
Internasional
Sekjen PBB: Kerja Sama Hadapi Pandemi Baru
Dunia mewaspadai pelaku perjalanan dari Cina.
WASHINGTON -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa Covid-19 tidak akan menjadi epidemi atau pandemi terakhir yang dihadapi umat manusia. Dia menyerukan dunia bersatu dan bekerja sama dalam menghadapi risiko pandemi berikutnya.
“Dunia harus bersatu. Covid-19 adalah peringatan,” kata Guterres dalam rangka memperingati International Day of Epidemic Preparedness yang dilakukan setiap 27 Desember atau jatuh pada Selasa lalu.
Guterres menjelaskan, pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak luar biasa. Ratusan juta orang di dunia jatuh sakit dan jutaan di antaranya meninggal. Perekonomian global tersungkur. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terhempas dari jalur.
“Sebagai komunitas global, kita harus memperhatikan pelajaran keras dari Covid-19 dan melakukan investasi yang berani dalam kesiapsiagaan, pencegahan, serta respons pandemi,” ujar Guterres.
Selain itu, Guterres juga menyoroti perlunya melawan momok misinformasi dan pseudosains dengan sains serta informasi berbasis fakta. Hal itu juga dianggap penting guna meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat.
“Pada peringatan International Day of Epidemic Preparedness ini, saya mendesak semua negara untuk berdiri dengan upaya kita untuk memastikan dunia diperlengkapi dan siap menghadapi tantangan kesehatan yang akan datang,” kata Guterres.
International Day of Epidemic Preparedness pertama kali diperingati pada 27 Desember 2020 lewat keputusan Majelis Umum PBB. Tujuan dari peringatan itu adalah mengadvokasi pentingnya pencegahan, kesiapsiagaan, dan kemitraan untuk melawan epidemi.
Dunia waspada
Beberapa negara telah mengambil tindakan dengan melakukan pembatasan terhadap pengunjung yang berasal dari Cina. Langkah itu dilakukan setelah Jepang, India, dan Malaysia mengumumkan pengetatan aturan dalam 24 jam terakhir karena kasua infeksi naik di Cina.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) dapat memberlakukan tindakan yang sama bagi pengunjung dari Cina. Menurut pejabat Pemerintah AS pada Selasa (27/12), pertimbangan diambil akibat kekhawatiran tentang kurangnya data transparan yang diberikan oleh Pemerintah Cina.
“Ada kekhawatiran yang meningkat di komunitas internasional tentang lonjakan Covid-19 yang sedang berlangsung di Cina dan kurangnya data transparan, termasuk data urutan genom virus, yang dilaporkan dari Cina,” kata pejabat tersebut.
Sebelumnya, Pemerintah Jepang mengatakan, pengunjung dari Cina memerlukan tes Covid-19 negatif pada saat kedatangan. Bagi yang dites positif di Jepang, pengunjung dari Cina harus menjalani karantina selama seminggu.

Tokyo juga berencana membatasi maskapai yang meningkatkan penerbangan ke Beijing. Sedangkan Malaysia menerapkan langkah-langkah pelacakan dan pengawasan tambahan untuk pengunjung dari wilayah itu. Filipina juga mempertimbangkan untuk memberlakukan tes.
Sikap beberapa negara yang lebih waspada terhadap pengunjung dari Cina akibat laporan lonjakan kasus di wilayah itu. Kondisi itu terjadi usai Cina mengumumkan pelonggaran lebih lanjut dari program "zero-Covid" pada 8 Januari.
Platform Qunar mengatakan, melihat peningkatan tujuh kali lipat dalam pencarian penerbangan internasional dalam 15 menit. Jepang, Thailand, dan Korea Selatan termasuk di antara tujuan teratas yang ditelusuri di kedua platform tersebut.
Statistik resmi Cina menunjukkan tiga kematian akibat Covid-19 dalam tujuh hari hingga Selasa (27/12). Namun, laporan ini justru memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan penduduk tentang data pemerintah.
Angka-angka tersebut tidak konsisten dengan fakta lain. Terlebih lagi beberapa rumah sakit dan rumah duka di Cina telah kewalahan karena virus menyebar tanpa terkendali di seluruh negara berpenduduk 1,4 miliar orang itu.
Hampir Semua Daerah Siap Bila PPKM Dicabut
Keputusan PPKM masih menunggu kajian dari Kementerian Kesehatan dan para pakar serta epidemiolog.
SELENGKAPNYAKembali ke Jurnalisme, Kembali ke Republika
Republika hadir dengan standar jurnalisme profesional.
SELENGKAPNYA