Ilustrasi Syekh Abdul Karim Amrullah di sampul buku Ayahku yang ditulis Buya Hamka. | Istimewa

Tokoh

Syekh Abdul Karim, Pembawa Muhammadiyah ke Sumatra

Beliau merupakan yang pertama memperkenalkan Muhammadiyah ke Sumatra Barat.

OLEH HASANUL RIZQA, ERDY NASRUL

Bumi Minangkabau memasuki abad ke-20 dengan kemunculan gerakan modernisme Islam. Peran kaum ulama dan saudagar signifikan sekali. Mereka tidak hanya sibuk berdagang, tapi juga mendukung lalu lintas keilmuan para kaum terpelajar untuk menimba ilmu di Tanah Suci.

Di lingkup internal, kalangan ulama menghadapi beberapa kecenderungan adat yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Secara eksternal, tantangan terbesarnya adalah kolonialisme yang kian pesat di masa itu.

Salah seorang tokoh Minangkabau yang termasuk kalangan pembaru adalah Syekh Abdul Karim Amrullah. Dia lahir di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat, pada 1879. Sebagaimana anak-anak dari keluarga Minangkabau waktu itu, dia dahulu tidak menempuh pendidikan formal yang dikelola pemerintah kolonial Belanda di Sumatra Barat.

 
Saat berusia 15 tahun, Muhammad Rasul, demikian nama kecilnya, berangkat ke Makkah bukan hanya untuk beribadah haji, melainkan juga melanjutkan pengembaraan menuntut ilmu.
 
 

Saat berusia 15 tahun, Muhammad Rasul, demikian nama kecilnya, berangkat ke Makkah bukan hanya untuk beribadah haji, melainkan juga melanjutkan pengembaraan menuntut ilmu.

Di Masjid al-Haram, dia belajar kepada ulama sekaligus imam besar asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib. Selain Abdul Karim Amrullah, ada pula tiga nama lain yang merupakan murid termasyhur dari Syekh al-Minangkabawi. Mereka adalah Syekh Tahir Jalaluddin al-Azhari (sepupu Abdul Karim Amrullah, lahir 1869), Syekh Muhammad Jamil Jambek (lahir 1860), dan Haji Abdullah Ahmad (lahir 1878).

Tujuh tahun lamanya Abdul Karim Amrullah muda menimba ilmu-ilmu agama di Tanah Suci. Dia sempat pulang ke Tanah Air, tetapi berangkat lagi ke Makkah pada 1903. Tiga tahun kemudian, sosok reformis Islam ini kembali ke kampung halamannya di Sumatra Barat untuk mengamalkan ilmunya dan berdakwah. Ayahanda Buya Hamka ini termasuk yang paling awal memperkenalkan sistem pendidikan modern Islam di Sumatra Barat.

 

 
Di Masjid al-Haram, dia belajar kepada ulama sekaligus imam besar asal Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib.
 
 

 

Murni Djamal menulis artikel berjudul "The Origin of the Islamic Reform Movement in Minangkabau: Life and Thought of Abdul Karim Amrullah". Di sana, Djamal memaparkan, Abdul Karim Amrullah pernah belajar tartil Alquran dengan Haji Muhammad Salih, tata bahasa Arab dengan Haji Hud at-Tarusan, Sutan Muhammad Yusuf, serta fikih dan tafsir Alquran dengan ayahandanya sendiri, Syekh Muhammad Amrullah.

Syekh Abdul Karim Amrullah merupakan yang pertama memperkenalkan Muhammadiyah ke Sumatra Barat. Dia memang gemar berpergian ke luar Minangkabau, semisal, Semenanjung Malaya atau Jawa. Dalam perjalanan ke Malaya, menurut Murni Djamal, Syekh Abdul Karim kurang mendapat sambutan yang baik dari masyarakat setempat. Sebab, otoritas setempat menganggap gaya mengajarnya kurang ortodoks.

Sebaliknya, di Jawa dia mendapatkan banyak sahabat, khususnya setelah menemui para pemuka Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Ini wajar karena, umpamanya, KH Ahmad Dahlan selaku pendiri ormas Islam itu pun pernah satu guru dengannya selama di Makkah, yakni di bawah bimbingan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sejak 1925, Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan pesat di Bumi Minangkabau berkat rintisan Syekh Abdul Karim.

Buya Hamka dalam bukunya, Ayahku, menjelaskan, sebenarnya Syekh Abdul Karim Amrullah pernah bertemu dengan HOS Tjokroaminoto pada 1917 dalam sebuah lawatan di Jawa. Sosok berjulukan raja Jawa tanpa mahkota itu kemudian menawarkan agar Syekh Abdul Karim memimpin Sarekat Islam di Sumatra.

Namun, dia menolak tawaran ini. Sebab, kata Buya Hamka, dia tidak suka politik, meskipun cukup banyak murid-muridnya di Minangkabau yang terjun dalam pergerakan politik. Bukan hanya menyemarakkan Muhammadiyah di Sumatra Barat. Syekh Abdul Karim Amrullah juga merancang dan mempraktikkan cara pengajaran Islam yang lebih modern di masyarakat Minangkabau.

Keberadaan surau sebagai tempat ibadah sekaligus pusat kegiatan Islami direformasinya. Hasilnya berujung pada kemunculan lembaga Sumatra Thawalib, sebuah sistem sekolah yang banyak memunculkan insan-insan Muslim yang cerdas, kritis, dan berkiprah besar bagi pergerakan Muslim antikolonialisme.

 

 
Keberadaan surau sebagai tempat ibadah sekaligus pusat kegiatan Islami direformasinya.
 
 

 

Sebut saja, Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang kerap menyuarakan kecaman keras terhadap praktik-praktik penjajahan Belanda atas Pribumi. Syekh Abdul Karim Amrullah juga ikut kerap menyuarakan antikomunisme di Sumatra Barat.

Menurut Buya Hamka, sikap antikomunisme itu mulai menguat sejak Syekh Abdul Karim Amrullah tamat membaca buku Arradu 'alad Dahriyin karya Jamaluddin al-Afghani.

Pada 1920, Syekh Abdul Karim Amrullah menjadi penasihat Persatuan Guru Agama Islam (PGAI). Atas inisiatifnya, berdirilah Sekolah Normal Islam di Padang pada 1931 yang menyediakan pendidikan dasar.

Pada masa itulah pemerintah kolonial Belanda mulai bersikap keras terhadap sekolah-sekolah yang didirikan swadaya masyarakat pribumi. Keluarlah peraturan ordonansi yang mengecap sekolah-sekolah itu berstatus "liar".

Syekh Abdul Karim memimpin gerakan yang mendesak pemerintah kolonial untuk mencabut aturan tersebut pada 1932. Hingga 1939, dia kerap mengadakan lawatan ke pelbagai daerah di Sumatra untuk mengajar, berceramah, dan membangun jaringan alim ulama.

Sebagai pereformasi dakwah Islam, dia memiliki karakteristik keras dan tegas, tetapi mengimbau para muridnya untuk menjaga daya kritis. Menurut uraian Murni Djamal, dia tidak berkompromi terhadap otoritas lokal (adat) dan kaum tua sehubungan dengan praktik-praktik agama.

Dia pun bersikap keras terhadap pemerintah kolonial Belanda. Dia dapat secara terang-terangan mengecam orang yang mempraktikkan bid'ah. Kemudian, dia banyak mengkritik sikap taklid kaum Muslim pada umumnya dan tarekat Naqshabandiyah di zamannya.

Bersama dengan Syekh Abdullah Ahmad di Padang dan Syekh Djamil Djambek di Bukittinggi, Syekh Abdul Karim di Padang Panjang berdakwah untuk membersihkan Islam dari kecenderungan taklid, bid'ah, dan keterpurukan.

 

 
Sebagai pereformasi dakwah Islam, dia memiliki karakteristik keras dan tegas, tetapi mengimbau para muridnya untuk menjaga daya kritis.
 
 

Ketiga tokoh pembaru Islam di Minangkabau itu saling dukung untuk mengentaskan sikap taklid di kalangan umat. Dalam sebuah risalahnya, Muqaddimah, Syekh Abdullah Ahmad menulis sebagai dukungan terhadap giat dakwah Syekh Abdul Karim Amrullah yang mengimbau agar kaum Muslim tidak bersikap fanatik buta terhadap keempat mazhab fikih.

Kata Syekh Abdul Karim Amrullah, "Mereka (keempat imam pemuka mazhab fikih) bahkan mengimbau para pengikutnya agar kembali kepada Alquran dan hadis bilamana fatwa-fatwa mereka ketahui bertolak belakang dengan ajaran Alquran dan hadis." Demikian pula dengan kaum adat.

Syekh Abdul Karim Amrullah menegaskan bahwa ajaran-ajaran Islam hanya akan tersebar efektif di tengah masyarakat bilamana kaum penghulu (adat) dibimbing alim ulama. Dalam pemahaman Minangkabau yang sampai kini masih kuat, "Adat bersendikan syariat; syariat bersendikan Alquran." Dengan demikian, praktik-praktik adat tidak dibenarkan bertentangan dengan ajaran Islam.

Sebagai contoh, Syekh Abdul Karim Amrullah menulis sedikitnya dua buku, al-Fara'id dan Sendi Aman Tiang Selamat, yang mengkritik praktik pembagian harta warisan menurut adat yang berdasarkan garis ibu. Dalam buku yang tersebut terakhir, dia membedakan adanya harta pusaka yang bisa saja tidak menuruti hukum waris Islam karena harta itu milik suku.

Buah kegigihan Syekh Abdul Karim Amrullah mendapatkan apresiasi, antara lain, dari pihak Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Dia bersama dengan Syekh Abdullah Ahmad merupakan orang Indonesia yang mula-mula memperoleh gelar doktor honoris causa (doktor kehormatan) dari salah satu kampus tertua di dunia Islam itu.

 
Dia bersama dengan Syekh Abdullah Ahmad merupakan orang Indonesia yang mula-mula memperoleh gelar doktor honoris causa dari salah satu kampus tertua di dunia Islam itu.
 
 

Dalam sebuah bukunya, Taufiq Ismail (2011) menuliskan fakta unik tentang hubungan ayah-anak, yakni Syekh Abdul Karim Amrullah dan Buya Hamka. Keduanya sama-sama mendapatkan gelar kehormatan tersebut.

(Ayahanda Buya Hamka) dianugerahi gelar doktor honoris causa oleh Universitas al-Azhar, Kairo, pada 1926. Beliau lebih dikenal dengan julukan Haji Rasul, Inyik Doktor, atau Inyik DR.

Adapun Buya Hamka mendapat penghargaan yang serupa 35 tahun kemudian, pada 1961, orang ketiga dari Indonesia. "Sebagai ayah dan anak, mereka (Buya Hamka dan ayahnya) pasangan pertama yang mendapat kehormatan tinggi tersebut," tulis Taufiq Ismail.

Syiar Islam Melalui Majalah

Pada permulaan abad ke-20, Haji Rasul menilai perlu ada media cetak yang menampung aspirasi umat Islam. Media tersebut akan menjadi sarana dakwah yang efektif, karena masyarakat akan membaca dan mendapatkan pengetahuan.

Pada 1911-1915 bersama Abdullah Ahmad, Haji Rasul mendirikan majalah Al-Munir di Padang. Dia terlibat langsung dalam proses redaksional, mulai reportase hingga penyuntingan.

Setelah dicetak, majalah itu disebarluaskan. Melalui media cetak tersebut, Haji Rasul mendengungkan semangat literasi agar masyarakat gemar membaca. Ketika itu masyarakat hidup dalam kesulitan. Mereka lebih memilih memenuhi kebutuhan harian ketimbang membeli buku.

 
Pada tahun 1911-1915 bersama Abdullah Ahmad, Haji Rasul mendirikan majalah Al- Munir di Padang.
 
 

Dengan media cetak tersebut, umat Islam di tanah Minang dapat mempertahankan Islam terhadap segala tuduhan dan salah sangka. Terbit sekali setiap dua pekan, Al-Munir memuat artikel yang meningkatkan pengetahuan para pembacanya dan sekaligus sebagai pembawa suara pemuda dalam menyuarakan berbagai gagasan pembaruan untuk perbaikan dan kemaslahatan umat.

Dia juga menerbitkan majalah di Padang Panjang bersama Zainuddin Labay el-Yunusi pada 1918. Pada 1916 Abdul Karim Amrullah melawat ke Malaya dalam rangka memperluas pandangan dan usaha penerbitan kembali majalah Al-Munir, yang sudah tidak terbit sejak 1915.

Ia pergi bersama-sama dengan Syekh Daud Rasyidi dan adiknya, Haji Yusuf Amrullah, serta muridnya Saleh. Namun kehadirannya di sini, ternyata mendapat tantangan dari mufti di sana, yakni Syekh Abdullah Shaleh yang sama-sama belajar di Makkah.

Tantangan yang menghalangi jalan dakwah terus dihadapi. Haji Rasul tak gentar. Dia tetap melanjutkan dakwahnya untuk menegakkan panji-panji Islam di Nusantara. Dengan segala keterbatasan ketika itu, dia menghabiskan usianya hanya untuk mendakwahkan Islam.

Disadur dari Harian Republika edisi 17 September 2017

Jejak Sesar Cimandiri di Situs Gunung Padang Cianjur

Gunung Padang terletak di daerah rawan bencana karena berada pada sesar Cimandiri.

SELENGKAPNYA

Jejak Tsunami Purba di Serambi Makkah

Temuan ahli geoteknologi dan arkeolog di Aceh menunjukkan, Aceh pernah mengalami tsunami jauh sebelum peristiwa tsunami 2004.

SELENGKAPNYA