Sejumlah santri mengikuti upacara bendera yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama (NU) di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Jumat (22/10/2021). Upacara bendera yang diakhiri dengan peragaan pencak silat di pondok pesantren besar tersebut gun | ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/hp.

Opini

Santri: Siap Amankan Negeri Tercinta Republik Indonesia

Santri banyak berkontribusi membangun negeri.

MUHLISIN IBNU MUHTAROM; Alumni & Pengajar Di Pondok Pesantren Darunnajah 2 Cipining Bogor

 

Memisahkan keislaman dan keindonesiaan dalam kehidupan mayoritas warga Indonesia adalah sikap skeptis, perilaku ahistoris serta tidak realistis.  Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sudah menegaskan dengan sangat jelas, bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas “Ketuhanan Yang Maha Esa”.  

Secara historis juga sangat cetho welo-welo (gamblang) seterang matahari di siang hari, tanpa bermaksud mengeliminasi dan  menegasikan perjuangan umat agama lainnya, bahwa kaum muslimin dan tokoh-tokoh umat Islam begitu gigih bahkan berani mati memperjuangan serta meltakkan dasar kemerdekaan bumi pertiwi ini. Sekedar beberapa bukti: KH. Hasyim Asy'ari yang menggelorakan Resolusi Jihad, KH. Wahab Hasbullah, KH. Hasyim Wahid, KH. Ahmad Dahlan, H. Agus Salim, Ki Bagus Hadi Kusumo, KH. Muhammad Natsir, KH. Zaenal Musthofa, Panglima Besar Jendral Sudirman yang sering dipanggil 'Kajine' dalam memimpin Perang Gerilya, Pangeran Diponegoro, Tengku Umar, Cut Nyak Din, Sultan Hasanuddi, Tuanku Imam Bonjol, Buya Hamka dengan agenda Ghirah Jihadnya, hingga Bung Tomo dengan agitasi Takbirnya ‘Allahu Akbar’ mampu menghidupkan fighting spirit arek-arek Surabaya dalam membela dan mempertahankan kehormatan Indonesia. 

Terkait integrasi keindonesiaan dan keislaman, tidak kurang dari seorang Presiden Republik Indonesia keenam, Bapak H. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, senantiasa menyampaikan betapa Indonesia beruntung mempunyai tiga komponen sekaligus aset besar untuk kemajuan pembangunan bangsa dan negara. Sebagimana selalu dibanggakannya, “in Indonesia, Islam, modernity and democracy go hand in hand effortlessly”. 

Pendiri dan Pimpinan Pondok Modern Gontor, KH. Imam Zarkasy mengharapkan tidak perlu ada kekhawatiran, apalagi yang berlebihan, terhadap kaum Santri. Dalam artikel yang dimuat Majalah Djiwa Islam, Edisi No. 5, Yogyakarta 15-8-1365 /15-7-1946, beliau menuliskan: Bagi bangsa Indonesia, perasaan keagamaan ini masih tetap menjadi pedoman hidup serta paling besar pengaruh dan kekuasaannya atas jiwa rakyat. Tercantumnya dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Undang-Undang Dasar, sungguh sesuai dengan perasaan keagamaan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, kekhawatiran akan timbulnya perpecahan atau perselisihan yang disebabkan agama tidak perlu ada. Apalagi mayoritas rakyat beragama Islam, sedang agama Islam tetap mengajarkan persaudaraan dengan mengingatkan bahwa semua manusia berasal dari satu ibu dan satu bapak, serta mengajarkan agar kita hidup saling mengenal dengan berbagai golongan atau bangsa. Ajaran bahwa yang paling mulia di antara kita ialah yang paling bertakwa kepada Allah, mengharuskan kita untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap penganut agama lain, kecuali dalam keadaan permusuhan. 

Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara mestilah berbasis penanaman nilai. Ki Hajar mencita-citakan sistem pendidikan pondok pesantren sebagai bentuk ideal Pendidikan Nasional. Pada November 1928, di majalah Wasita, jilid I no. 2, terbit artikel Ki Hajar berjudul “Sistem Pondok dan Asrama itulah Sistem Nasional”. Beliau menjelaskan “Mulai jaman dahulu hingga sekarang rakyat kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang ‘pondok pesantren’, kalau zaman kabudan dinamakan ‘pawiyatan’ atau ‘asrama’. Adapun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumah kiai guru (Ki Hajar), yang dipakai buat pondokan santri-santri (cantrik-cantrik) dan rumah pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendirinya selalu berhubungan dengan pendidikan”. Ki Hajar Dewantara menekankan inti sari pendidikan sebagai proses penanaman adab dan kesusilaan: “Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak-anak kita, supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan bersusila”. 

Pesantren adalah pusaka bangsa Indonesia. Ia sudah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu, dan merupakan lembaga pendidikan yang sangat efektif dan berpengaruh besar bagi proses penyebaran islam di Indonesia pada umumnya, di Jawa khususnya. Para ‘Wali Songo’ adalah perintis terkemuka sistem pendidikan pesantren. Pesantren Sunan Giri (Syekh ‘Ainul Yaqin) adalah salah-satu yang terkenal. 

Berikut 10 provinsi dengan jumlah pondok pesantren terbanyak, beserta santri mukim dan santri tidak mukimnya: Jawa Barat: 8.343 (148.987 + 306.728), Banten: 4.579 (60.897 + 96.042), Jawa Timur: 4.452 (323.293 + 241.006), Jawa Tengah: 3.787 (166.605 + 132.269), Daerah Istimewa Aceh: 1.177 (124.922 + 50.974), Nusa Tenggara Barat: 684 (126.881 + 122.961), Lampung: 677 (32.469 + 31.782), Daerah Istimewa Yogyakarta: 319 (30.858 + 14.271), Sumatera Selatan: 317 (39.225 + 29.164), dan Sulawesi Selatan: 289 (43.091 + 30.613). 

Adalah Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi menjelaskan urgensi sistem atau model pendidikan berasarama di Gontor yang kemudian diikuti banyak pesantren alumninya termasuk Darunnajah. Bagaimana sebenarnya model pendidikan di Pesantren Gontor Ponorogo, sehingga mampu melahirkan tokoh-tokoh bangsa? Jawabnya, dengan segala kekurangannya, keunggulan pendidikan Gontor ada pada sistem asramanya. Saya (Hamid Fahmi Zarkasyi) masih ingat pernyataan Prof. Dr. Abdul Mukti Ali (alm), mantan Menteri Agama zaman Orde Baru, bahwa sistem pendidikan Islam paling efektif adalah sistem madrasah yang diasramakan. Apa yang dimaksud Pak Mukti mungkin adalah Gontor. Tapi asrama bukan sekedar tempat tinggal, asrama yang diatur dengan jiwa-jiwa kepesantrenan. 

Model pendidikan di Gontor merupakan super system yang meliputi sistem-sistem, seperti sistem pendidikan, sistem pengajaran, sistem disiplin, sistem pengasuhan, sistem pengajaran bahasa, sistem wakaf, sistem kaderisasi dan sebagainya. Setiap sistem memerlukan penjelasan yang detail, beberapa sudah menjadi tesis dan disertasi, tetapi ada pula yang tidak mudah digambarkan, seperti sistem keikhlasan, sistem ukhuwwah dan sebagainya. Misalnya sistem asrama, di dalamnya terdapat sistem pengasuhan yang mengatur pendidikan non formal dan informal para santri.

Dengan sistem ini para santri di Gontor mengalami proses belajar selama 24 jam. Sebab makan, minum, tidur, istirahat, belajar dan lain-lain diatur dengan disiplin. Di dalam sistem asrama secara non formal para santri belajar organisasi, wiraswasta, leadership, kejujuran, keikhlasan, ukhuwwah islamiyah dan lain sebagainya.

Dengan asrama para santri hidup di lingkungan yang didesain secara Islami demi pendidikan sehingga memperoleh banyak pelajaran berharga. Di lingkungan di mana semua orang belajar dengan tekun para santri akan terbawa oleh situasi tersebut, di lingkungan di mana semua orang ikhlas bekerja para santri akan terwarnai oleh lingkungan tersebut, di dalam milieu di mana semua orang saling bekerjasama atau tolong menolong akan muncul di dalam diri santri jiwa kerjasama itu, ketika para santri diberi kepercayaan mengeloloa kehidupan mereka sendiri di asrama, akan tumbuh dalam diri para santri jiwa-jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab, demikian seterusnya.

Ini baru satu sistem dari beberapa sistem yang diterapkan di Gontor. Tapi Gontor hanyalah salah-satu sistem pendidikan Islam, masih banyak model dan sistem lain dari pendidikan Islam yang bisa dikembangkan dengan penekanan masing-masing dalam konteks membangun peradaban Islam. 

Harapan besar akan kemajuan umat Islam sesungguhnya berkelindan dengan kemajuan bangsa Indonesia. Indonesia adalah negara besar yang mayoritas penduduknya muslim. Karenanya Indonesia mestinya menjadi bangsa yang mandiri. Bukan bangsa pengemis dan bermental kuli. Mungkin terlalu lama bangsa ini dijajah, sehingga mewariskan mental terjajah.  Termasuk dalam bidang pendidikan, mestinya benar-benar dipraktekkan sistem dan pola pendidikan khas Indonesia, seperti telah disampaikan pada paragraf sebelumnya. Semoga!.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat