ILUSTRASI Ummu Salamah merupakan contoh Muslimah yang sabar dan tawakkal pada masa Nabi SAW | DOK AP Charles R Arbogast

Kisah

Pisah dan Jumpa Dalam Hijrah

Dalam sejarah Islam, hijrah merupakan salah satu momen yang krusial.

OLEH HASANUL RIZQA

Dalam sejarah Islam, hijrah merupakan salah satu momen yang krusial. Inilah titik mula perkembangan agama tauhid yang begitu pesat. Perpindahan dari Makkah ke Madinah—dahulu bernama Yastrib—tidak hanya dilakukan Nabi Muhammad SAW, melainkan juga Muslimin. Termasuk di antara para muhajirin itu adalah Abu Salamah dan Ummu Salamah.

Pasangan suami dan istri itu teguh beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka begitu turun wahyu mengenai hijrah, mereka pun turut serta dalam rombongan yang menuju Madinah. Keduanya rela melepaskan gelimang harta yang telah membesarkannya selama di Makkah. Keputusannya tidak lain untuk menjawab perintah dan bukti kecintaan terhadap ajaran Islam.

 
Keduanya rela melepaskan gelimang harta yang telah membesarkannya selama di Makkah.
 
 

Di tengah-tengah perjalanan menuju Madinah, Abu Salamah bertemu dengan keluarga besar Ummu Salamah. Anak dan istri lelaki itu ikut dalam perjalanan hijrah. Namun, sanak famili sang istri tidak memperbolehkan Ummu Salamah dan anaknya untuk mendampingi Abu Salamah. Pasangan suami dan istri itu memang masih satu kabilah, yakni berasal dari Bani Makhzum.  

Akhirnya, Abu Salamah mengikuti permintaan keluarga besar istrinya. Ia pun meninggalkan keluarga tercintanya itu. Walau kecintaannya begitu besar terhadap istri dan anaknya, perintah Allah SWT dan Rasul-Nya selalu berada di atas segalanya. Sahabat Nabi SAW ini tetap meneruskan hijrah ke Madinah meskipun tanpa didampingi orang-orang yang dikasihinya.

Melihat keadaan itu, kini giliran keluarga besar Abu Salamah yang tak bisa menerima perlakuan sanak famili Ummu Salamah. Mereka bahkan mendatangi keluarga Ummu Salamah dengan niat hendak mengambil anak Abu Salamah.

“Kami tidak akan membiarkan anak saudara kami (anak Abu Salamah) tinggal bersama Ummu Salamah. Sungguh, kalian telah memisahkannya dari ayahnya,” kata perwakilan keluarga Abu Salamah.

Akhirnya, ikutlah anak tersebut dengan bapaknya. Kini, tinggal Ummu Salamah seorang diri di rumahnya di Makkah. Karena dilanda kerinduan, wanita tersebut nyaris setiap hari keluar menuju tempat perpisahannya dengan sang suami tercinta.

Di sana, dirinya kadang kala menangis sepanjang hari, sejak pagi hingga sore. Pikirannya selalu teringat dua orang yang ia sayangi itu. Betapa mereka dipisahkan secara paksa darinya. Barulah sesudah malam turun, ia kembali ke rumahnya dengan masih membawa duka nestapa.

Kira-kira satu tahun lamanya Ummu Salamah berpisah dengan suami dan anaknya. Walaupun dijerat perasaan rindu, ia selalu berusaha untuk ikhlas. Sebab, hijrah adalah bukti keimanan kepada Allah SWT.

 
Kira-kira satu tahun lamanya Ummu Salamah berpisah dengan suami dan anaknya.
 
 

Pada suatu hari, Ummu Salamah memberanikan diri untuk menyusul suaminya ke Madinah. Terlebih dahulu, ia mendatangi pihak keluarga-besar Abu Salamah. Mengetahui niatnya itu, mereka akhirnya mengalah, tidak lagi bisa menolak. Anak Ummu Salamah pun kembali diserahkan kepadanya.

Maka ibu dan anak ini mulai berangkat menuju Madinah. Akan tetapi, keduanya sama sekali tidak mengetahui arah begitu keluar dari perbatasan Makkah. Allah menakdirkan, keduanya berpapasan dengan rombongan Utsman bin Thalhah di kawasan at-Tan’im. “Kalian hendak pergi ke mana, wahai putri Abu Umayyah (nama panggilan Ummu Salamah)?” tanya Utsman.

“Aku ingin menyusul suamiku di Madinah,” jawab istri Abu Salamah itu.

“Apakah tidak ada seorang pun yang mengantarmu?” timpalnya lagi

“Demi Allah, tidak ada yang membersamaiku kecuali anakku ini dan Allah.”

Dengan sukarela Utsman bin Thalhah mengantarkan Ummu Salamah sampai di Madinah. Begitu tiba di perbatasan kota tersebut, Utsman menunjukkan kepadanya arah lokasi perkampungan Bani Amr bin Aud di Quba. Di sanalah Abu Salamah menetap sejak hijrah dari Makkah.

“Suamimu berada di kampung ini. Masuklah dengan berkah dari Allah!” Kemudian Utsman bin Thalhah kembali pada urusan perniagaannya di luar Madinah. Pada akhirnya, Ummu Salamah berkumpul lagi dengan suaminya. Betapa bahagia Abu Salamah mendapati istri dan anaknya telah berada di sisinya.

Lihatlah perjuangan para sahabat Nabi demi menyelamatkan agama mereka. Harta yang mereka kumpulkan mereka nafikan. Kedudukan yang terhormat mereka abaikan. Bahkan, di antara mereka ada yang menahan duka terpisah dari orang-orang tercinta.

Terkesan

Selama dalam perjalanan menuju Madinah, Ummu Salamah memiliki kesan tersendiri terhadap Utsman bin Affan. Ia merasa menemukan kemudahan tak terduga. Bahkan dalam benaknya, Ummu Salamah tertegun dengan perilaku Utsman.

“Demi Allah, tidak pernah aku berjalan bersama seorang lelaki Arab yang aku lihat lebih memuliakan aku lebih dari yang dia lakukan,” katanya.

Ia pun menjelaskan, Utsman benar-benar menghargai perempuan. Ia memberikan kesempatan baginya ketika turun dari unta hingga turun secara sempurna. Ia tetap menjaga jarak, meski selama dalam perjalanan kedekatan mungkin saja tercipta.

Begitu juga saat hendak memulai perjalanan, Utsman mempersilakan Ummu Salamah mengendarai unta dengan menjaga posisi agak menjauh. Perlakuan itu tak ayal mendatangkan rasa kenyamanan, meski Ustman merupakan orang asing. Sikap sopan dan penuh penghormatan ini ia lakukan hingga tiba di Madinah.

Kudeta dan Nawaksara Versi Jenderal Besar

Mengapa Sukarno takut terhadap Jenderal Nasution? Mengapa pula Nasution tidak melakukan kudeta, padahal ia jadi korban?

SELENGKAPNYA

Ade Irma Suryani: Anak Periang Korban G30S

Walaupun Ade luka parah, tapi dia tidak pingsan sama sekali.

SELENGKAPNYA

Kekejaman PKI dari Masa ke Masa

Penyiksaan sebelum pembunuhan juga terjadi terhadap sejumlah orang di Solo pada 1965.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya