
Tokoh
Kudeta dan Nawaksara Versi Jenderal Besar
Mengapa Sukarno takut terhadap Jenderal Nasution? Mengapa pula Nasution tidak melakukan kudeta, padahal ia jadi korban?
OLEH SELAMAt GINTING
Jenderal Abdul Harus Nasution merupakan perwira tinggi paling senior ketika pecah peristiwa berdarah 30 September 1965. Peristiwa itu menyebabkan enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama gugur.
Baginya, peristiwa tersebut menghina korps perwira, khususnya Angkatan Darat. Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani termasuk yang menjadi korban kebiadaban itu.
Begitu juga dengan Pak Nas (sebutan untuk AH Nasution) yang masuk daftar perwira tinggi yang akan diculik dan dibunuh. Ia berhasil melarikan diri dengan melompat pagar tembok. Namun putrinya, Ade Irma Suryani Nasution, serta ajudannya Lettu CZI Piere Tendean gugur.
Lalu, banyak pihak yang bertanya-tanya, mengapa Jenderal AH Nasution tidak melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno? Itulah pertanyaan klasik yang selalu dilontarkan wartawan, mahasiswa, dan berbagai pihak. Hingga pada akhirnya Pak Nas membuat sebuah tulisan untuk menjawabnya pada Oktober 1994.
Berikut jawaban Pak Nas terhadap pertanyaan itu.
Kudeta.
Rupanya ada saja anggapan bahwa kemauan sikap atasan harus ditaati bawahannya. Tentulah sistem TNI tidaklah demikian oleh karena kehidupan prajurit adalah taat kepada Sapta Marga dan lain-lainnya, serta taat sepenuhnya kepada perintah atasannya (hukum disiplin), atas dasar kesadaran perjuangan, TNI kita tidaklah terkecuali.
Saya mendengarkan satu penilaian terhadap pribadi saya sebagai konseptor Perang Gerilya yang cukup berhasil. Tapi rupanya saya juga dinilai berhasil demikian di bidang militer dan tidaklah berhasil di bidang politik, yakni sebagaimana ada diajukan mengapa Pak Nas tidak mengoper kekuasaan dari tangan Presiden Sukarno setelah G30S?
Memang pada tahun 1965 itu tidak ada niat pada kami, para Jenderal untuk mengkup Presiden, hal itu pada malam 1 Oktober 1965 dinyatakan oleh Jenderal Suharto: “Untuk sementara pimpinan AD kami pegang, antara AD, ALRI, dan AKRI telah mendapat saling pengertian, bekerja sama, dan kebulatan tekad penuh, untuk menumpas perbuatan Kontra Revolusioner yang menamakan dirinya “G30S” . . . Telah membentuk “Dewan Revolusi Indonesia” dan telah mengambil kekuasaan negara atau lazimnya disebut kup dari tangan Presiden Sukarno. . . .
Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan mereka itu Kontra Revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tindakan mereka itu Kontra Revolusioner yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Kita yakin dengan bantuan penuh dari masa rakyat yang progresif revolusioner, gerakan Kontra Revolusioner 30 September pasti dapat dihancurleburkan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya di bawah pimpinan Presiden kita tercinta Bung Karno.”
Memanglah tidak pernah ada niat menggeser Presiden sedemikian karena dengan mengkup presiden dapatlah PKI membuktikan alasan mereka untuk mengkup pimpinan AD dan menggantinya dengan orang-orang mereka sebagai landasan untuk mengoper pimpinan RI. Jadi, kami tidaklah punya niat demikian dan syukurlah tidak terpancing berbuat demikian.
Yang jadi pikiran kami adalah hanya satu, yakni waktu itu fitnah terhadap AD sebagai antek CIA untuk menyingkirkan Presiden. Jadi, tidak ada niat kami demikian, yang jadi niat kami hanyalah agar tukang fitnah itu diperiksa dan kami bersedia diadili jika fitnah itu benar, tetapi sebaliknya jika fitnah mereka tidak benar, supaya si pemfitnah itu diadili/dihukum konform. Karena itu, para Jenderal AD saya kerahkan untuk membuat petisi kepada Presiden guna membantah fitnahan itu, sebagaimana saya ucapkan pada penglepasan jenazah Yani (Jend A Yani) dkk.
Di samping itu, perlulah saya ingatkan bahwa dengan pangkat senior saya, maka saya tidaklah berhak memerintahkan bawahan. Upaya fitnahan kepada saya cukup berhasil, yakni pada tahun 1962 “menggantikan saya” dengan Jenderal Yani, lalu setahun kemudian mereka berhasil pula “meniadakan” jabatan Wapangsar say, sehingga saya sepenuhnya di luar komando ABRI. Maka dengan itu dapatlah dimengerti.
Seperti tertulis Cindy Adams (penyusun biografi Bung Karno) dalam “My Friend The Dictator”, tentang hari-hari genting itu berada di sekeliling Presiden. Pada halaman 307: “The only reason Suharto was names to his high position was as a sop to Soekarno, who hates Nasution, the uncrowned political ruler of the military”, menggambarkan kegigihan emosional beliau dalam soal-soal mengenai pribadi saya.
Saya telah mendengar kegigihan itu sebelumnya dari Jenderal Soeharto sendiri, waktu persoalan Kas KOTI (kepala staf komando tertinggi), pemecatan saya dari Kabinet, dsb-nya.
Saya telah mendengar kegigihan itu sebelumnya dari Jenderal Soeharto sendiri, waktu persoalan Kas KOTI (kepala staf komando tertinggi), pemecatan saya dari Kabinet, dsb-nya. Beda dari masa saya KSAD term ke-2, di mana beliau menyerahkan surat kuasa penuh yang ditandatangani oleh PM Juanda kepada saya sewaktu beliau pergi ke luar negeri. Tapi dengan meneliti proses pematangan oleh PKI cs, kemudian saya dapat memahami satu dan lainnya.
Prosesnya ialah pertama-tama pergolakan memperebutkan komando AD, tanggal 1 Oktober 1965 Jenderal Soeharto sesuai standing order AD bertindak sebagai Pj Pangad, tapi Presiden mengoper Komando AD dengan Jenderal Pranoto sebagai care taker. Setelah perundingan Bogor (saya tidak diundang), tanggal 3 Oktober Jenderal Suharto mengumumkan mematuhi perintah Presiden melepaskan jabatan Pj Pangad dan bertindak seterusnya sebagai Pangkopkamtib, dst-nya.
Bergolaklah soal menduduki jabatan-jabatan yang menentukan, yaitu Kas KOTI, Wakil Presiden, Jakil PM Bidang Hankam, dst-nya. Pangad mencalonkan saya jadi Kas KOTI tapi ditolak oleh Presiden, sehingga Jenderal Soeharto terpaksa merangkapnya di samping jabatan Pangad dan Pangkopkamtib.
Presiden marah karena ada beberapa pihak mengusulkan saya jadi Wakil Presiden. Sehingga Pangad memprakarsai Statement ABRI 21 Januari 1966, tak perlu mengisi jabatan itu. Kemudian Presiden menghapuskan jabatan saya, Menko Hankam/Kasab, Presiden menolak lagi pencalonan saya sebagai Waperdam Hankam sehingga Jenderal Soeharto terpaksa lagi merangkapnya di samping jabatannya yang sudah cukup banyak itu.
Kebetulan sebagai senior ABRI saya dimunculkan oleh AD untuk berbagai jabatan itu, tapi tiap kali dilawan gigih oleh Presiden, tapi untuk menjabat Ketua MPRS beliau tidak mutlak merintangi, dan bisa menerima asal jangan jadi Pj Presiden. Inilah yang terjadi.
Presiden marah karena ada beberapa pihak mengusulkan saya jadi Wakil Presiden. Sehingga Pangad memprakarsai Statement ABRI 21 Januari 1966, tak perlu mengisi jabatan itu.
Memanglah ada saya penilaian politik bahwa sikap saya kurang “politis” sehingga terjadi pendapat-pendapat bahwa saya melihat “kesempatan-kesempatan” tersebut dengan kacamata yang dianggapnya lebih legalitis (UUD) serta idealis daripada politis.
Saya tidak tersinggung, tapi merasa berkewajiban untuk menjelaskan peristiwa 1965 itu sebagaimana adanya kepada mahasiswa. Adalah pertanyaan yang sampai sekarang terus diajukan kepada saya, baik dari luar maupun dari dalam negeri, tapi perlu juga dihargai kondisi pada waktu itu di mana “Presidenlah yang masih menentukan tentang jabatan-jabatan” sehingga ditulis oleh Cindy Adams, seperti tersebut di atas.
Saya menghargai sikap spontan mahasiswa sebagaimana telah menilai saya sebagai tukang gerilya militer dan bukan politik. Dan saya berdoa semoga pembangunan ABRI seterusnya dilengkapi sebagai milisi sehingga para perwiranya bukan saja berasal dari Akademi tapi juga dari perwira cadangan (wamil). Seingat saya belakangan ini 2 (dua) perwira puncak tentara Amerika adalah juga berasal dari wamil (Panglima Gulf serta Ketua Gabungan Kepala-kepala Staf). Insya Allah dengan demikian lebih terpadu persatuan semua pemuda, baik dalam ABRI maupun Sipil.
Saya yakin bahwa konflik kepentingan adalah bagian tetap dari kehidupan manusia. Aspirasi dan kepentinganlah yang melahirkan politik. Maka pokok permasalahan adalah terletak pada politik umumnya dan pada pilihan penyelesaian konflik khususnya. Saya yakin bahwa kondisi yang diharapkan Mac Arthur itu takkan tercapai selama politik lebih berdasarkan kekuasaan dan bukan berdasarkan “moralitas dan akal sehat”.
Saya yakin bahwa konflik kepentingan adalah bagian tetap dari kehidupan manusia. Aspirasi dan kepentinganlah yang melahirkan politik.
Kita kenal motto Mao Tse Tung bahwa politik lahir dari laras bedil dan di Indonesia kami kenal slogan komunis bahwa politik adalah panglima. Kedua motto itu telah membawa bencana. Dalam masa jayanya komunis di Indonesia, saya amanatkan kepada tentara: “Bahwa akhlaklah panglima”. “Karena akhlak adalah kekuatan dari dalam diri sendiri untuk berbuat baik dan menjauhi yang tidak baik.”
Sebagai negara baru kita tidaklah sekadar ingin mengejar ketertinggalan terhadap negara-negara maju, melainkan sebagai orang beriman kita ingin membangun kehidupan bermartabat spritual dan material dengan ridho Tuhan. Kita yakin bahwa ridho-Nyalah kebahagiaan hakiki dunia akhirat.
Demi mengupayakan sikap hidup demikian maka upaya pembangunan bangsa, khususnya pendidikan berfungsi sentral. Pendidikan demi pembangunan “manusianya”, character building, serta pembangunan kecerdasan/keterampilan, penguasaan ilmu dan teknologi. Yang pertama untuk memproduksi manusia, yang mampu menjawab tantangan-tantangan kemanusiaan dari zamannya dan yang kedua untuk menjawab tantangan-tantangan dalam kebutuhan-kebutuhan materi dan teknologi dari perkembangan masyarakat.
Kita harus berpacu dengan kemajuan teknologi, akan tetap yang menentukan adalah tetap “the man behind the gun”. Dan bagi orang beriman “ridho Tuhanlah mahkota segala amalan”. Kiranya dengan menghayati sikap hidup demikian maka dalam penyelesaian konflik-konflik, baik nasional maupun internasional, kita selalu berupaya mencari dan menempuh jalan yang diridhoi-Nya.
Nawasaksara
Nawaksara itu istilah dari Bung Karno, sembilan huruf, yang terdiri atas sembilan pokok isi pidatonya. Terhadap pidato itu timbul reaksi-reaksi dari masyarakat, terutama dari KAMI dan KAPPI-KAPI. Mereka menganggap pidato itu bukan sebagai progress report (laporan pertanggungjawaban), tidak sesuai dengan Keputusan MPRS No 5/MPRS/1966 tentang pemberontakan G-30/S-PKI, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.
Kita harus berpacu dengan kemajuan teknologi, akan tetap yang menentukan adalah tetap “the man behind the gun”. Dan bagi orang beriman “ridho Tuhanlah mahkota segala amalan”.
Proses seterusnya, pada 10 Januari 1967, Presiden memenuhi Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 dengan menjawab Nota Pimpinan MPRS Nomor nota 2/Pimpinan MPRS, perihal melengkapi laporan pertanggungjawaban yang disebut sebagai Pelnawaksara (Pelengkap Nawaksara). Karena pimpinan MPRS menolak pertanggungjawaban Presiden maka pada 9 Februari 1967 DPR-GR mengeluarkan Resolusi agar MPRS mengadakan Sidang Istimewa.
Konsiderans Resolusi DPR-GR untuk Sidang Istimewa MPRS itu menyebutkan bahwa keputusan MPRS No 5/MPRS/1966 tentang tanggapan MPRS terhadap Nawaksara adalah jalan tengah untuk tidak menolak sepenuhnya laporan pertanggungjawaban Presiden/Mandataris MPRS di depan Sidang Umum MPRS IV yang tidak memenuhi harapan rakyat.
Melalui Tap MPRS No XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan dari Presiden Sukarno kemudian diserahkan kepada Jenderal Soeharto sebagai Pengemban Tap MPRS No IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden. Kemudian atas resolusi DPR-GR pada tanggap 28 Februari mendesak MPRS agar mengadakan Sidang Umum V untuk mengangkat Pejabat Presiden menjadi Presiden penuh. Karena syarat terakhir ini dipersyaratkan oleh negara-negara donor (IGGI) yang pertama di Tokyo, Jepang.
Disadur dari Harian Republika edisi 20 Februari 2013
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Saat Jenderal Jadi Tumbal
TNI-AD telah kehilangan putra-putra terbaiknya di pagi buta awal Oktober 1965.
SELENGKAPNYABung Hatta Menolak Uang Saku Perjalanan Dinas
Kejujuran Bung Hatta tidak diragukan lagi dan patut dijadikan teladan.
SELENGKAPNYATragedi 30 September 1965, Sejumlah Versi
Tak lama setelah peristiwa G-30-S/PKI, bermunculan berbagai analisis soal pemicunya.
SELENGKAPNYA