Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Nostalgia

Ini yang Membuat Perbedaan Penulisan Proyek dan Subjek

Tak ada huruf y di dalam ejaan Soewandi. Namun, Sukarno mengubah Kemajoran menjadi Kemayoran.

 

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Tak ada huruf y di dalam ejaan Soewandi. Namun, Sukarno mengubah Kemajoran menjadi Kemayoran. Pun tak ada pula huruf f, ch, sy, dan z, tetapi huruf-huruf ini semakin banyak digunakan orang.

Hingga 1960-an, menurut catatan Lukman Ali, bahasa Indonesia masih menjadi bahasa yang kacau. Aturan standar yang diinginkan para pengembang bahasa belum juga bisa diterapkan.

Pada 1960-an itu, muncul pula proyek Senen, yang juga memakai huruf y. Pada 1960-an itu pun muncul pula Kartika Chandra Kirana, nama organisasi Persatuan Istri Prajurit (Persit). Chandra memakai ch.

Pada 1957 memang ada sistem ejaan baru, yaitu Ejaan Pembaharuan, tetapi ejaan ini belum diresmikan karena ada grafem yang aneh, yang asing bagi orang Indonesia. Ejaan ini memang sudah mengganti huruf dj menjadi j, huruf j menjadi y (di huruf Jawa ada juga y).

Untuk ny hanya berupa huruf n yang di atasnya diberi tanda. Demikian pula sy hanya ditulis dengan huruf s yang di atasnya diberi tanda. Sedangkan, huruf ng ditulis dengan huruf n yang kaki belakangnya bengkok ke dalam. Banyaknya grafem aneh ini membuat Ejaan Pembaharuan tidak dipakai.

 
Ejaan Pembaharuan itu pula yang ditawarkan ke Malaysia untuk dijadikan ejaan bersama yang kemudian dikenal sebagai Ejaan Melayu-Indonesia (Melindo).
 
 

Ejaan Pembaharuan itu pula yang ditawarkan ke Malaysia untuk dijadikan ejaan bersama yang kemudian dikenal sebagai Ejaan Melayu-Indonesia (Melindo) dengan beberapa penyesuaian di sana-sini. Namun, lagi-lagi, ejaan ini juga tidak disukai karena adanya grafem aneh itu. Sebenarnya sudah disepakati akan diberlakukan paling lambat Februari 1962, untungnya tertunda dan keburu pecah konflik Malaysia-Indonesia.

Lalu pada Mei 1966, di tengah konflik politik yang masih panas setelah pemberontakan G-30-S/PKI, Anton Moeliono memimpin panitia ejaan yang kemudian melahirkan Ejaan Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK). Saat itu Sukarno masih menjadi presiden.

Lalu pada September 1967, kepanitiaan Anton Moeliono ini disahkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan dan nama kepanitiaannya diubah menjadi Panitia Ejaan Bahasa Indonesia. Sukarno sudah menyerahkan kekuasaannya pada Februari 1967 dan Soeharto sudah diangkat menjadi pejabat presiden. Namun, tugas Anton Moeliono dan kawan-kawan meneruskan pekerjaan yang mereka mulai sejak Mei 1966 itu.

Ejaan LBK kemudian dikembangkan menjadi Ejaan yang Disempurnakan (EYD), meski di surat keputusan penetapan namanya adalah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEBIYD), yaitu Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 03/A.I/72.

Sebelum diresmikan pada 1972, baik Ejaan LBK dan kemudian EYD disosialisasikan terlebih dulu. Baik di Ejaan LBK maupun di EYD, huruf konsonan ch diubah menjadi kh, nj menjadi ny, sj menjadi sy. Huruf diftong ay menjadi ai, aw menjadi au, oy menjadi oi.

Namun, rupanya penolakan muncul di mana-mana terhadap ejaan ini. Berbagai surat protes dilayangkan. Penyusunan ejaan ini dinilai sebagai proyek nekolim. Konsep ejaan ini dianggap merugikan umat Islam yang biasa menggunakan huruf Jawi (Arab gundul). Menurut Lukman Ali yang juga menjadi anggota panitia, anggota-anggota panitia ejaan bahkan diserang secara pribadi. Mulai dari menerima dana asing hingga agama  juga dipersoalkan.

 
Berbagai surat protes dilayangkan. Penyusunan ejaan ini dinilai sebagai proyek nekolim.
 
 

Polemik ejaan ini bahkan telah mengundang Moh Hatta ikut berkomentar. Ia menyarankan agar konsep ejaan itu diajukan ke DPR untuk dibahas. Keputusan diserahkan kepada DPR untuk menolak atau menyetujuinya. Namun, Hatta mengajukan syarat bahwa DPR yang berhak membahas adalah DPR hasil pemilu, bukan DPRS yang ada saat itu. Tentu saja harus menunggu diadakannya pemilu. Karena itu, pada 1969, sosialisasi ejaan dihentikan untuk meredam keresahan masyarakat.

Hingga pada akhirnya, pada 16 Agustus 1972, Presiden Soeharto meminta para pejabat, media, dan sebagainya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan betul. Panduannya adalah EYD yang sudah dibuat oleh panitia ejaan.

Departemen Pertahanan dan Keamanan menjadi yang terdepan menyambut peluncuran EYD ini. Diadakanlah pelatihan bahasa Indonesia untuk pegawai Tata Usaha  di lingkungan Hankam di berbagai daerah. Ada 20 angkatan, dimulai sejak 4 April 1973. EYD kemudian dikesankan sebagai upaya Presiden Soeharto menguasai makna bahasa, meski penyusunannya dimulai di masa Presiden Sukarno.

Meski ch diganti kh, tetap saja nama Chandra tidak lantas menjadi Khandra. Nama Chaniago tidak lantas menjadi Khaniago. “Project” tetap menjadi “proyek”, seperti yang telah dipakai sejak 1960-an.

 
EYD kemudian dikesankan sebagai upaya Presiden Soeharto menguasai makna bahasa, meski penyusunannya dimulai di masa Presiden Sukarno.
 
 

Namun, “subject” yang diserap belakangan, menjadi “subjek”, “object” menjadi “objek”, untuk mematuhi kaidah penyerapan kata-kata asing. Penyerapan kata-kata asing telah menjadi polemik sejak 1954, menjelang Kongres Bahasa Indonesia Kedua.

Ada yang usul, untuk kemudahan, kata-kata sing yang sudah populer diserap saja sesuai ejaannya dengan cara adopsi ataupun juga adaptasi, tapi ada juga yang mengusulkan lebih baik dicarikan arti kata dalam bahasa yang ada di Indonesia.

Maka pada masa lalu, wajar jika ada sebutan “penulis” untuk menggantikan “secretaris”. Akan tetapi, ada juga yang menyerapnya dengan cara adaptasi menjadi “sekretaris”, dan itu yang populer hingga kini.

EYD 1972 diperbarui pada 1987. Nama resminya di surat keputusan tetap Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEBIYD), yaitu Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987. Namun, nama merek yang dipakai tetap EYD.

Lalu pada 2015 diperbarui lagi, dan menggunakan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), sesuai dengan nama yang dipakai di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015.

Pada 2022, nama merek yang dipakai dikembalikan lagi pada nama EYD. Nama yang dipakai di surat keputusannya adalah Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EBIYD), yaitu Surat Keputusan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Nomor 0424/I/BS.00.01/2022.

Aturan agar bahasa Indonesia memiliki standar sudah ada, tapi kini bahasa Indonesia kembali menjadi kacau ketika ada algoritma internet. Penggunaan kata di media daring ditentukan oleh kata yang banyak dicari di mesin pencari, kendati kata itu tidak memenuhi kaidah EYD.

Sumpah Pemuda di Rumah Pondokan

Para pemuda dan mahasiswa yang menghadiri acara ini cukup membeludak.

SELENGKAPNYA

Bahasa Indonesia pada Tahun-Tahun Awal Indonesia Merdeka

Surat-surat laporan pajak dari perusahaan-perusahaan, misalnya, masih ada yang menggunakan bahasa Belanda, Tionghoa, Jerman, Inggris, atau Prancis.

SELENGKAPNYA

Jalan Menemukan Mursyid

Yang mengaku mursyid banyak, tapi yang layak menjadi mursyid ideal tidak banyak

SELENGKAPNYA