Sejumlah penumpang berpindah tujuan kereta saat penerapan switch over (SO) ke-5 di Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin (30/5/2022). | Republika/Putra M. Akbar

Tajuk

Deklarasi Bali dan Populasi Global

Apakah bumi sumpek karena penambahan penghuninya ini? Apakah warga bumi tinggal berdesak-desakan?

Jumlah manusia yang menghuni bumi mencapai delapan miliar jiwa per Selasa (15/11). PBB menyebut, terus bertambahnya jumlah penduduk ini membawa konsekuensi tertentu.

Data PBB mengungkapkan, butuh 12 tahun penambahan jumlah penghuni bumi dari tujuh miliar ke delapan miliar jiwa. Kendati begitu, PBB mengakui, angka delapan miliar jiwa itu lebih pada prediksi atau perhitungan kasar, bukan angka yang bersifat pasti.

PBB memperkirakan, penambahan jumlah penduduk dari delapan miliar jiwa melompat ke sembilan miliar jiwa setidaknya membutuhkan 15 tahun. Ini berarti pada 2037, jumlah warga bumi bertambah semiliar dari saat ini.

Bahkan, sejumlah prediksi menyebutkan, populasi global terus bertambah menjadi 8,5 miliar jiwa pada 2030. Populasi bumi ini menjadi 9,7 miliar jiwa pada 2050, dan 10,4 miliar pada 2100. Angka ini  juga menunjukkan penambahan jumlah warga bumi berjalan lamban.

 
Apakah bumi sumpek karena penambahan penghuninya ini? Apakah warga bumi tinggal berdesak-desakan?
 
 

Jika dari tujuh miliar jiwa ke delapan miliar butuh 12 tahun, penambahan dari delapan miliar ke sembilan miliar membutuhkan 15 tahun. Apa pun kondisinya, yang pasti jumlah penduduk bumi tidak menyusut atau berkurang, tetapi terus bertambah.

Apakah bumi sumpek karena penambahan penghuninya ini? Apakah warga bumi tinggal berdesak-desakan? Jawabannya tentu bukan jawaban eksakta, sebagaimana satu ditambah satu sama dengan dua. Perkembangan teknologi dan sains turut mengiringi bagaimana penghuni bumi itu hidup "layak" di bumi.

Yang pasti, delapan miliar jiwa pada era kiwari membutuhkan pangan, sandang, dan papan. Pemenuhannya saat ini memerlukan upaya ekstra, apalagi jika penduduk bumi sembilan miliar atau lebih banyak lagi. Terbayang seperti apa mereka memenuhi kebutuhan hidup keseharian.

Tentu masing-masing zaman ada momentumnya. Saat ini bisa jadi belum terbayang bagaimana kebutuhan sehari-hari mereka bisa dipenuhi, tapi bukan tidak mungkin pada 15 tahun ke depan yang tidak tergambar saat ini mewujud.

 
Lepas dari itu semua, delapan miliar jiwa bukan angka kecil. Apalagi, jumlah tersebut tidak terhenti, tetapi terus bertambah.
 
 

Lepas dari itu semua, delapan miliar jiwa bukan angka kecil. Apalagi, jumlah tersebut tidak terhenti, tetapi terus bertambah. Sedangkan, ukuran bumi tidak bertambah luas. Bahkan, sejumlah sumber daya alat menyusut karena proses eksplorasi dan eksploitasi oleh manusia.

Alam sekitar dan lingkungan sebagai "teman" manusia hidup di bumi, mengalami perusakan, bahkan sebagiannya lenyap karena tingkah polah manusia.

Pasokan makanan, air, energi, dan kebutuhan lainnya mesti dipenuhi. Itu baru kebutuhan dasar, belum bicara kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan yang tetap diperlukan agar manusia bisa hidup lebih layak dan nyaman.

Keberhasilan dalam mengelola berbagai kebutuhan manusia ini menjadi pertaruhan bagi kelangsungan bumi dan semua penghuninya. Pertumbuhan jumlah umat manusia mempertaruhkan risiko bagi masa depan, apakah kehidupan makin membaik atau bertambah runyam?

 
Keberhasilan dalam mengelola berbagai kebutuhan manusia ini menjadi pertaruhan bagi kelangsungan bumi dan semua penghuninya.
 
 

Pertambahan jumlah umat manusia dan proses produksi yang mengiringinya berkorelasi dengan pengelolaan lingkungan. Eksploitasi alam dan lingkungan tanpa memperhitungkan kesinambungan, berdampak pada keberlanjutan kehidupan manusia itu sendiri.

Industrialisasi yang tidak terkontrol berakibat pada perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Dalam konteks inilah, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali pada Selasa (15/11) dan Rabu (16/11) menemukan arti pentingnya.

Para pemimpin negara dan kepala pemerintahan dari 20 negara (yang hadir ada 17 kepala negara/pemerintahan), memegang tanggung jawab besar merumuskan kebijakan bersama agar bumi tetap lestari.

 
Deklarasi Bali yang dihasilkan KTT G-20 diharapkan, tak hanya menjadi kesepakatan di atas kertas.
 
 

Deklarasi Bali yang dihasilkan KTT G-20 diharapkan, tak hanya menjadi kesepakatan di atas kertas. Namun, komunike para pengambil keputusan bagi keutuhan bumi itu, mesti mewujud dalam rencana aksi konkret.

Pengakhiran perang yang berdampak pada penderitaan umat manusia, seperti yang ditegaskan Presiden Joko Widodo, harus didukung semua negara.

Perang, sebagaimana diadopasi dari komunike dalam G-20 Leaders' Declaration, menimbulkan kerapuhan ekonomi global, menghambat pertumbuhan, meningkatkan inflasi, mengganggu rantai pasok, meningkatkan kerawanan energi dan pangan, serta meningkatkan risiko stabilitas keuangan.

Pemulihan ekonomi karena krisis akibat pandemi Covid-19 yang melanda warga global tidak terjadi jika perang tidak disetop. Sebagai pemimpin dari negara-negara besar penentu keberlanjutan bumi, mereka punya tanggung jawab besar memastikan masa depan dunia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Presiden: Akhiri Perang

Sebagian besar anggota KTT G-20 akan mengutuk perang di Ukraina di akhir konferensi.

SELENGKAPNYA

BPS: Indonesia Surplus Dagang dengan G-20 

Surplus ini merupakan yang ke-30 kali secara beruntun sejak Mei 2020.

SELENGKAPNYA

Petinggi IOC dan FIFA Turut Suarakan Perdamaian Dunia

Seruan tersebut juga disampaikan dua tokoh penting olahraga dunia

SELENGKAPNYA