Petugas TNI melakukan persiapan jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila di kawasan Monumen Pancasila Sakti, di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Senin (30/9/2019). | Republika

Kronik

Saat Jenderal Jadi Tumbal

TNI-AD telah kehilangan putra-putra terbaiknya di pagi buta awal Oktober 1965.

OLEH SELAMAT GINTING  

Entah apa yang ada di pikiran Letnan Jenderal Achmad Yani. Namun, bagi anak-anaknya hari itu, sang bapak membuat keputusan yang berbeda dari biasanya.

Di depan anak-anaknya yang sedang menunggu makan siang pada 30 September 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Achmad Yani mengatakan, pada 5 Oktober 1965, tidak usah sekolah dan membolos saja semuanya.

Kabeh melu Bapak nang Istana, ndelok arak-arakan. Ono nyanyi, pokoke ora usah sekolah mbolos kabeh.” Mendengar ajakan ayahanda tercinta, tentu saja disambut dengan gembira oleh anak-anaknya yang berjumlah delapan orang itu.

Peristiwa itu dikisahkan putri dari Jenderal (Anumerta) Achmad Yani, yakni Amelia Yani dalam buku Profil Seorang Prajurit TNI tahun 1988, penerbit Sinar Harapan. Malam harinya, sehabis main golf, Yani masih bergembira ria dengan anak-anaknya dengan berebut menikmati pisang goreng sebelum menerima kedatangan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat.

Kehadiran Panglima Brawijaya itu untuk melaporkan sesuatu yang teramat penting mengenai situasi politik ketika itu. Yani mendengar serius kalimat laporan Basuki Rachmat.

photo
Kolonel Ahmad Yani menandatangani perjanjian di Kedutaan Besar Indonesia di London, Inggris. - (istimewa)

Jelas sekali bahwa demontrasi-demontrasi yang dilakukan oleh Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) bagi Angkatan Darat sebagai sesuatu yang  membahayakan. Gerwani dan PKI melakukan perusakan terhadap rumah Gubernur Wiyono di Surabaya.

“Dilihat secara keseluruhan, maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan berbagai aksi sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia) yang menjadi unsur PKI, bisa dipastikan adalah suatu gerakan yang sistematis. Gerakan sistematis yang sedang berjalan,” kata Basuki.

Untuk memperkuat isi laporannya, Brigjen Basuki Rachmat membawa saksi utama peristiwa perusakan pada 27 September 1965. Ketika sedang terjadi pembicaraan serius, telepon berdering yang berasal dari Brigjen Sugandhi yang melaporkan mengenai gerakan-gerakan sepihak PKI kepada Presiden Sukarno.

Namun, Presiden Sukarno kelihatannya marah mendengar laporan tersebut. Setelah menaruh kembali gagang teleponnya, Achmad Yani mengatakan kepada Basuki, “Memang keadaannya makin meruncing. Kita menghadap bersama-sama. Besok, secepatnya ini perlu dilaporkan.” Hal itu tertuang dalam buku Pengkhianatan G30S/PKI, Jakarta: Sinar Harapan, 1988, yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto.

Setelah tamunya pamit pulang dan sekarang giliran Achmad Yani berpikir keras esok harinya bertemu dengan Presiden Sukarno untuk melaporkan apa yang telah didengarnya.

photo
Presiden Sukarno bersama Ketua Partai Komunis Indonesia DN Aidit pada Perayaan ulang tahun Partai Komunis Indonesia pada 23 Mei 1965. - (wikimedia commons)

Suasana politik ketika itu sedang memanas, PKI terus melakukan tekanan-tekanan terhadap lawan politiknya. Bahkan menjelang akhir September 1965, PKI melancarkan agitasi politik mengecam TNI-AD terus berjalan dan semakin meningkat.

Jenderal-jenderal TNI-AD dituduh sebagai pencoleng ekonomi, kapitalis birokrat, koruptor, reaksioner, dan agen Nekolim. Pada 30 September l965, situasi yang sedemikian eksploitatif itu menyebabkan Direktorat Polisi Militer memerintahkan Letnan Kolonel CPM Norman Sasono, komandan Pomad Para, untuk memperketat pengawalan atas Menpangad Letnan Jenderal Achmad Yani.

Kemudian, Norman mengirim satu peleton pasukan yang dipimpin oleh Kapten CPM IG Suparman ke rumah Jenderal Achmad Yani. Letnan Kolonel Norman Sasono sempat menginspeksi para pengawal yang bertugas di rumah Menpangad. Pengakuan itu diungkapkan Norman Sasono pada Harian Merdeka, 1 Oktober 1989.

Pada pagi hari yang gelap, rumah Jenderal Yani yang dijaga oleh satu regu pasukan Pomad Para dimasuki oleh komplotan penculik setelah melucuti senjata para penjaga dengan sergapan secara mendadak. Ketika sejumlah oknum Resimen Tjakrabirawa memasuki rumah, Jenderal Yani sedang tidur sendirian.

photo
Pengunjung mengabadikan lukisan peristiwa pemukulan yang dilakukan Jenderal Ahmad Yani kepada anggota Tjakrabirawa di Museum Sasmita Loka Ahmad Yani, Jakarta, Senin (30/9/2019). Museum yang awalnya merupakan rumah Jenderal Ahmad Yani itu merupakan saksi bisu peristiwa G30S/PKI yang menewaskan Jenderal Ahmad Yani. - (ANTARA FOTO)

Namun, salah seorang putranya yang kecil, Eddy, telah bangun dan sedang mencari ibunya yang malam itu sedang berada di kediaman resmi Jenderal Yani untuk melakukan tirakata karena keesokan harinya, 1 Oktober 1965, adalah hari ulang tahunnya.

Kemudian, salah satu anggota komplotan itu, Sersan Satu Raswad, meminta bantuan anak kecil itu untuk membangunkan ayahnya dan kemudian putra bungsu yang polos itu menuju ke ruang tengah untuk menemui tamunya yang tidak diketahui siapa sebenarnya dengan menggunakan piyama baru.

Seketika komplotan yang berseragam Tjakrabirawa itu berhadapan dengan Jenderal Yani. Setelah menghormat secara militer, komplotan menyatakan tidak perlu mandi terlebih dahulu dan bahkan tak perlu berganti pakaian. Ucapan itu terasa sangat kasar di telinga Jenderal Yani dan ia marah.

Yani langsung merampas senjata Prajurit Kepala Dokrin, melempar serta menempeleng tamtama tersebut. Ketika Jenderal Yani membalik badan serta melangkah ke kamar keluarga melalui pintu kaca, saat itulah Sersan Satu Raswad memerintahkan Sersan Dua Gijadi untuk menembak.

photo
Siswa SD melihat lokasi tempat tewasnya Jenderal Ahmad Yani di Museum Sasmita Loka Ahmad Yani, Jakarta, Senin (30/9/2019). - (ANTARA FOTO)

Gijadi mengarahkan dan menarik picu senapan otomatis Thomsonnya. Tujuh peluru setelah menembus pintu kaca, memberondong tubuh Yani. Sang jenderal pun tersungkur jatuh.

Tubuh Jenderal Yani yang telah rebah di lantai, kemudian diseret ke luar rumah untuk dinaikkan ke dalam salah satu truk. Komplotan itu kemudian menghilang dalam kegelapan. Pengakuan itu terungkap dalam sidang Mahkamah Militer Luar Biasa tahun 1966.

Menpangad Letnan Jenderal Achmad Yani telah menjadi korban dari situasi yang sangat eksploitatif ketika itu. Kegelapan pagi hari itu bukan saja menyaksikan pembunuhan atas Letnan Jenderal Achmad Yani.

Petinggi Angkatan Darat lainnya pun menjadi korban kebiadaban, yakni Mayor Jenderal MT Haryono, Mayor Jenderal S Parman, Mayor Jenderal R Soeprapto, Brigadir Jenderal Soetojo, Brigadir Jenderal DI Pandjaitan, serta Letnan Satu CZI Pierre Andreas Tendean.

TNI-AD telah kehilangan putra-putra terbaiknya di pagi buta awal Oktober 1965. Kejadian berdarah serta tragis itu bagi Angkatan Darat didalangi oleh PKI yang memanfaatkan pasukan pengawal Presiden Sukarno, Resimen Tjakrabirawa. Atas kematian para pemimpin-pemimpinnya, TNI-AD kemudian berbalik menghancurkan musuh bebuyutan mereka, yakni PKI.   

Mengapa Yani?

Rencana Presiden Sukarno menggelar operasi pembebasan Irian Barat membuatnya bisa lebih dekat untuk memperhatikan gerak-gerik dua deputi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Keduanya adalah Deputi I (Intelijen) KSAD Mayor Jenderal Soeharto dan Deputi II (Operasi) KSAD Mayor Jenderal Achmad Yani. Saat itu sebagai KSAD adalah Jenderal AH Nasution, sedangkan Wakil KSAD adalah Letnan Jenderal Gatot Subroto.

photo
Pasukan TNI berangkat dalam Operasi Trikora ke Irian Barat. - (wikimedia commons)

Presiden Sukarno dalam hal ini sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi (Koti) Pembebasan Irian Barat telah mengumandangkan Trikora atau Tiga Komando Rakyat saat pelantikan taruna Akademi Militer Jurusan Teknik (Akmil Jurtek Bandung) dan Akmil Magelang menjadi letnan dua di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Perwira muda yang dilantik, antara lain, Letnan Dua (Zeni) Pierre Tendean dan Letnan Dua (Infanteri) Feisal Tanjung.

Untuk memperkuat struktur Koti, Sukarno membuat perintah untuk dua deputi KSAD. “Mayjen Achmad Yani, kamu saya perintahkan menjadi kepala staf Koti Pembebasan Irian Barat. Mayjen Soeharto, kamu saya percaya sebagai Panglima Mandala Pembebasan Irian Barat,” kata Sukarno terhadap dua perwira tinggi itu.

Sebagai kepala staf Koti, otomatis Achmad Yani juga menjadi juru bicara Koti yang berkantor di Istana Presiden. Di situ Sukarno menjadi lebih dekat dengan Achmad Yani dan mulai mempertimbangkannya untuk kelak menjadi pengganti Jenderal Abdul Haris Nasution sebagai KSAD.

Pada awal 1962, Sukarno pernah memanggil Yani dan membicarakan rencana Yani menjadi KSAD menggantikan Nasution. Namun, Yani enggan dan memberikan saran agar Presiden Sukarno memberikan kesempatan kepada Wakil KSAD Letjen Gatot Subroto untuk menjadi KSAD. Apalagi pada saat Letkol (Infanteri) Yani menjadi komandan brigade, Kolonel (Infanteri) Gatot Subroto adalah atasannya, sebagai Panglima Divisi Diponegoro.

photo
Letnsn jenderal Ahmad Yani - (wikimedia commons)

Namun, Sukarno melihat bahwa kondisi Letjen Gatot Subroto mulai sakit-sakitan sehingga tidak mungkin menggantikan Nasution. Belakangan Gatot Subroto meninggal dunia pada awal Juni 1962. Setelah Gatot wafat, Sukarno kembali memanggil Yani untuk membicarakan posisi baru baginya.

Namun, Yani lagi-lagi meminta Presiden Sukarno untuk mempertimbangkannya kembali. Mengingat di atas Yani masih ada empat perwira tinggi yang lebih senior, yakni Mayjen Sungkono, Mayjen Sudirman, Mayjen Suprayogi, dan Mayjen Soeharto.

Akan tetapi, Sukarno tetap pada pendiriannya untuk menunjuk Yani menggantikan Nasution. Akhirnya, Yani tidak bisa mengelak karena keputusan Sukarno sudah bulat. Keputusan Sukarno itu bukan tanpa alasan, sebab Sukarno telah mempelajari rekam jejak pengalaman kemiliteran Yani.  

Sebelum peristiwa itu, Sukarno meminta Jenderal Nasution menyerahkan sejumlah nama perwira tinggi Angkatan Darat untuk dijadikan sebagai orang nomor satu di Markas Besar Angkatan Darat. Nasution mengajukan sejumlah nama, tetapi semuanya ditolak Sukarno.

photo
Letnan Jenderal Achmad Yani - (wikimedia commons)

Presiden malah meminta nama-nama lain. Nasution pun mengajukan calon-calon lain. Di situlah ada nama Mayor Jenderal Achmad Yani yang berada di posisi paling buncit. Yani memang tergolong mayor jenderal junior sehingga Nasution tidak memasukkannya ke dalam daftar pertama. Sukarno justru akhirnya malah memilih Yani.

Lelaki kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922 itu, dianggap memiliki kemampuan yang lebih baik daripada sejumlah seniornya. Antara lain, Yani memiliki kemampuan lapangan dalam memimpin sejumlah operasi militer selama 10 tahun lebih.

Selama mengikuti pendidikan militer, baik KNIL Belanda maupun PETA Jepang, Yani selalu keluar sebagai lulusan terbaik. Dia juga memiliki kemampuan bahasa Inggris, Belanda, dan Jepang yang jauh lebih baik daripada perwira senior lainnya.

Bahkan, Yani pernah dikirim belajar ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat, dan job training di Divisi Infanteri 1 Angkatan Darat, Amerika Serikat. Selain itu, ia belajar Special Warfare di Markas Angkatan Darat Inggris.  

Maka, Yani pun dinaikkan pangkatnya menjadi letnan jenderal dan otomatis melewati empat perwira tinggi yang lebih senior pada 28 Juni 1962. Saat itu, Jenderal Yani persis berusia 40 tahun.

Sukarno kemudian mengubah istilah KSAD menjadi Panglima AD sehingga posisi Yani menjadi lebih strategis dibandingkan Nasution yang digeser sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) merangkap sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan (Menko Hankam).  

Secara jabatan, Nasution mendapat promosi, tetapi secara kewenangan ia dilucuti. Sebab sebagai KSAB, Nasution hanya mengurus administrasi dan tidak lagi memegang komando pasukan. Hubungan Sukarno dan Nasution memang tak begitu serasi.

Keputusan tersebut sebenarnya menunjukkan ketidaksukaan Sukarno kepada Nasution yang dianggap tidak terlalu loyal kepadanya. Berbeda dengan Yani yang berlatar belakang suku Jawa, dianggap bisa memahami kultur Presiden Sukarno. Antara lain, Yani bisa menahan diri untuk tidak melawan ketika sang bapak melakukan kesalahan sekalipun. Berbeda dengan Nasution yang bisa dengan terbuka menunjukkan kesalahan Presiden Sukarno.

Namun, penunjukan Yani itu tidak berlangsung mulus dalam organisasi Angkatan Darat. Muncul resistensi dari perwira yang lebih senior, termasuk dari Mayjen Soeharto. Setelah Letjen Yani gugur, terjadi rivalitas jenderal Angkatan Darat.

Saat itu tiga jenderal memiliki kesempatan yang sama untuk menggantikan Yani. Ketiganya adalah Moersyid, Djamin Ginting, dan Pranoto Reksosamudro. Nama Soeharto tidak dipertimbangkan.

Sukarno pun menunjuk Pranoto sebagap pimpinan sementara AD. Namun Soeharto menolak keputusan tersebut, dengan mengatakan tidak bertanggung jawab atas keselamatan presiden.

Soeharto memang lebih senior daripada ketiga jenderal tersebut. Pranoto pun tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Soeharto yang telah ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib mengendalikan pasukan, khususnya AD. Akhirnya Sukarno merestui Soeharto menjadi Panglima AD.

Pejabat tinggi Markas Besar Angkatan Darat saat peristiwa G30S 1965

Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani*

Deputi-deputi Menpangad:

1.      Deputi I (Operasi) Mayjen Moersjid

2.      Deputi II (Administrasi) Mayjen R Soeprapto*

3.      Deputi III (Perencanaan dan Pembinaan) Mayjen MT Harjono*

 Asisten-asisten Menpangad:

1.      Asisten I (Intelijen) Mayjen S Parman*

2.      Asisten II (Operasi) Mayjen Djamin Ginting

3.      Asisten III (Personel) Mayjen Pranoto Reksosamodra

4.      Asisten IV (Logistik) Brigjen DI Panjaitan*

5.      Asisten V (Teritorial) Mayjen Soeprapto Soekowati

6.      Asisten VI (Litbang) Brigjen Soedjono

7.      Asisten VII (Keuangan) Brigjen Alamsjah Ratu Prawiranegara

 Inspektur Kehakiman AD Brigjen Soetojo Siswomihardjo*

 Keterangan: Tanda* adalah perwira tinggi yang gugur dalam peristiwa G30S.

Disadur dari Harian Republika edisi 23 September 2013 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dunia Pascaperang Ukraina

Kemenangan Moskow akan meningkatkan pamor Rusia dan kepercayaan diri Cina.

SELENGKAPNYA

Bung Hatta Menolak Uang Saku Perjalanan Dinas

Kejujuran Bung Hatta tidak diragukan lagi dan patut dijadikan teladan.

SELENGKAPNYA

Makna Spiritual Thaharah: Rahasia Tayamum

Tayamum bisa mengganti fungsi wudhu dan mandi junub

SELENGKAPNYA