
Kitab
Telaah as-Suyuthi atas Histori Islam
Melalui buku ini, Jalaluddin as-Suyuthi menyajikan narasi sejarah secara kritis.
Sejarah adalah cabang pengetahuan yang membahas masa lalu. Tujuannya bukanlah semacam nostalgia. Seorang sejarawan mempelajari dan mengonstruksi kejadian-kejadian silam, untuk kemudian mengaitkannya dengan kondisi kekinian. Pada akhirnya, ia mengajak masyarakat untuk berefleksi pada pelbagai peristiwa.
Pada abad ke-15 M, hiduplah seorang Muslim ahli sejarah, Jaladuddin as-Suyuthi. Seperti halnya sejarawan era modern, sarjana Mesir itu melakukan telaah yang kritis atas peristiwa-peristiwa masa lalu. Ia menyisir sumber-sumber kredibel untuk dapat menemukan berbagai fakta historis yang penting untuk diketahui umat.
Sebagai contoh, murid Syaikhul Islam Taqiyuddin al-Manaawi itu menyatakan, bukanlah Umar bin Khattab yang pertama kali menggunakan atau memopulerkan penanggalan Hijriyah. Sistem itu memang sering kali dipahami berlaku beberapa tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yakni pada masa sang khulafaur rasyidin. Namun, menurut as-Suyuthi, dalam hal ini Rasulullah SAW adalah pelopor yang sesungguhnya.
Sejarawan Muslim abad pertengahan itu memperoleh informasi tersebut dari seorang gurunya, Bulqaini. Riwayat secara lisan itu pun menyambung hingga Ibnu Syihab az-Zuhri. Dituturkannya, Rasul SAW pernah memerintahkan penanggalan. Tambahan pula, Ibnu Asakir membenarkan penuturan tersebut.
Dalam hal ini, Ibnu Asakir menukil pernyataan Ibnu Shalah. Ulama pakar ilmu hadis itu memperoleh data yang menegaskan, bukanlah Khalifah Umar yang pertama kali memerintahkan penanggalan. Keterangan itu pun tercatat dalam kitab Fii as-Syuruth karya Abu Thahir Ibnu Mahmasy.
Di dalamnya, terdapat catatan peristiwa ketika Rasulullah SAW hendak bersurat kepada kaum Nasrani di Najran.
Di dalamnya, terdapat catatan peristiwa ketika Rasulullah SAW hendak bersurat kepada kaum Nasrani di Najran. Beliau menugaskan Ali bin Abi Thalib untuk menulisnya. Atas instruksi Nabi SAW, pada awal surat tersebut tertera sebagai berikut, “Surat ini ditulis pada hari kelima sejak Hijrah.” Maka dari itu, as-Suyuthi menyimpulkan, al-Musthafa adalah peneguh awal kalender Hijriyah. “Umar hanya mengikuti,” tulisnya.
Itu adalah sepenggalan cerita yang dapat dilihat pada salah satu karya as-Suyuthi dalam bidang ilmu sejarah, Asy-Syamarikh fii ‘Ilm at-Tarikh. Seperti tampak pada judulnya, penulisan kitab itu merupakan ikhtiar untuk mengulas pelbagai fakta sejarah Islam. Urgensinya terletak pula pada rekonstruksi histori dengan seakurat mungkin.
As-Suyuthi mungkin belum mencapai kaliber para cendekiawan Muslim lainnya yang menekuni ilmu sejarah. Ambil contoh, Ibnu Sa’ad dengan Thabaqat al-Kubra, Thabari dengan Tarikh, atau Ibnu Katsir melalui Al-Bidayah wa an-Nihayah.
Yang dilakukan alim dari abad kesembilan Hijriyah itu “hanya” menelusuri dan kemudian merangkai fakta-fakta masa silam yang tercecer di referensi-referensi utama tersebut.
Manuskrip Asy-Syamarikh fii ‘Ilm at-Tarikh diketahui merupakan salah satu koleksi Perpustakaan al-Azhar Kairo, Mesir. Wujudnya memang jauh dari bentuk semacam ensiklopedia. Malahan, tampilannya cenderung sederhana. Meskipun demikian, informasi-informasi kesejarahan di dalamnya tetap bernas dan berkualitas.
Buku ini terdiri atas tiga bab. Pada bab pertama, ulama yang bermazhab Syafii itu menulis perihal mula-mula penulisan sejarah. Termasuk di dalamnya, pemaparan tentang patokan-patokan yang digunakan kaum Muslimin pada masa awal dalam melakukan penanggalan. Kisah mengenai Rasul SAW sebagai pencetus kalender Hijriyah terdapat dalam bagian ini.
Kisah mengenai Rasul SAW sebagai pencetus kalender Hijriyah terdapat dalam bagian ini.
Pada bab kedua, as-Suyuthi menerangkan tentang sejumlah manfaat dan kegunaan sejarah. Menurut dia, beberapa faedah ilmu histori sejalan dengan disiplin hadis. Sebagai contoh, analisis sejarah dapat membantu seorang salik untuk melengkapi data waktu dan tempat periwayatan hadis. Kemudian, hasil kajian itu dapat menentukan kualitas rawi.
Karena itu, seorang pakar Hafash bin Ghiyat pernah berkata, “Apabila kalian menuduh seorang rawi telah berdusta, ujilah dia dengan tahun.” Maksudnya, informasi waktu sebagai unsur terpenting sejarah bisa membongkar faktor dan cara kerja para pendusta riwayat, kalaupun ada. Dan, pada bab yang terakhir, ia di dalam kitabnya itu menyebutkan pernak-pernik berharga seputar sejarah.
Awal sejarah
Dalam buku ini, Jaladuddin as-Suyuthi juga membahas soal yang disebutnya sebagai permulaan sejarah manusia. Pengarang Al-Itqan fii ‘Ulum Alqur’an itu mengatakan, awal narasi histori itu adalah turunnya Adam AS ke bumi.
Kemudian, sejarah digerakkan oleh anak-anak sang manusia pertama. Hal itu terus berlangsung hingga diutusnya Nabi Nuh AS. Babak baru sejarah pun dimulai, terutama pascaperistiwa banjir dahsyat yang menenggelamkan orang-orang ingkar.
Tatkala Nabi Nuh AS, sebagian keluarga, dan seluruh pengikutnya berlabuh di daratan, beliau pun memulai masyarakat baru. Ketiga anaknya memimpin wilayah masing-masing. Sam mendapatkan area yang termasuk di dalamnya Baitul Makdis, Nil, Eufrat, Dajla, Sehan, dan Jeihan. Ham memperoleh wilayah barat Nil hingga arah mula angin di Dabur. Sementara itu, Yafuts menerima kekuasaan atas Qasiyun hingga Shaba.
Babak baru sejarah pun dimulai, terutama pascaperistiwa banjir dahsyat yang menenggelamkan orang-orang ingkar.
Kisah itu pun berlanjut sampai kepada masa-masa berikutnya. Termasuk yang diceritakan di sana adalah datangnya angin topan sebagai azab Allah SWT hingga kisah Nabi Ibrahim AS yang tidak terbakar kobaran api raja yang musyrik. Sebagai rasul Allah Ta’ala, Ibrahim terus berdakwah. Kemudian, anak-anaknya hidup berpencar dari daerah semula.
Mereka menciptakan sejarah masing-masing. Narasi pun berlanjut hingga pengutusan Nabi Yusuf AS, Nabi Musa AS, dan Nabi Sulaiman AS. As-Suyuthi juga menyinggung tentang syiar agama tauhid yang dilakukan Nabi Isa AS. Pada akhirnya, buku ini tentunya menyajikan perihal dakwah Rasulullah SAW.
Untuk menerangkan narasi-narasi di atas, as-Suyuthi mengutip dari beberapa referensi, termasuk kitab Tarikh Kabir yang dikarang Ibnu Abi Khaitsamah. Dalam karya itu diceritakan, keturunan Nabi Ismail AS yang tersisa adalah Bani Sa'ad, Nahd, dan Juhainah, hingga wafatnya Ka'ab bin Luayyi. Kemudian, dari anak keturunannya itu lahirlah suku yang dinamakan Quraisy.
Dalam Asy-Syamarikh fii ‘Ilm at-Tarikh, sejarah Nabi SAW (sirah nabawiyah) disajikan dengan perspektif yang lebih luas. Berbagai aspek kehidupan beliau dipaparkan dengan cukup mendetail. Buku ini menghadirkan perspektif yang bernas berbeda mengenai sirah nabawiyah.
Penulisan sejarah dengan versi as-Suyuthi di atas pada dasarnya serupa dengan corak dan data yang masyhur di Bangsa Yahudi. Menurut Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikh, metode demikian sesungguhnya tidak patut dikutip oleh umat Islam. Bagi dirinya, penanggalan sejarah hanya akan bermula dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah.
Sementara itu, bagi Bani Quraisy misalnya, patokan sejarah dimulai sebelum turunnya risalah Islam, yakni pada momen kelahiran Rasulullah SAW yang bertepatan dengan kedatangan Pasukan Gajah ke Makkah. Konon, penanggalan yang berlaku di kalangan mereka, penamaannya cukup merujuk pada peristiwa yang terjadi pada Tahun Gajah.
Refleksi Prof Haedar Nashir: Republika 22 Tahun Lalu
Republika berani bertajdid dan berijtihad, sekaligus berjihad jurnalisme ke era baru dunia digital.
SELENGKAPNYAIntensifkan Manasik Haji
Melalui manasik haji yang intensif, calon jamaah mengetahui tata cara beribadah.
SELENGKAPNYAMenjemput Sedekah
Bersegeralah dengan sedekah karena musibah tidak dapat melangkahi sedekah
SELENGKAPNYA