Tersangka kasus pinjaman online (pinjol) ilegal diperlihatkan saat ungkap kasus di Polres Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/12/2021). | ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Opini

Penguatan Literasi Sosial

Perilaku korupsi atas uang negara menunjukkan ketidakmampuan menyikapi masalah sosial seperti kemiskinan.

SRI HARTONO, Pustakawan Ahli Muda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur

Berita tentang ratusan mahasiswa terjerat penipuan berkedok pinjaman online (pinjol) mendapat atensi, termasuk dari elite pemegang kekuasaan politik.

Kalau saja ada yang menginvestigasi dan mengangkatnya ke media, bisa diketahui para mahasiswa IPB itu bukan korban pertama. Banyak kasus serupa yang tak terekspos luas.

Kalaupun terkuak ke ranah publik dan mendapat perhatian kaum elite dan ilmuwan, reaksinya selalu sama, yaitu memunculkan wacana pentingnya literasi keuangan. Kalau mengacu definisinya, pemahaman literasi keuangan memang sangat penting.

Otoritas Jasa Keuangan mengartikan literasi keuangan sebagai rangkaian proses atau aktivitas meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan konsumen serta masyarakat luas sehingga mampu mengelola keuangan pribadi lebih baik.

 
Kalau mengacu definisinya, pemahaman literasi keuangan memang sangat penting.
 
 

Dengan literasi keuangan, masyarakat diharapkan, dapat memilih dan memanfaatkan produk serta layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan, punya kemampuan perencanaan keuangan lebih baik, serta terhindar dari aktivitas investasi pada instrumen keuangan tak jelas.

Namun, bila dikaitkan kasus jeratan pinjol, stigma korban pinjol adalah golongan masyarakat lemah literasi keuangannya, masih perlu pembuktian.

Tak tertutup kemungkinan, mereka punya kecerdasan finansial, tetapi tak memiliki pilihan lain untuk menyelamatkan hidupnya dari kondisi sulit. Bila asumsi ini benar, kasus itu mengindikasikan lemahnya literasi sosial masyarakat, khususnya kalangan ekonomi menengah ke atas.

Menurut James Arthur dan Jon Davison dalam “Social literacy and citizenship education in the school curriculum”, literasi sosial melibatkan proses belajar mengenai serangkaian keterampilan sosial serta pengembangan terhadap pengetahuan sosial untuk memahami dan menafsirkan berbagai permasalahan sosial yang harus dihadapi dalam kehidupan.

 
Namun, bila dikaitkan kasus jeratan pinjol, stigma korban pinjol adalah golongan masyarakat lemah literasi keuangannya, masih perlu pembuktian.
 
 

Sedangkan kemampuan literasi sosial, menurut Lgleysteen adalah kemampuan seseorang berhubungan dengan orang di sekitarnya yang meliputi keterampilan sosial, intelektual, bahkan kecerdasan emosional.

Dengan mengacu mereka, literasi sosial tak terbatas pada kemampuan berinteraksi sosial dengan masyarakat sekitar. Literasi sosial seseorang bisa dilihat dari kemampuannya menganalisis, merasakan, memahami, dan menjadi bagian dari solusi atas masalah sosial masyarakat.

Pada kasus pinjol, bisa dibaca ketidakberdayaan ekonomi masih jadi masalah sosial utama. Dugaan ini bisa dibuktikan dengan data Badan Pusat Statistik  Maret 2022, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang.

Memang terjadi penurunan 0,34 juta orang dibanding pada September 2021 dan menurun 1,38 juta orang dari Maret 2021. Namun, 26,16 juta orang itu tugas besar. Bukan hanya pemerintah yang dituntut punya kepekaan dan kecerdasan sosial, melainkan juga masyarakat menengah atas.

 
Pada kasus pinjol, bisa dibaca ketidakberdayaan ekonomi masih jadi masalah sosial utama.
 
 

Selain persoalan pinjol, lemahnya literasi sosial khususnya golongan ekonomi menengah ke atas, bisa dibaca dari dua indikator. Pertama, data Corruption Percep­tions Index (CPI). Kedua, data serapan zakat mal.

Berdasarkan data CPI 2021 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), Indonesia peringkat 96 dari 180 negara dengan skor 38. Dibanding pada 2020, naik enam tingkat, tapi masih jauh jaraknya dari negara paling bersih dari korupsi.

Bila mengacu UU, kriteria utama korupsi adalah melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang merugikan keuangan atau perekonomian negara. Maka itu, bisa dibaca, tingginya tingkat korupsi mencerminkan lemahnya literasi sosial bangsa Indonesia.

Perilaku korupsi atas uang negara menunjukkan ketidakmampuan membaca dan menyikapi masalah sosial seperti kemiskinan. Tingginya angka korupsi di Indonesia jelas jauh berbeda kualitas literasi sosialnya dibandingkan perilaku Khalifah Umar bin Khathab.

 
Perilaku korupsi atas uang negara menunjukkan ketidakmampuan membaca dan menyikapi masalah sosial seperti kemiskinan.
 
 

Pemimpin umat Islam kedua pascawafatnya Rasulullah itu, memilih hidup sangat sederhana tanpa istana dan rela memanggul sekarung gandum untuk membantu seorang ibu, yang tidak memiliki persediaan bahan pangan.   

Lemahnya literasi sosial juga bisa diketahui dari data Baznas 2021 yang menyebutkan, pengumpulan dana zakat di Indonesia Rp 14 triliun. Artinya, zakat yang terserap baru 4,28 persen karena proyeksinya Rp 327 triliun.

Realitas ini mengisyaratkan, literasi sosial umat dengan ekonomi menengah ke atas tentang zakat masih sebatas pengetahuan tentang hukum berzakat. Kesadaran akan pentingnya zakat untuk pengurangan angka kemiskinan belum terbangun kokoh.

Kalau saja dana zakat bisa dimaksimalkan penyerapannya, besar harapan terbantunya kondisi ekonomi mustahik dan membaiknya tingkat kehidupan mereka pada dimensi tingkat pendidikan, kesehatan, serta nilai keislaman.

 
Kesadaran akan pentingnya zakat untuk pengurangan angka kemiskinan belum terbangun kokoh.
 
 

Sebagai upaya transformasi berbasis inklusi sosial, perpustakaan diharapkan, menjadi fasilitator penguatan literasi sosial.

Melalui bahan pustakanya, perpustakaan mencerahkan golongan ekonomi kuat untuk lebih peduli pada masyarakat yang kondisi keuangannya lemah, tanpa menunggu mereka datang menengadahkan tangan. Kepedulian ini bisa menghindarkan dhuafa dari pinjaman ribawi.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat