Warga beristirahat di balkon rumahnya di permukiman bantaran kali kawasan Manggarai, Jakarta, Jumat (9/12/2022). | ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

Dialektika

Reformasi Bansos Jelang Resesi

Krisis dan lonjakan kemiskinan menjadi dua hal yang sulit dihindari tahun depan.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; ASKAR MUHAMMAD, Peneliti IDEAS; SHOFIE AZZAHRA, Peneliti IDEAS; NAURA SITI ALIFAH, Peneliti IDEAS

Kebijakan moneter ketat yang ditandai dengan kenaikan suku bunga acuan secara agresif di berbagai negara untuk melawan inflasi, telah membawa perekonomian global pada kondisi stagflasi: inflasi tinggi yang disertai stagnasi perekonomian.

Dengan ketidakpastian sisi pasokan yang membuat inflasi bertahan lama, dunia kini terperosok pada resesi yang semakin terlihat jelas di depan. Tahun baru, krisis baru: reflasi.

Krisis dan lonjakan kemiskinan menjadi dua hal yang sulit dihindari tahun depan. Sebagaimana pandemi 2020 telah melonjakkan permasalahan kemiskinan, tidak hanya kelas sosial-ekonomi bawah, tapi juga kelas menengah, maka resesi global 2023 berpotensi besar tidak hanya membuat akan kelas bawah terus terjebak dalam kemiskinan. Namun juga akan membuat banyak kelas menengah semakin rentan jatuh ke jurang kemiskinan.

 
Resesi global 2023 akan membuat banyak kelas menengah semakin rentan jatuh ke jurang kemiskinan.
 
 

Kemiskinan di Indonesia didominasi oleh penduduk miskin temporer (transient poor), yaitu mampu keluar dari kemiskinan, tapi mudah kembali jatuh miskin. Dari data longitudinal Susenas Maret-September 2020, kami memperkirakan penduduk miskin temporer ini berjumlah 21,6 juta jiwa, di mana 12,2 juta jiwa berada di Jawa dan 9,4 juta jiwa di luar Jawa.

Kemiskinan yang lebih kecil, tapi dengan masalah yang jauh lebih berat adalah penduduk miskin kronis (chronic poor), yaitu mereka yang terlalu miskin sehingga tidak pernah mampu bangkit dan terperangkap dalam jerat kemiskinan untuk waktu yang panjang, bahkan permanen.

Dengan kata lain, ini adalah kondisi kemiskinan yang ekstrem (extreme poverty). Dari data longitudinal Susenas Maret-September 2020, kami memperkirakan penduduk miskin kronis ini berjumlah 12,5 juta jiwa, di mana 6,5 juta jiwa berada di Jawa dan 6,0 juta jiwa di luar Jawa.

photo
Warga beristirahat di balkon rumahnya di permukiman bantaran kali kawasan Manggarai, Jakarta, Jumat (9/12/2022). Pemerintah menyatakan per Maret 2022 angka kemiskinan turun menjadi 9,54 persen atau 26,16 juta orang dari sebelumnya 9,71 persen, sedangkan angka kemiskian ekstrem per September 2022 turun 3,79 persen dari sebelumnya 4 persen. - (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

Bagi penduduk rentan, kondisi kemiskinan adalah dinamis, terlebih di masa krisis. Antara Maret-September 2020, sebanyak 6,9 juta jiwa penduduk tidak miskin jatuh menjadi miskin di Jawa. Namun di saat yang sama 5,3 juta jiwa penduduk miskin mampu lepas dari kemiskinan.

Di luar Jawa, 5,6 juta jiwa jatuh miskin dan 3,8 juta jiwa mampu naik kelas menjadi tidak miskin. Krisis telah mengubah kelas menengah menjadi lebih rawan secara ekonomi: kelas menengah-bawah dengan ketahanan ekonomi yang rendah mengalami kejatuhan menjadi miskin.

Dengan besarnya keluarga miskin kronis dan miskin temporer yang terpuruk di masa krisis, maka peran bantuan sosial (bansos) menjadi krusial dengan melindungi si miskin agar dapat terus melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup secara wajar. Penting untuk memastikan bansos adalah tepat waktu dan tepat sasaran.

Rentang Maret-September 2020, terdapat 12,54 juta penduduk miskin kronis dan 21,58 juta penduduk miskin sementara. Secara absolut, miskin kronis dan miskin temporer sangat didominasi oleh Jawa dan Sumatra, yang keduanya menjadi rumah bagi 72,5 persen penduduk miskin kronis dan 81,4 persen penduduk miskin temporer.

photo
Yang Bangkit dan Terpuruk di Masa Pandemi. Krisis, kerentanan masyarakat dan dinamika kemiskinan: Mar-Sept 2020. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Namun secara relatif, miskin kronis dan miskin temporer lebih intensif ditemui di Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku. Persentase penduduk miskin kronis Papua bahkan menembus 20 persen, jauh di atas angka nasional yang hanya di kisaran 5 persen.

Dengan berbagai kelemahan struktural yang disandangnya, penduduk miskin kronis menjadi prioritas utama dalam pentargetan program bantuan sosial. Secara absolut, miskin kronis dan miskin temporer sangat didominasi oleh tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Ketiganya menjadi rumah bagi 46,6 persen penduduk miskin kronis. Namun secara relatif, miskin kronis jauh lebih intensif ditemui di Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku. Persentase penduduk miskin kronis di Papua mencapai 21,9 persen, diikuti Papua Barat (14,0 persen), Nusa Tenggara Timur (12,8 persen) dan Gorontalo (12,3 persen).

Krisis dan bantuan sosial

Bansos memainkan perang penting dalam situasi krisis dengan melindungi kelompok masyarakat yang paling lemah dari guncangan eksternal sehingga dapat terus melanjutkan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarganya secara wajar. Bansos mendorong kenaikan pengeluaran si miskin di masa krisis sekaligus menurunkan kesenjangan pengeluaran antara si miskin dan si kaya.

Pada Maret 2020, pengeluaran rata-rata keluarga di persentil terkaya adalah lebih dari 30 kali lipat dari pengeluaran rata-rata keluarga di persentil termiskin. Seiring pandemi dan penguatan program bansos pemerintah, yang ditujukan secara langsung ke keluarga miskin, telah mendorong kenaikan pengeluaran si miskin, jauh lebih tinggi dari keluarga kaya.

Pada Maret-September 2020, pengeluaran rata-rata keluarga di persentil termiskin mampu tumbuh hingga 29,3 persen, sedangkan pengeluaran rata-rata keluarga di persentil terkaya sebaliknya mengalami kontraksi hingga 30,7 persen.

photo
Peta Kebutuhan Jaring Pengaman. Sebaran penduduk miskin kronis dan miskin sementara, 2020. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Dengan prevalensi penerima bansos di persentil termiskin mencapai 87,3 persen, sedangkan di persentil terkaya hanya 23 persen, peran krusial bansos sebagai bantalan pengeluaran si miskin di masa krisis jelas terlihat. Hasil akhirnya, pada September 2020, pengeluaran rata-rata keluarga di persentil terkaya kini turun menjadi hanya 16 kali lipat dari pengeluaran rata-rata keluarga di persentil termiskin.

Menghadapi krisis, respons pemerintah secara umum adalah meningkatkan skala dan cakupan bansos untuk keluarga miskin. Cakupan bansos dari pemerintah meningkat signifikan di masa pandemi.

Pada Maret 2020, hanya 48,1 persen dari keluarga termiskin yang menerima bansos dari pemerintah. Pada September 2020, angka ini berlipat hingga 79,2 persen. Meski cakupan bansos meningkat signifikan di masa krisis, tapi hal ini mengindikasikan masih terdapat 20,8 persen keluarga miskin yang belum tersentuh bansos dari pemerintah.

Pada Maret 2021 cakupan bansos di kelas termiskin justru melemah, menjadi hanya 61,4 persen, membuat 38,6 persen keluarga termiskin tidak menerima bansos. Di masa krisis, tingkat exclusion error hingga hampir 40 persen, di lapis terbawah masyarakat, adalah mengkhawatirkan.

Kegagalan menekan exclusion error ini terlihat berjalan beriringan dengan lonjakan inclusion error. Pada Maret 2020, hanya 8,8 persen dari keluarga terkaya yang menerima bansos dari pemerintah.

Pada September 2020, angka ini berlipat hampir 5 kali menjadi 39,9 persen. Maret 2021 inclusion error di kelas terkaya ini menurun, tapi masih tetap tinggi, yaitu 22,6 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan skala dan cakupan bansos tidak diikuti dengan sistem pentargetan dan basis data kemiskinan yang akurat.

photo
Urgensi Bansos di Tengah Krisis. Bantuan sosial dan daya beli rakyat miskin, Mar-Sept 2020. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Menjadi krusial bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem bansos secepatnya. Penyaluran bansos yang tidak tepat sasaran dan lamban di tengah krisis adalah amat memprihatinkan. Persoalan cenderung berulang, yang berakar dari kombinasi ketidaksiapan birokrasi merespon situasi krisis yang dalam dan tak terduga, lemahnya kepemimpinan dengan kapasitas untuk mengkontrol akuntabilitas dan koordinasi lintas aktor, serta lemahnya basis data penerima.

Eksistensi inclusion error maupun exclusion error sebenarnya normal karena tidak ada sistem pentargetan yang sempurna. Dan di masa pandemi, ketika sebagian besar kelompok masyarakat rentan terjatuh dalam kemiskinan, inclusion error hampir dapat diabaikan sepenuhnya.

Namun sebaliknya, untuk exclusion error, tingkat toleransi kita menjadi harus sangat minimal, bahkan tidak boleh ada satu pun yang berhak terlewat (no one left behind). Agenda reformasi sistem identifikasi si miskin dan basis data kemiskinan menjadi krusial di sini.

Dari 67 ribu data longitudinal Susenas Maret-September 2020, kami menemukan bahwa peningkatan skala dan cakupan bansos di masa krisis mampu menurunkan exclusion error secara signifikan, namun masih berada di tingkat yang mengkhawatirkan, terlebih di masa krisis.

photo
Dua anak bermain di tengah jalur kereta api Palmerah-Tanah Abang, Jakarta, Selasa (27/10/2022). Pemerintah telah mengucurkan anggaran Rp 450 triliun guna merealisasikan penghapusan kemiskinan ekstrem yang mencapai 5,59 juta orang melalui sinergi program antar kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah. - (ANTARA FOTO/SUlthony Hasanuddin)

Pada Maret 2020, exclusion error di 40 persen keluarga termiskin sangat tinggi, mencapai 89,7 persen. Pada September 2020, angka exclusion error ini mampu ditekan turun hingga hanya 24,2 persen.

Seiring turunnya exclusion error, inclusion error melonjak dari hanya 5,6 persen menjadi 53,7 persen. Penguatan program bansos, dari semula hanya KKS, PKH, BPNT dan PIP kemudian diperkuat dengan BST Covid, BLT Desa dan juga bantuan pemda, berkontribusi besar pada turunnya exclusion error dan melonjaknya inclusion error secara signifikan ini.

Inclusion error yang tinggi di masa krisis dapat diterima. Namun exclusion error hingga 24,2 persen di masa krisis adalah mengkhawatirkan dan jauh dari prinsip utama jaring pengaman sosial di masa krisis: tidak boleh ada satu pun orang miskin yang tertinggal.

Cakupan bansos di 40 persen keluarga termiskin sebesar 75,8 persen adalah cukup tinggi di masa normal, tapi sulit diterima di masa krisis. Menjadi krusial bagi pemerintah untuk secepatnya meminimalkan exclusion error dengan pengumpulan (collecting) data secara reguler, bahkan real-time updating, baik melalui mekanisme sensus, survei, usulan komunitas, hingga self-reporting dengan proses validasi.

photo
Krisis dan Respon Bantuan Sosial. Kerentanan masyarakat, dinamika kemiskinan dan cakupan perlindungan sosial. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Sinergi filantropi

Dibutuhkan reformasi sistem bansos di masa krisis, di mana bansos dituntut tepat sasaran dan tepat waktu secara sempurna. Sinergi dan kolaborasi dengan stakeholder masyarakat sipil yang kredibel, seperti lembaga filantropi, menjadi signifikan dan tak terelakkan untuk meningkatkan ketepatan sasaran dari bansos agar tidak ada satu pun keluarga miskin yang tidak mendapatkan bantuan.

Dengan kiprah untuk kemanusiaan dan kesejahteraan sosial yang independen, inklusif, nonpolitis dan bebas benturan kepentingan, peran lembaga filantropi adalah krusial dan semakin penting di masa krisis. Namun demikian, kiprah lembaga filantropi penting untuk ditingkatkan, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Pada September 2020, sebanyak 9,1 juta penduduk menerima bantuan dari lembaga filantropi, atau sekitar 3,37 persen dari penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk miskin adalah 27,5 juta jiwa atau 10,19 persen, maka lembaga filantropi memiliki potensi besar untuk akselerasi penanggulangan kemiskinan.

photo
Warga memanen lele di lahan Tani Kota Kelurahan Brontokusuman, Yogyakarta, Jumat (4/11/2022). Warga memanen lele untuk ketiga kalinya dari program pemberdayaan masyarakat lele cendol dari Pemkot Yogyakarta. Setiap masa panen memerlukan waktu selama tiga bulan dan setiap panen bisa menghasilkan 50 kilogram hingga 60 kilogram. Budidaya lele cendol ini salah satu upaya untuk pengentasan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. - (Republika/Wihdan Hidayat)

Namun dari 9,1 juta penerima manfaat lembaga filantropi ini, hanya 0,9 juta jiwa saja yang merupakan penduduk miskin. Sedangkan 8,2 juta penerima manfaat lembaga filantropi tergolong penduduk tidak miskin.

Dengan kata lain, tingkat ketepatan sasaran dari bantuan lembaga filantropi hanya 9,9 persen saja. Hanya 3,3 persen penduduk miskin saja yang tersentuh oleh bantuan lembaga filantropi.

Bila kita memasukkan kelompok rentan miskin sebagai penerima manfaat yang masih dapat diterima, maka ketepat sasaran lembaga filantropi meningkat. Pada September 2020, dari 9,1 juta penerima manfaat lembaga filantropi, sekitar 3,5 juta jiwa merupakan penduduk miskin dan rentan miskin, yaitu 40 persen keluarga kelas terbawah.

Sedangkan sekitar 5,6 juta penerima manfaat lembaga filantropi berasal dari 60 persen keluarga kelas teratas. Dengan kata lain, tingkat ketepatan sasaran dari bantuan lembaga filantropi kini adalah 38,9 persen.

Namun demikian, dengan penduduk di 40 persen kelas terbawah adalah 108 juta jiwa, maka hanya 3,28 persen saja penduduk di 40 persen lapis terbawah ini yang mampu disentuh oleh bantuan lembaga filantropi.

photo
Potensi Sinergi Filantropi. Mendorong sinergi bansos pemerintah dan bantuan lembaga filantropi, Sept 2020. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Dengan hanya 3,28 persen penduduk di 40 persen lapis terbawah ini yang mampu dijangkau oleh lembaga filantropi, maka dbutuhkan upaya besar meningkatkan skala dan cakupan bantuan lembaga filantropi, sekaligus meningkatkan kapasitas lembaga filantropi untuk mengidentifikasi dan menjangkau 96,72 persen penduduk 40 persen termiskin ini.

Peluang terbesar datang dari fakta bahwa, dari 96,72 persen penduduk di lapis terbawah ini, sebesar 24,02 persen di antaranya tidak mendapatkan bantuan sosial apapun dari pemerintah. Segmen 40 persen kelas terbawah yang sama sekali tidak mendapat bantuan inilah yang harus menjadi fokus lembaga filantropi.

Komplementaritas antara bansos pemerintah dan bantuan lembaga filantropi akan menjadi lebih produktif dan sinergis ketika bantuan lembaga filantropi mengambil bentuk yang berbeda dari bansos pemerintah.

Hal ini karena selain bertujuan menjaga daya beli dan tingkat konsumsi minimal, bansos juga harus tetap menjaga kemandirian dan semangat penerima untuk keluar dari kemiskinan, menjaga insentif untuk tetap bekerja dan mendorong si miskin untuk berinvestasi dalam aktivitas peningkatan kapasitas produktif.

Indonesia Giving Fest-Zakat Expo 2022 Resmi Dibuka

Ajang saling mengenal antara lembaga-lembaga zakat ini merupakan hal positif yang perlu terus dijaga.

SELENGKAPNYA

Pemerintah Tutup Wisma Atlet, Sisakan Satu Menara

Penghentian operasional Wisma Atlet menjadi pertanda perekonomian Indonesia pulih.

SELENGKAPNYA

Refleksi Prof Haedar Nashir: Republika 22 Tahun Lalu

Republika berani bertajdid dan berijtihad, sekaligus berjihad jurnalisme ke era baru dunia digital.

SELENGKAPNYA