Pesantren di Betawi | Dok Republika

Tema Utama

Tiga Pesantren Pertama di Tanah Betawi

Keberadaan pesantren di wilayah kebudayaan Betawi dapat dilacak sejak abad ke-14.

Pendidikan Islam berlangsung seiring dengan perkembangan dakwah agama ini. Pada mulanya, masyarakat menerima ajaran Islam dari seorang mubaligh. Setelah komunitas Muslimin terbentuk, mereka mulai membangun masjid di samping kediaman ulama setempat.

Menurut Prof Haidar Putra Daulay dalam Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, masjid merupakan lembaga pendidikan Islam yang pertama kali muncul. Setelah itu, berbagai institusi lainnya lahir dengan menempatkan masjid sebagai pusat kegiatan.Misalnya, pesantren, dayah, atau surau.

Istilah pesantren cenderung populer bagi masyarakat Muslimin di Jawa. Dayah berkembang di Aceh, sedangkan surau di bumi Minangkabau. Bagaimanapun, lanjut Haidar, semuanya secara hakikat merujuk pada fungsi yang sama, yakni tempat menuntut ilmu-ilmu agama Islam.

Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Menggerakkan Tradisi:Esai-Esai Pesantren menilai, pesantren merupakan suatu kehidupan sosial yang unik.

Sebuah pesantren umumnya merupa kan kompleks yang terpisah dari keseharian masyarakat di sekitarnya.Di dalam area itu terdapat kediaman pengasuh (sebutannya kiai dalam bahasa Jawa, ajengan menurut bahasa Sunda, atau bendaradi Madura); sebuah masjid; tempat pengajaran (madrasah); dan asrama, yakni tempat tinggal para murid yang disebut sebagai santri.

Kegiatan pokok pesantren, lanjut Gus Dur, dipusatkan pada pemberian pengajian buku-buku teks (al-kutub al-muqarrarah) sehabis menjalani shalat lima waktu berjamaah. Inilah yang antara lain membedakan pola kehidupan pesantren dengan warga masyarakat (Muslimin) pada umumnya.

Pesantren pun tumbuh subur di lingkungan kebudayaan Betawi. Dalam buku Pesantren di Ibu Kota: Sejarah dan Perkembangan, Ustaz Rakhmad Zailani Kiki menegaskan, pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Betawi. Jejak sejarah pesantren dapat dilacak, setidaknya sejak abad ke-14 Masehi, yakni ketika Pondok Pesantren Syekh Quro berdiri.

Selama ini, banyak orang yang mengira Jakarta tidak punya sejarah pesantren; yang ada, hanyalah majelis taklim.Padahal, justru pesantren pertama kali yang ada di Tanah Jawa itu adanya di Betawi, ujar Ustaz Kiki saat ditemui Republika di Kantor Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jakarta, beberapa hari lalu.

Menurut dia, pesantren yang pertama kali berdiri di Jakarta dan sekitarnya ialah Pondok Pesantren Syekh Quro. Institusi ini berlokasi di Karawang (Jawa Barat). Ustaz Kiki mengatakan, Karawang termasuk wilayah kebudayaan Betawi. Tidak ubahnya Bekasi, Bogor, Depok, atau Tangerang. Pendapat ini, lanjut sekteratis Rabithah Ma'ahid Islamiyah NU Jakarta tersebut, sejalan dengan pandangan sejarawan Betawi Ridwan Saidi.

Itu (Karawang) masuk wilayah kebudayaan Betawi. Dan pertama kali yang mendirikan pesantren di Tanah Betawi ini adalah Syekh Quro dari Campa, ucap dia.Menurut penelitian Ridwan Saidi, Syekh Quro termasuk kalangan ulama yang pertama kali mendakwahkan Islam kepada masyarakat Betawi.

 

photo
Dok Republika



Ketokohan Syekh Quro memang tak diragukan lagi. Nama lainnya ialah Syekh Qurotul Ain, Syekh Mursyahadatillah, atau Syekh Hasanuddin. Bagaimanapun, nama Syekh Quro agaknya lebih dikenal. Sebab, sebagai seorang qari Alquran, dirinya bersuara amat merdu. Alim tersebut merupakan putra seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syekh Yusuf Siddiq.

Tidak diketahui secara pasti kehidupan masa kecil Syekh Quro. Dalam buku berjudul Ikhtisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul `Ain, tokoh tersebut diketahui pernah berdakwah di Campa dan Malaka. Selanjutnya, pada awal abad ke-15 dia menyambangi daerah Martasinga Pasam bangan dan Japura. Akhirnya, dia sampai di pelabuhan Muara Jati, Cirebon (Jawa Barat).

Beberapa tahun kemudian, Syekh Quro kembali ke wilayah Pajajaran dengan menumpangi kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho saat melawat wilayah Majapahit.Syekh Quro dan sejumlah pengikutinya pun tiba di Karawang.

Pada 1418 penguasa Karawang waktu itu mengizinkan Syekh Quro dan rombongannya untuk mendirikan masjid. Area sekitar tempat ibadah itu dijadikan sebagai tempat tinggal. Mulai saat itu, ulama tersebut merintis pembangunan pondok pesantren pertama tidak hanya di Tanah Betawi, tetapi mungkin juga seluruh Indonesia.

Belakangan, masjid tersebut dikenal luas sebagai Masjid Agung Karawang pada masa modern. Jasad Syekh Quro dimakamkan dalam area kompleks tempat ibadah itu. Hingga kini, banyak peziarah menyempatkan diri untuk mengunjungi pusara ulama besar itu.

Sebagai contoh, KH Ma'ruf Amin dalam suatu kesempatan berziarah ke makam Syekh Quro di Karawang. Menurut dia, perintis dakwah Islam di tanah Betawi itu juga menurunkan raja-raja yang akhirnya memerintah Kesultanan Banten. Termasuk sultan Banten itu adalah keturunan beliau (Syekh Quro), ujar Kiai Ma'ruf yang kini menjabat sebagai wakil presiden RI.

Penelusuran sejarah pesantren di wilayah Jabodetabek tak lengkap tanpa menyertakan nama Guru Marzuki.Pondok pesantren yang didirikannya di Cipinang Muara, Jakarta, begitu legendaris. Lembaga tersebut diperkirakan berdiri dalam rentang lima abad pascapembangunan Pesantren Syekh Quro di Karawang.

Kalangan sejarawan memang belum mene mukan tarikh yang pasti mengenai berdirinya Pesantren Guru Marzuki. Sebab, berbagai riset tentang pesantren di Jakarta terbilang minim. Data yang tersedia masih belum cukup utuh dan mendalam.

Namun, profil figur Guru Marzuki tercatat dalam buku-buku sejarah. Tokoh yang wafat pada 1934 itu termasuk ge nerasi awal alim ulama Betawi. Semasa hidupnya, dia aktif berdakwah di Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. Maka dari itu, masyarakat kerap menyebutnya sebagai Guru Marzuki Cipinang Muara.

Lokasi pesantrennya berada di Kampung Muara, Jakarta Timur. Di sana, Guru Marzuki mengajar dan menulis kitab-kitab.Para santri yang belajar kepadanya tidak hanya dari Jakarta atau Jawa, tetapi juga luar Jawa. Masyarakat setempat amat menghormatinya. Dia dianggap sebagai figur teladan yang selalu membimbing dan mengayomi mereka.

Guru Marzuki lahir pada 15 Ramadhan 1293 Hijriyah, bertepatan dengan 4 Okto ber 1876 Masehi di Jatinegara, Jakarta Timur.Nama lengkapnya, Syekh Ahmad Marzuki bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Ahmad Mirshod bin Hasnum bin Khotib Sa'ad bin Abdurrohman bin Sulthon. Saat usianya 58 tahun, pada 2 November 1934 dia menghembuskan napas terakhir dengan tenang.Pemakamannya dihadiri ratusan ulama serta ribuan warga masya rakat. Kepergiannya untuk selama-lama nya menyisakan duka mendalam bagi umat Islam.

Di antara murid-murid Guru Marzuki yang tersohor ialah KH Noer Ali. Sosok berjulukan Singa Karawang-Bekasi itu merupakan seorang pahlawan nasional. Ali Anwar menjelaskan dalam buku KH Noer Alie: Kemandirian Ulama Pejuang, ada kesan kesederhanaan yang kuat dari lembaga pendidik an yang didirikan Guru Marzuki, setidak- tidaknya dalam kenangan Kiai Noer Ali.

Bangunan fisik pondok pesantren Guru Marzuki di Kampung Muara, Jakarta Timur, pada masa itu hanya terdiri atas empat bangunan. Masing-masing terbuat dari bilik bambu yang dikapur putih dengan arsitektur khas Betawi. Dua bangunan besar di antaranya dijadikan sebagai tem pat mengaji dan asrama bagi santri laki-laki.

Adapun dua bangunan yang lebih kecil ukurannya difungsikan sebagai kediaman Guru Marzuki. Selain itu, rumah tersebut juga menggelar pengajian khusus bagi para santri perempuan. Forum keilmuan ini diampu istri sang guru.

Ali Anwar meneruskan, para santri yang mondokter biasa hidup bersahaja. Misalnya, tidur di atas lantai yang hanya beralaskan tikar rotan; mandi dengan sumber air pancuran; dan sebagainya. Pada waktu itu suasana di lingkungan Cipinang Muara masih marak ditumbuhi pepohonan, alih- alih jalanan aspal atau beton bangunan.Alhasil, para santri sering menanam berbagai pohon yang dapat dipetik buahnya.

Selain itu, sungai-sungai pun masih jernih airnya, sehingga kerap dimanfaatkan sebagai sumber air dan tangkapan ikan.Di luar aktivitas pendidikan, Guru Marzuki juga terlibat aktif dalam organisasi masyarakat (ormas) Islam. Dia tercatat sebagai seorang pendiri Nahdlatul Ulama di Batavia (Jakarta) pada 1928. Hal itu dengan dukungan Habib Ali bin Abdurrahman al- Habsyi alias Habib Ali Kwitang.

Lembaga lain yang turut mewarnai sejarah pesantren di Jakarta dan sekitarnya ialah Pondok Pesantren Darunajah di Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Dari segi usia, pesantren tersebut lebih muda daripada Pondok Pesantren Syekh Quro dan Pesantren Guru Marzuki. Coraknya juga terbilang khas karena mengombinasikan pola pendidikan salaf dan modern.

Pendirinya adalah KH Abdul Manaf Mukhayyar yang juga berasal dari Betawi.Abdul Manaf Mukhayyar lahir di Kampung Kebon Kelapa, Palmerah, Jakarta Barat, pada 22 Juni 1922. Saat masih anak-anak, dia pernah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Setelah itu, atas izin orang tuanya, dia belajar pada Jamiat Kheir di bi langan Karet, Tanah Abang, Jakarta.

Pada masa pendidikan di Jamiat Kheir, pada 1939 Abdul Manaf mulai menggagas pendirian madrasah dengan sistem modern.Ide ini akhirnya berhasil dia wujudkan dengan menginisiasi Madrasah Islamiyah pada 1942. Pola pendidikan yang diterapkan di sana mengikuti sistem modern tanpa menanggalkan sama sekali unsur-unsur keislaman.

Selain itu, dia berupaya memberikan bantuan pendidikan cuma-cuma kepada anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Dengan berbagai upaya, Kiai Abdul Manaf akhrinya berhasil mendirikan Pondok Pesantren Darunnajah.

Dalam perkembangannya, lembaga ini menjadi salah satu pesantren terkemuka di Jakarta atau bahkan seluruh Indonesia. Pada awal 2012,Yayasan Darunnajah tercatat memiliki 14 unit pesantren di penjuru Tanah Air. Jumlah santrinya mencapai ribuan orang dari berbagai macam daerah. Tidak hanya konsen di dunia pendidikan. Kiai Abdul Manaf juga turut berjuang, terutama pada era kemerdekaan Indonesia. Pada masa revolusi, dia ikut dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda yang ingin kembali menjajah negeri tercinta. Dia termasuk dalam laskar pejuang di Rawabelong, Kebayoran Lama, dan Palmerah. Pada 21 September 2005 Kiai Abdul Manaf wafat dalam usia 83 tahun. (ed: hasanul rizqa)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat