti melihat juga dengan parameter lokal masing-masing. Saya kira, ketika kampus Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah menjadi pilihan pertama sesudah (kampus) negeri, itu berarti PTMA sesungguhnya punya prestasi, minimal dalam konteks lokal.
Bagaimana mengatasi problem kesenjangan itu?
Kalau dibandingkan dengan ormas lain, kampus-kampus biasanya dimiliki entitas yayasan yang berbeda-beda. Keadaannya begitu meskipun mungkin kesannya mereka berada dalam satu wadah ormas besar.
Sementara, Muhammadiyah sangat diuntungkan karena semua PTMA—yang tersebar mulai dari Aceh hingga Papua atau bahkan luar negeri—berada dalam satu nafas, satu badan hukum, dan satu entitas—yakni Muhammadiyah. Kami bersyukur sekali, para pendahulu melakukan penyelarasan itu.
Sistem seperti itu mungkin tidak ada di kampus-kampus lain. Sebab, kami memang disatukan oleh ikatan Persyarikatan dan kesamaan badan hukum. Maka seluruh aset PTMA di manapun berada berstatus hanya sebagai aset Persyarikatan Muhammadiyah.
Keselarasan ini yang kemudian dimanfaatkan Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah untuk melakukan pembinaan tanpa henti. Majelis Dikti juga menerapkan resource sharing, expert sharing, dan sharing experiences. Misalnya, sebuah PTMA yang sudah maju dan berpengalaman dapat membina “adik-adiknya,” yakni kampus yang belum maju atau belum lama didirikan. Pembinaan tidak hanya berkaitan dengan SDM, sarana, atau prasarana, melainkan juga pendanaannya.
Dengan terus mendorong sharing experiences atau sharing knowledge, harapannya hal itu dapat mempercepat kemajuan seluruh PTMA. Kalau saya istilahkan, “Mari kita mempercepat kemajuan, mari kita memperpendek penderitaan". Kampus-kampus baru, misalnya, jangan menderita terlalu lama. Maka cara efektifnya adalah, belajar dari PTMA yang lebih dahulu maju.
Hingga tahun 2022 ini, apa saja raihan yang telah dicapai PTMA?
Alhamdulillah, pada tahun 2022 ini banyak PTMA yang menuai prestasi. Dan, ini pun merupakan sebuah tradisi dari PTMA agar kian berdaya saing. Misalnya, Universitas Muhammadiyah Aceh pada tahun ini memperoleh anugerah universitas swasta terbaik se-Lembaga Layanan Dikti Wilayah Aceh. Kemudian, Universitas Muhammadiyah Sorong di Papua Barat menjadi kampus terbaik negeri dan swasta se-Papua Barat.
Tentu, raihan-raihan dari Jawa ada banyak sekali. Banyak yang berasal dari UMY, UAD, dan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bahkan, Universitas Muhammadiyah Malang hampir tiap tahun selalu menjadi kampus terbaik se-Lembaga Layanan Dikti Wilayah Jatim.
Kemudian, dari segi publikasi jurnal terindeks Scopus, misalnya, UAD juga banyak menorehkan prestasi. Bahkan, kampus-kampus yang negeri saja berat untuk menandingi capaian publikasi yang tersitasi internasional.
Terkait akreditasi (fakultas) kedokteran, misalnya. Program pendidikan dokter dan profesi dokter di UMY itu sudah terakreditasi unggul. Begitu pula keadaannya di Univeritas Muhammadiyah Sumut. Fakultas kedokteran dan profesi kedokterannya juga terakreditasi unggul.
Tentu, capaian-capaian ada banyak sekali. Dalam Anugerah Dikti yang teranyar, ada banyak sekali PTMA yang mendapat penghargaan. Peringkat kampus-kampus kami—termasuk UMY, UM Malang, UM Surakarta, dan UAD—pada tahun-tahun belakangan berjejer dengan kampus-kampus top di Tanah Air.
Kami akui, PR pun masih banyak. Bagaimanapun, kami tetap bersyukur ke hadirat Allah. PTMA adalah kampus yang cari uang sendiri, cari mahasiswa sendiri, dan membangun sendiri. Alhamdulillah, kualitasnya ternyata tidak berbeda jauh dengan kampus-kampus negeri yang dibiayai negara.
Bagaimana rencana dan strategi ke depan untuk tahun 2023?
Strategi kami ke depan tentu adalah konsolidasi. Jumlah PTMA saat ini, yakni 173 unit, terbilang sangat banyak. Sekarang, total universitas Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah adalah 80 unit. Dan, sudah mulai banyak kampus PTMA yang merger sehingga melahirkan universitas baru. Itu terjadi misalnya di Cirebon dan Bogor raya (Jabar) serta Sampit (Kalteng). PTMA di Maumere (NTT) pun akan berubah bentuk jadi universitas.
Saya kira, merger itu menjadi salah satu strategi. Maka, Muhammadiyah harus melakukan dan terus menguatkan konsolidasi internal. Untungnya, semua PTMA berada dalam satu badan hukum dan satu kepemilikan sehingga lebih mudah bertransformasi atau merger.
Bahkan, pemerintah pusat maupun daerah pun berharap banyak PTMA yang merger. Namun, kami pun tentu mesti melihat secara realistis. Karena itu, konsolidasi SDM dan finansial mesti terus menerus dilakukan dan ditingkatkan.

Wajah Baru Pimpinan Pusat
Pasca-Muktamar ke-48, Muhammadiyah tetap dipimpin duo pejawat, yakni Prof Haedar Nashir dan Prof Abdul Mu’ti—masing-masing sebagai ketua umum dan sekretaris umum. Walaupun nakhodanya tidak berubah, komposisi pimpinan pusat (PP) persyarikatan itu merepresentasikan kebaruan dan sekaligus semangat untuk terus merespons tantangan zaman.
Satu aspek yang mencuat dari susunan itu adalah kepaduan antara generasi senior dan muda. Beberapa nama yang termasuk dalam jajaran PP Muhammadiyah masa bakti 2022-2027 adalah figur-figur muda. Mereka telah cukup lama berkiprah melalui gerakan Islam ini.
Di antaranya adalah Muhammad Sayuti PhD. Dekan FKIP Universitas Ahmad Dahlan (UAD) itu diberi amanah sebagai seorang sekretaris PP Muhammadiyah. “Saya diminta menjadi sekretaris PP Muhammadiyah, menemani Mas Mu’ti,” ujarnya kepada Republika, baru-baru ini.
Ia mengawali karier sebagai peneliti di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Setelah itu, Sayuti menjadi dosen magister pendidikan guru vokasi di UAD Yogyakarta. Sejak awal Agustus 2022, dirinya didaulat sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) kampus setempat.
Menurut alumnus Wollongong University Australia tersebut, salah satu agenda besar persyarikatan ini adalah internasionalisasi Muhammadiyah. Itu ikhtiar kolektif untuk memperluas syiar dakwah hingga ke mancanegara. Internasionalisasi itu tidak hanya memperkenalkan Muhammadiyah, dengan membawa nama baik Indonesia ke tataran dunia.
Usaha ini juga hendak menempatkan Persyarikatan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kaum Muslimin secara global. Untuk itu, lanjut Sayuti, gerakan keislaman ini perlu terus menerus menghadirkan tata kelola yang lebih baik dan gesit.
“Saya sendiri lebih suka untuk berfokus pada bagaimana secara organisasi Muhammadiyah menjadi lebih gesit lagi, lebih tertata manajemennya,” kata dia.
Menanti Jariah Baru Republika
Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain.
SELENGKAPNYAMasjid Al Jabbar Kearifan Islam di Jawa Barat
Al Jabbar menjadi tempat sujud yang memancarkan cahaya kearifan.
SELENGKAPNYAPerjalanan Penuh Makna
Masih banyak sekali hal yang harus disempurnakan dari perjalanan ini.
SELENGKAPNYA