ILUSTRASI Wujud moderasi beragama antara lain ialah mewujudkan perdamaian. | DOK REP Rahmawati Lalang

Kitab

Moderasi Beragama, Gerakan Tanpa Akhir

Karya mantan menteri agama ini memaparkan penjelasan tentang perspektif wasathiyah.

Moderasi beragama merupakan gerakan penyadaran yang tidak ada akhirnya, gerakan yang never-ending. Wacana dan sekaligus praksis ini digagas dan terus dipromosikan di Indonesia.

Namun, di Tanah Air gagasan ini kerap disalahpahami oleh masyarakat, di antaranya karena tidak dapat membedakan antara beragama dan agama. Padahal, beragama itu sendiri berbeda dengan agama. Agama sudah pasti benarnya. Sedangkan beragama merupakan proses yang terus diikhtiarkan agar tidak berlebih-lebihan.

Karena itu, moderasi beragama itu harus terus diupayakandaan secara terus menerus. Di antaranya melalui penerbitan buku berjudul Moderasi Beragama: Tanggapan Atas Malasah Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya ini.

 
Moderasi beragama merupakan gerakan penyadaran yang tidak ada akhirnya.
 
 

Buku ini ditulis oleh mantan Menteri Agama periode 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin. Ia adalah Mustasyar (penasihat) Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat. Lukman menerima gelar kehormatan dalam bidang Pengkajian Islam Peminatan Moderasi Beragama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2022.

Pria kelahiran Jakarta, 25 November 1962 ini adalah anak dari pasangan Saefuddin Zuhri dan Solichah. Bapaknya adalah menteri agama pada zaman Presiden Sukarno, tepatnya pada periode 1962-1968.

Sejak kecil Lukman sudah terbiasa dengan lingkungan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Ia pernah menempuh pendidikannya di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur dan selesai pada usia 21 tahun. Setelah itu, Lukman kuliah di Fakultas Dakwah, Universitas Islam As-Syafiiyah, Jakarta.

photo
ILUSTRASI Musyawarah untuk mencapai mufakat adalah salah satu ciri ajaran Islam, moderasi. - (DOK PXHERE)

Setelah menjadi menteri agama, Lukman Hakim kemudian mencetuskan program Moderasi Beragama. Buku ini merupakan salah satu ikhtiar Lukman untuk menggaungkan moderasi beragama di tengah-tengah masyarakat.

Awalnya, buku ini lahir karena adanya keinginan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menganugerahinya gelar Doktor Honoris Causa. Lalu, ia melakukan refleksi sekaligus evaluasi atas proses mensosialisasikan gagasan mengenai moderasi beragama.

 
Moderasi beragama sejatinya adalah nilai moral yang diangkat dari esensi agama.
 
 

Menurut Lukman, selama dua tahun terakhir muncul aneka masalah, kesalahpahaman, dan bahkan tuduhan tak berdasar terkait Moderasi Beragama. Maka, empat bulan waktu yang ada jelang penganugerahan gelar doktor tersebut ia manfaatkan untuk melahirkan buku ini.

Buku ini memuat enam pembahasan utama. Pada bagian pertama mengupas tentang urgensi Moderasi Beragama. Lukman menjelaskan, moderasi beragama sejatinya adalah nilai moral yang diangkat dari esensi agama, sehingga relevan digunakan untuk meningkatkan kualitas beragama bagi individu maupun komunitas.

Menurut Lukman, Moderasi Beragama tidak bersifat eksklusif melanikan inklusif, sehingga setiap agama mempunyai titik temu dalam mengupayakan kemaslahatan bersama melalui jalan tengah sebagai cara beragama yang paling ideal.

Pada bagian kedua, kemudian Lukman mengupas tentang pokok-pokok moderasi beragama. Penulis mengungkapkan bahwa setiap agama mengandung tiga hal pokok, yaitu aspek keyakinan, aspek ritual, dan aspek perilaku. Menurut dia, seorang pemeluk agama yang moderat tak bakal kesulitan memilah wilayah-wilayah pokok agama untuk direspons sesuai tingkatannya.

Sebagai wujud sikap tengah, Moderasi Beragama dirumuskan penulis dalam satu kalimat. Menurut Lukman, Moderasi Beragama merupakan cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama, yang melindungi marbat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Selanjutnya, pada bagian ketiga, penulis menjelaskan Moderasi Bergama sebagai solusi atas berbagai konflik beragama yang terjadi di Indonesia. Pada bagian ini, penulis menyampaikan pandangannya tentang status agama Baha’i, kisruh Syiah di Sampang, Gerakan ISIS, peristiwa Tolikara, dan pembakaran gereja di Aceh Singkil.

Pada bagian keempat, Lukman kemudian membahas tentang pentingnya menyuarakan moderasi beragama. Yang menarik, penulis juga menceritkan kisah media dalam memperjuangkan Moderasi Beragama. Demi Indonesia yang lebih baik, menurut Lukman, suara moderat tak boleh kehilangan panggung. Diseminasi informasi yang memperkuat moderasi beragama hendaknya dilakukan secara terus menerus ke publik.

 
Diseminasi informasi yang memperkuat moderasi beragama hendaknya dilakukan secara terus menerus ke publik.
 
 

Menurut Lukman, harus diyakini bahwa sebuah pola komunikasi publik yang sehat terkait isu-isu keagamaan penting diciptakan, bahkan konsepsi moderasi beragama perlu dijadikan perspektif komunikasi publik yang khas. Inilah, yang kata dia, pernah dilakukan sejumlah awak redaksi Republika di awal tahun berdirinya koran bernafaskan Islam ini pada 1990-an.

Pada bagian ini, Lukman banyak bercerita tentang Republika. Ia mengambil contoh Republika karena koran harian umum ini memberikan porsi yang besar pada isu keagamaan, topik yang amat sensitif di publik Indonesia. Ia menegaskan bahwa gerakan memasyarakatkan moderasi beragama sesungguhnya telah dilakukan jauh hari sebelum terma moderasi beragama kini menggema.

Pada bagian kelima, penulis mengupas tentang ragam perspektif Moderasi Beragama. Sedangkan pada bagian terakhir, membahas kekeliruan memahami moderasi beragama. Pada bagian terakhir ini lah Lukman menjawab tuduhan-tuduhan tak berdasar terkait Moderasi Beragama.

photo
Buku ini memaparkan pengertian tentang konsep dan wacana moderasi beragama. - (DOK IST)

Di sini, penulis mencatat sejumlah tuduhan terhadap wacana Moderasi Beragama. Di antaranya, Moderasi Beragama dianggap sebagai aliran baru dalam agama, menjauhkan umat dari agamanya, dan dianggap memisahkan warga dari agama.

Menurut Lukman, masih banyak lagi anggapan lain yang menurut penulis perlu diklarifikasi. Menanggapi beberapa anggapan dan tuduhan itu, dia pun mengajak kepada para pembaca untuk lebih mencermati lagi pengertian tentang Moderasi Beragama.

Karya terbaru Lukman Hakim Saifuddin ini sudah dicetak untuk kedua kalinya setelah cetakan yang pertama diterbitkan pada Mei 2022 lalu. Buku merupakan sebuah ikhtiar agar umat beragama di Indonesia memiliki paham atau amalan keagamaan yang tidak berlebih-lebihah, tidak melampaui batas, dan tidak ekstrem. Buku ini layak menjadi bacaan wajib bagi umat beragama di Indonesia.

Menanti Jariah Baru Republika

Republika dalam hal ini harus mempersonifikasi dengan Ibnu Khaldun, bukan yang lain.

SELENGKAPNYA

Masjid Al Jabbar Kearifan Islam di Jawa Barat

Al Jabbar menjadi tempat sujud yang memancarkan cahaya kearifan.

SELENGKAPNYA

Menapak Dunia Baru

Menapaki dunia baru bagi Republika digital merupakan pilihan berani yang niscaya.

SELENGKAPNYA