
Konsultasi Syariah
Apakah Convenience Fee di Belanja Daring Dibolehkan?
Bagaimana pandangan syariah terkait convenience fee? Apakah itu dibolehkan?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamualaikum Wr. Wb.
Di beberapa aplikasi belanja online seperti marketplace dan lainnya, konsumen atau pembeli diharuskan membayar convenience fee saat bertransaksi. Bagaimana pandangan syariah terkait convenience fee? Apakah itu dibolehkan? Mohon penjelasan, Ustaz. -- Ayu, Bekasi
Waalaikumussalam Wr. Wb.
Kesimpulannya, jika convenience fee itu bagian dari harga jual, berapa pun nominalnya itu dibolehkan selama disetujui oleh pembeli (dengan pembeli melakukan transaksi via aplikasi itu tanda persetujuannya akan harga tersebut).
Akan tetapi, jika yang dimaksud dengan convenience fee itu adalah biaya riil yang terpisah dari harga jual, itu tidak dibolehkan kecuali ada biaya atau jasa yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kepentingan konsumen dan harus digantikan oleh konsumen dan itu dibolehkan sebesar biaya riil.
Sebelumnya, perlu dijelaskan bahwa convenience fee merupakan biaya kenyamanan yang dikenakan oleh penjual saat konsumen membayar sesuatu dengan kartu pembayaran elektronik, bukan dengan bentuk pembayaran yang standar seperti uang tunai.
Convenience fee merupakan biaya kenyamanan yang dikenakan oleh penjual saat konsumen membayar sesuatu dengan kartu pembayaran elektronik.
Convenience fee atau biaya kenyamanan ini dapat berupa persentase dari jumlah transaksi. Biasanya sebesar dua hingga tiga persen serta harus diungkapkan terlebih dahulu kepada konsumen.
Beberapa jenis pembayaran yang mengenakan convenience fee di antaranya pembayaran hipotek, pembayaran pajak properti, serta biaya kuliah. Misalnya, ketika seseorang membeli tiket secara online, convenience fee ini akan hadir pada perincian harga yang ditampilkan sebelum seseorang melanjutkan proses pembayaran.
Di antara contohnya adalah Ali membeli tiket perjalanan secara online melalui aplikasi untuk empat orang dari Bandung ke Nganjuk (Kertosono) dengan total harga Rp 1 juta dan convenience fee sebesar Rp 7.500.
Kemudian, Agus membeli tiket kereta Jakarta-Bandung (pergi-pulang) melalui marketplace A dengan perincian sebagai berikut. (1) Tiket pergi Rp 200 ribu, (2) tiket pulang Rp 200 ribu, dan (3) convenience fee Rp 9.000. Sehingga, total yang harus dibayarkan adalah Rp 409 ribu.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipilah menjadi dua kondisi. (1) Sebenarnya berapa keuntungan (selisih harga jual dan beli) yang dapat ditawarkan oleh penjual itu sepenuhnya menjadi hak penjual. Bahkan, jika tawaran tersebut disepakati, menjadi mengikat.
Misalnya, harga beli satu juta rupiah, kemudian ditawarkan dengan harga Rp 1,2 juta, Rp 1,3 juta, atau Rp 1,4 juta dan saat tawaran tersebut disetujui/disepakati menjadi mengikat.
Sebagaimana fatwa DSN MUI, “Harga dalam akad jual beli harus sudah dinyatakan secara pasti pada saat akad, baik ditentukan melalui tawar-menawar (bai’ al-musawamah), lelang (bai’ al-muzayadah), atau tender (bai’ al-munaqashah)” (Fatwa DSN MUI Nomor 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli).
Berapa pun besaran margin dan upah diperkenankan asalkan disepakati, diterima, dan diridhai oleh kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, “...kaum Muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi).
(2) Akan tetapi, dengan perincian komponen harga sebagaimana dalam contoh di atas, menunjukkan pada harga jual ada biaya-biaya lain yang harus diganti oleh pembeli dan tidak dapat dimarginkan.
Contohnya, misalnya harga jual Rp 100 ribu, Rp 10 ribu itu convenience fee, dan Rp 5.000 biaya maintenance aplikasi. Dalam contoh ini, convenience fee itu harus jelas kenyamanan apa yang dimaksud.
Karena kaidah yang berlaku dalam fikih terkait ini adalah ta'widh yang merujuk pada fatwa DSN MUI Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta’widh), biaya yang harus ditanggung oleh si pembeli atas layanan yang ia terima.
Jika demikian, harus ada layanan dan pertambahan nilai yang diperoleh pembeli dengan layanan tersebut. Di antara kriteria biaya riil, yakni (a) dapat ditelusuri, (b) kerugian riil yang nyata-nyata terjadi dalam proses bisnis yang normal, (c) berdasarkan biaya-biaya yang nyata terjadi atau berdasarkan historical cost, (d) terkait langsung dengan biaya-biaya yang ditimbulkan dalam transaksi, dan (e) jumlah atau nilainya harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman.
Di antara contoh komponen biaya riil adalah biaya komunikasi, biaya surat menyurat, biaya alat tulis kantor (ATK), biaya perjalanan, biaya jasa konsultasi hukum, biaya jasa notariat, biaya pengikatan jaminan, biaya perpajakan, biaya asuransi, dan biaya retaksasi aset jaminan (jika telah expired).
Hal ini sebagaimana kaidah, “Sesuatu yang diketahui (berlaku) secara adat (berdasarkan kebiasaan) sama statusnya dengan sesuatu yang ditetapkan sebagai syarat” (Ali Haidar, Durar al-Hukkam fi Syarh Majallat al-Ahkam, halaman 233).
Wallahu a’lam.
Akhir yang Pantas untuk Piala Dunia Bersejarah
Laga dramatis Argentina vs Prancis menutup salah satu Piala Dunia terbaik.
SELENGKAPNYALima Kaum yang Dihancurkan
Dalam Alquran surah al-Haqqah dibuka dengan pemberitaan sejarah mengenai kaum terdahulu.
SELENGKAPNYALegislator Minta Biaya Haji Dikaji Ulang
Lebih dari 50 persen biaya perjalanan jamaah ditalangi nilai manfaat optimalisasi keuangan haji.
SELENGKAPNYA