Kasman Singodimedjo | DOK Wikipedia

Tokoh

Kasman Singodimedjo, Perumus dan Pejuang NKRI

Kasman selalu menyampaikan arti penting pemuda Muslim untuk mencintai Tanah Air dan memiliki nasionalisme.

OLEH HASANUL RIZQA

Pemerintah telah menetapkan tokoh Muhammadiyah Mr Kasman Singodimedjo sebagai salah seorang pahlawan nasional. Penetapan ini sekaligus mengapresiasi peran besar golongan pemuda dalam mewujudkan Indonesia Merdeka.

Sebab, kiprah figur yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah, tersebut tidak lepas dari pelbagai organisasi kepemudaan, terutama Jong Islamieten Bond (JIB). Sewaktu yang bersangkutan menapaki usia matang, perannya makin besar dalam bersama-sama memperjuangkan Tanah Air tercinta.

Selain itu, buah pemikiran pria yang lahir pada 25 Februari 1904 itu juga terbilang besar dalam dunia hukum dan ketatanegaraan Indonesia. Sejak masih muda, sosok Kasman Singodimedjo dikenal sebagai pribadi yang giat belajar dan berjiwa patriotis.

Minatnya mula-mula sesungguhnya mencakup ilmu-ilmu agama Islam. Hal yang tidak mengherankan, lantaran ayah nya sendiri merupakan seorang ulama. Kasman kecil lulus dari HIS pada 1922. Selanjutnya, dia meneruskan pendidikan di STOVIA (sekolah kedokteran), tetapi justru berpindah haluan dan berhasil menyelesaikan studi di Rechts Hoge School (RHS/Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia (Jakarta).

 
Buah pemikiran pria yang lahir pada 25 Februari 1904 itu juga terbilang besar dalam dunia hukum dan ketatanegaraan Indonesia.
 
 

Gelar Mr yang kerap disematkan di depan namanya berarti master hukum. Dalam ikhtiarnya menempuh pendidikan, Kasman menaruh perhatian besar pada dunia kaum pergerakan. Dia pun kian terpacu untuk menguasai pelbagai pengeta huan umum di luar bidang kajiannya di sekolah, termasuk ilmu hukum tata negara secara auto didak (sebelum memasuki RHS Batavia).

Kecintaannya pada pustaka menunjang semangat tingginya untuk mencapai cita-cita. Pilihannya kemudian untuk menekuni dunia hukum tidak lepas dari panggilan hati nuraninya untuk selalu membela keadilan. Sahabat-sahabatnya pun mendukungnya, antara lain, dengan meminjamkan atau menyediakan buku-buku yang diperlukan.

Seperti diuraikan dalam buku Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri, Kasman Singodimedjo telah aktif di organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan itu. Dia mengenal cukup dekat tokoh-tokoh senior, semisal KH Ahmad Dahlan atau Ki Bagus Hadikusumo. Kelak, bersama dengan sosok yang tersebut akhir itu dia turut berjasa besar dalam peru musan dasar negara melalui forum BPUPKI dan PPKI.

Saat bergabung dengan JIB, Kasman mulai bersahabat dengan rekan-rekannya, seperti Mohammad Roem, Syafruddin Prawiranegara, dan Mohammad Natsir. Sa lah satu concern JIB adalah pendidikan intelektual terutama dalam hal Islam dan toleransi antar umat beragama.

Pihaknya bahkan menerbitkan sebuah majalah berjudul An-Nur (bahasa Belanda: Het Licht) untuk mewadahi dan menyebarkan gagasan-gagasan. Penasihat redaksinya adalah Haji Agus Salim, seorang poliglot sekaligus intelektual mumpuni.

photo
Foto anggota Jong Islamieten Bond pada 1928 - (istimewa)

Sosok-sosok senior lainnya yang kerap membantu kelangsungan JIB, antara lain HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, dan Syeikh Ahmad Surkati Kasman memimpin JIB, menggantikan Wiwoho, melalui kongres kelima organisasi tersebut pada Desember 1929.

Jabatan itu diembannya hingga tahun 1935. Selama kepemimpinannya, Kasman bersama dengan Roem menggiatkan penggalangan dukungan bagi JIB di Pulau Sumatra. Hasilnya berdirilah cabang-cabang JIB di kota-kota besar, seperti Bukittinggi, Padang Panjang, Sawah Lunto, Payakumbuh, Sibolga, Padang Sidempuan, Sigli, dan Lhokseumawe.

Hal lainnya, Kasman selalu menyampaikan arti penting pemuda Muslim untuk mencintai Tanah Air dan memiliki nasionalisme. Sebab, kecintaan itu justru selaras dengan tuntunan Alquran dan sunah. Bagaimanapun, nasionalisme yang dimaksudnya bukan dalam semangat chauvinistis, apalagi imperialistis.

Pada kongres ke-10 JIB, Kasman tidak lagi memimpin. Het Licht tidak lagi naik cetak lantaran terbelit masalah finansial. Banyak para aktivis JIB yang mulai kurang perhatiannya pada perkembangan organisasi ini.

Keadaan makin menurun, terutama setelah kepindahan Haji Agus Salim dari Yogyakarta ke Bandung. Kasman pun memutuskan untuk lebih konsen pada Muhammadiyah. Sejak 1935, basisnya sebagai aktivis-pejuang adalah di Bogor, Jawa Barat. 

 
Kasman pun memutuskan untuk lebih konsen pada Muhammadiyah. Sejak 1935, basisnya sebagai aktivis-pejuang adalah di Bogor, Jawa Barat. 
 
 

Aktifitas politik

Sejarah mencatat ketokohan Kasman Singodimedjo yang menjembatani pandangan-pandangan yang tampaknya berseberangan, tetapi sejatinya satu tujuan. Pada 1938, Kasman ikut membentuk Partai Islam Indonesia (PII) di Surakarta bersama dengan KH Mas Mansur, Farid Ma'ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo.

Melalui Muktamar Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 7 November 1945, dia terpilih menjadi ketua muda III. Adapun jabatan ketua muda I dan II berturut-turut adalah Ki Bagus Hadikusumo dan KH Wahid Hasyim.

Sementara itu, posisi ketua umum diamanatkan kepada tokoh pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy'ari. Kasman sempat menjadi tahanan politik pada zaman kolonial. Pada Mei 1940, pemerintah kolonial menjebloskannya ke dalam penjara, dengan tujuan membungkam pergerakan nasional Indonesia.

Memasuki zaman pendudukan Jepang, Kasman diangkat menjadi Daidancho—setara komandan— Pembela Tanah Air (PETA) yang berbasis di Jakarta. Walaupun dibentuk Dai Nippon, kesetiaan pemuda-pemuda PETA sungguh-sungguh pada Merah-Putih.

Mereka memanfaatkan fasilitas penggemblengan militer yang dibentuk Jepang untuk mempersiapkan diri dalam menyongsong Indonesia Merdeka.

photo
Suasana pembacaan proklamasi oleh Ir Sukarno pada 17 Agustus 1945. - (wikimedia common)

Hal itulah yang dibuktikan Kasman Singodimedjo di detik-detik menjelang pembacaan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945. Dia berperan dalam mengamankan situasi pelaksanaan upacara yang amat bersejarah itu.

Demikian pula ketika rapat umum IKADA berlangsung di lokasi yang kini menjadi Lapangan Silang Monumen Nasional. Dalam konteks Republik Indonesia yang baru saja merdeka, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sebelumnya bertindak sebagai penasihat Presiden dibubarkan.

Sebagai gantinya, langsung dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta melantik 135 orang anggotanya. Mereka adalah insan-insan pejuang yang terkemuka.

Mr Kasman Singodimedjo menjadi ketua KNIP. Nama-nama lain, seperti Wiranatakoesoemah, Ki Hajar Dewantara, Sayuti Melik, Mr Iwa Koesoema Soemantri, dan Mr Achmad Soebardjo, juga ditambahkan ke dalam komite tersebut.

Setiap tokoh tentunya memiliki kecenderungan dalam bersikap dan berprinsip. Dalam hal ini, sejarah mencatat ketokohan Kasman Singodimedjo yang menjembatani pandangan-pandangan yang tampaknya berseberangan, tetapi sejatinya satu tujuan.

Ambil contoh, ketika muncul polemik terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya. Untuk diketahui, Piagam Jakarta merupakan buah diskusi dan pemikiran para tokoh utama, the founding fathers bangsa Indonesia, utamanya mereka yang berkumpul dalam Panitia Sembilan.

photo
Pengunjung mengamati dokumentasi sidang BPUPKI yang dipamerkan di Museum Nasional, Jakarta. - (ANTARA FOTO)

Dengan demikian, dokumen tersebut adalah hasil kesepakatan yang sah karena telah melalui persidangan BPUPKI. Adanya keberatan-keberatan kemudian (setelah pembacaan teks Proklamasi RI), menimbulkan kebimbangan tersendiri bagi para pemimpin bangsa.

Di antara tokoh-tokoh yang mempertahankan tujuh kata tersebut ialah Ki Bagus Hadikusumo. Beberapa sumber menyatakan, Presiden Sukarno mendekati Mr Kasman Singodimedjo agar melobi tokoh senior Muhammadiyah itu supaya bersedia menoleransi penghilangan tujuh kata yang dimaksud.

Kesediaan elemen umat Islam untuk, sekali lagi, berkorban demi keutuhan Indonesia, adalah legasi yang tidak boleh dilupakan generasi-generasi berikutnya.

Tujuh kata

Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul gugatan dari segelintir pihak terhadap Piagam Jakarta. Adian Husaini (2005) menuturkan jalan ceritanya.

Mula-mula, seorang opsir tentara Jepang datang pada waktu itu, bala tentara Dai Nippon masih berwenang atas keamanan Jakarta. Dia mengaku membawa pesan dari umat Kristen di Indonesia bagian timur. Isi pesan yang dimaksud cukup pendek, yakni ada tujuh kata yang tercantum dalam Mukadimah UUD 1945 yang harus dicabut.

 
Jelas bahwa pesan yang dibawa opsir Jepang itu bernada ultimatum. Padahal, Indonesia baru 24 jam mengumumkan kemerdekaan.
 
 

Kalau tidak, umat Kristen di Indonesia sebelah timur tidak akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan. Tujuh kata yang harus dicoret itu berbunyi, 'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'.

Jelas bahwa pesan yang dibawa opsir Jepang itu bernada ultimatum. Padahal, Indonesia baru 24 jam mengumumkan kemerdekaan. Tidak menunggu waktu lama, perdebatan pun kembali muncul di Jakarta, tepatnya Gedung Volksraad, yang sebelumnya dipakai Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang.

Dalam autobiografinya, Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982, terbitan Bulan Bintang), Kasman Singodimedjo mengenang adu pendapat yang terjadi antara kedua belah pihak berlangsung keras, sedangkan Sukarno tidak kunjung tiba di lokasi.

Adanya gugatan terhadap tujuh kata seperti menggoyang sesuatu yang sudah stabil. Sebab, Piagam Jakarta telah melalui musyawarah-mufakat pada 22 Juni 1945 di BPUPKI, khususnya setelah penggodokan Panitia Sembilan yang terdiri atas tokoh-tokoh bangsa dari golongan nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler.

Sebelum peristiwa 18 Agustus 1945, dokumen penting itu memang pernah dikritik beberapa orang, semisal Johannes Latuharhary, perwakilan Kristen asal Ambon. Dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, Latuharhary beralasan Piagam Jakarta akan kesulitan dalam penerapannya di berbagai daerah yang berbeda-beda adat istiadat.

 
Sebelum peristiwa 18 Agustus 1945, dokumen penting itu memang pernah dikritik beberapa orang, semisal Johannes Latuharhary, perwakilan Kristen asal Ambon.
 
 

Kritik lainnya datang dari tokoh kebatinan, Wongsonegoro, yang justru ingin supaya setiap umat menjalankan hukum agama masing-masing di Indonesia merdeka kelak. Sukarno menengahi mereka dengan mengingatkan kembali, tujuh kata itu merupakan buah kompromi yang sebaiknya tidak diperdebatkan lagi.

Ketika menyaksikan silang pendapat di Gedung Volksraad Jakarta, Kasman menyadari adanya potensi perpecahan. Akan tetapi, pikirannya sempat terbelah di antara dua hal.

Di satu sisi, dia tidak ingin Piagam Jakarta yang sudah stabil dan buah kompromi yang tidak mudah dari para tokoh bangsa justru mengalami pencoretan pada beberapa bagiannya. Di sisi lain, dia melihat keadaannya sekarang bisa dibilang darurat sehingga perlu tindakan segera.

Artawijaya dalam Belajar dari Partai Masjumi (2014) menuturkan, mereka yang menolak tujuh kata dalam Piagam Jakarta kemudian menemui Mohammad Hatta. Bung Hatta dapat diyakinkannya sehingga melakukan lobi politik.

Kasman Singodimedjo dan Teuku Muhammad Hasan tokoh Aceh yang juga gubernur wilayah Sumatra pertama lalu menemani wakil presiden RI itu untuk bertemu dengan tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo, yang teguh berpendirian terhadap keutuhan Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

photo
Pekerja menyelesaikan pembuatan patung lambang negara Garuda Pancasila yang terbuat dari bahan fiberglass di kawasan Halim, Jakarta Timur, Kamis (11/8/2022). - (Prayogi/Republika.)

Maka, dibuatlah kompromi. Sila pertama yang tadinya berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" untuk meneguhkan prinsip ketauhidan dalam Islam. Dengan demikian, Pancasila akan selalu sejalan dengan nilai-nilai agama Islam.

Ki Bagus pun dengan besar hati menyetujuinya. Menurut Artawijaya, keseluruhan proses lobi politik ini hanya berlangsung 15 menit. Hal yang sangat singkat bila dibandingkan dengan lobi-lobi yang terjadi selama di BPUPKI.

Bagaimanapun, Kasman ikut dalam lobi tersebut cenderung secara terpaksa karena tidak melihat opsi lain di tengah potensi ancaman perpecahan Indonesia.

Tokoh Muhammadiyah Lukman Harun menuturkan, figur yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah, itu sebenarnya menyesal dan merasa bertanggung jawab dalam persoalan ini. Menurutnya, Bung Karno-lah yang memintanya untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo sehingga penghapusan tujuh kata menjadi mungkin terjadi.

Rupanya, selalu ada hikmah di balik setiap kejadian. Dua bulan setelahnya, Artawijaya menerangkan, para tokoh Muslim yang kecewa dengan penghapusan tujuh kata berkumpul untuk mengadakan Kongres Umat Islam di Yogyakarta. Mereka, antara lain, Haji Agus Salim, KH Abdul Wahid Hasyim, Abi kusno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, dan Ki Bagus Hadikusumo.

Kongres demikian lantas melahirkan Partai Masjumi yang menjadi satu-satunya wadah politik umat Islam pada masa itu. Kasman bergabung dalam partai berlambang bulan sabit dan bintang itu. Kasman terpilih sebagai ketua Komi te Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dibentuk pada 29 Agustus 1945 dan berfungsi sebagai parlemen.

photo
Kampanye Masyumi pada Pemilu 1955 - (Istimewa)

KNIP pada 9 Oktober 1945 mengeluarkan maklumat untuk pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 8 November 1945, Kasman ditunjuk untuk memimpin Kejaksaan Agung. Pada era Kabinet Amir Syarifuddin II periode 11 November 1947-29 Januari 1948, Kasman dipercaya sebagai menteri muda kehakiman.

Pada 1960-an, rezim Orde Lama menjalankan kekuasaan secara otoriter. Seperti halnya tokoh-tokoh yang keras menolak komunisme dan kesewenang- wenangan pusat, Kasman sempat menjadi tahanan politik.

Hubungan Jakarta dan daerah-daerah memang kurang begitu baik di era Orde Lama, khususnya setelah Bung Hatta meletakkan jabatan wakil presiden RI pada 1956. Puncaknya adalah munculnya peristiwa PRRI.

Begitu Sukarno jatuh, para tahanan politik dibebaskan dari penjara. Semasa Orde Baru berdiri, Kasman Singodomedjo cenderung menarik diri dari dunia perpolitikan. Hal itu khususnya setelah rezim Suharto melarang tokoh-tokoh Masjumi kembali ke gelanggang panggung politik nasional.

Pada 25 Oktober 1982, tokoh yang berjulukan Sang Singa Podium itu wafat dalam usia 78 tahun. Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi umat Islam di Indonesia.

Disadur dari Harian Republika edisi 18 Nopember 2018

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ki Bagoes Hadikoesoemo, Penggagas Tegaknya Syariat Islam

Ia telah merumuskan pokok-pokok pikiran KH Ahmad Dahlan hingga menjadi Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.

SELENGKAPNYA

Kisah Kesombongan Kafir Makkah

Orang-orang kafir Makkah sombong karena mengira bahwa kelak di akhirat mereka akan diutamakan daripada kaum Mukminin.

SELENGKAPNYA

Bagaimana Pandangan Syariah Menonton Piala Dunia?

Saat kopi disebut sebagai minuman sejuta umat, menonton sepak bola itu tontonan sejuta umat.

SELENGKAPNYA