
Belanja
Belanja Rasional Seperti Apakah?
Usahakan selalu berbelanja berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan matang.
OLEH ADYSHA CITRA RAMADANI, DESY SUSILAWATI
Bagi banyak orang, belanja bukan hanya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, melainkan juga aktivitas rekreasi yang dapat merelaksasi. Akan tetapi, hal ini justru membuat kegiatan berbelanja terkadang dilakukan atas dorongan emosional, seperti sedih atau bosan.
Aktivitas berbelanja yang dilakukan karena dorongan emosional dikenal sebagai belanja secara emosional alias emotional spending. Tindakan yang muncul secara impulsif ini bisa membawa dampak merugikan bagi kondisi finansial seseorang. Terlebih, bila kecenderungan belanja secara emosional sampai membuat seseorang kehilangan kontrol atas pengeluaran yang mereka lakukan.
Sebagai seorang milenial, Nurul Itqi tak menampik bahwa dirinya terkadang berbelanja karena dorongan emosional. Itqi mengungkapkan bahwa hal yang kerap menjadi pemicu baginya untuk berbelanja secara emosional adalah kelelahan bekerja.
Di sisi lain, Itqi juga melakukan beberapa upaya agar kecenderungan belanja emosional ini tak sampai mengganggu kondisi keuangannya. Salah satunya dengan tidak selalu menuruti dorongan berbelanja yang muncul. Sering kali Itqi akan menahan diri untuk tidak langsung bertransaksi bila tiba-tiba ingin berbelanja sesuatu karena dorongan emosional. "Biarkan beberapa hari, nanti akan berpikir kembali atau malah lupa," kata Itqi kepada Republika.

Wanita yang bekerja di bidang industri kreatif ini juga mengungkapkan bahwa dia tak memiliki anggaran khusus untuk berbelanja secara emosional. Itqi mengatakan, dirinya lebih memprioritaskan beberapa pengeluaran lain, seperti biaya hidup sehari-hari, cicilan rumah, dan tabungan. "Sesempit apa pun, alokasikan dana darurat dan/atau tabungan," kata wanita berusia 32 tahun tersebut.
Agar kondisi keuangan tetap sehat, Itqi pun selalu konsisten membuat arus kas menggunakan spreadsheet. Itqi memiliki prinsip untuk tidak membelanjakan gaji sebelum arus kasnya jelas.
"Cicilan bulanan tidak boleh lebih dari 35 persen penghasilan. Jika pengeluaran lagi banyak, wajib menambah pemasukan alias cari sampingan," kata Itqi.
Hal serupa juga dilakukan oleh milenial lain, Intan Maharani Sulistyawati Batubara. Meski pernah melakukan belanja dengan emosi, Intan lebih cenderung untuk berbelanja secara rasional atau berbelanja berdasarkan kebutuhan dan pertimbangan matang. "Kalau belanja rasional itu biasanya belanja untuk kebutuhan sehari-hari," ujar Intan kepada Republika.

Agar pengeluarannya lebih terkontrol, Intan mengatakan, dia biasanya berbelanja secara daring melalui lokapasar. Sebelum berbelanja, Intan juga kerap membuat daftar beragam barang yang dia butuhkan dan perlu dia beli. "Jadi, sudah tahu apa yang dibutuhkan," kata Intan.
Intan mengatakan, dorongan emosional untuk berbelanja biasanya berkaitan dengan kebutuhan tersier atau hobi yang dia tekuni, yaitu berlari. Bila dorongan emosional untuk berbelanja muncul, Intan biasanya akan memilih barang yang memang belum dia miliki dan dapat mendukung hobinya. "Misalnya, aku belum punya celana atau sepatu saat pertama kali lari, aku akan beli," ujar Intan.
Intan mengaku memiliki alokasi dana tersendiri untuk semua pengeluaran yang berkaitan dengan kebutuhan tersier. Biasanya alokasi dana untuk kebutuhan tersier ini tak lebih dari 30 persen pemasukan. Selain itu, Intan mengatakan, alokasi dana untuk kebutuhan tersier ini tidak harus selalu dibelanjakan setiap bulan. "Kalau misalnya aku sudah punya (barang yang diinginkan), tapi aku tidak butuh, aku tidak akan beli itu," ujar Intan.
Namun, bila ada kebutuhan tersier yang sangat dia butuhkan untuk menunjang hobi, dia akan membelinya. Akan tetapi, bila harga dari barang tersebut melebihi alokasi dana yang dia miliki, dia akan mencari pemasukan tambahan lain untuk menutupi kekurangan biaya.
Intan mengaku tak akan menggunakan alokasi dana lain untuk membeli kebutuhan tersier tersebut. "Misalnya tidak ada pemasukan yang lain, aku akan menekan keinginan aku. Biasanya sampai next month (untuk membeli barang yang diinginkan)," ujar Intan.

Agar kondisi keuangan tetap sehat dan tak dikontrol oleh faktor emosi, Intan juga selalu mengalokasikan setiap pos pengeluarannya setiap bulan. Bila merasa ingin membeli suatu barang, Intan pun terbiasa untuk menunggu sekitar satu pekan sebelum memutuskan untuk bertransaksi atau tidak.
"Kalau (setelah satu pekan) keinginannya masih ada, biasanya itu karena aku butuh barang tersebut," ujar Intan.
Dalam berbelanja kebutuhan tersier, Intan juga terbiasa melakukan riset terlebih dahulu untuk barang yang ingin dia beli. Biasanya dia akan mempertimbangkan kualitas, kenyamanan, hingga harga dari barang tersebut. "Yang pasti, ketika aku beli barang, aku harus yakin aku belum punya barang tersebut dan memang barang tersebut akan mendukung hobi aku," kata Intan.
Komitmen dan Disiplin
Registered Financial Planner Edwin Limanta mengungkapkan bahwa milenial dapat meraih kemerdekaan finansial dengan komitmen dan disiplin dalam mengatur pendapatan dan pengeluaran. Selain itu, kemerdekaan finansial juga perlu diraih dengan cara mengamankan masa depan lewat menabung, berasuransi, dan berinvestasi.
Menurut Edwin, ada enam hal yang perlu dilakukan oleh milenial untuk meraih kemerdekaan finansial. Apa sajakah?
1. Batasi utang yang bersifat konsumtif.
Bahkan jika perlu tidak berutang sama sekali untuk hal-hal yang konsumtif seperti membeli telepon seluler mahal.
2. Disiplin dalam mengatur anggaran.
"Ada banyak manfaat melakukan manajemen anggaran, yakni menjaga arus kas, mengamankan aset masa depan, melatih membatasi dari keinginan berutang, membantu mengevaluasi kondisi keuangan," kata Edwin melalui surel yang diterima Republika.
3. Hidup minimalis
Edwin juga merekomendasikan milenial untuk membiasakan hidup minimalis. Hidup minimalis bukan berarti hidup serbasusah, tetapi lebih mengutamakan prioritas. "Yakni memilah antara kebutuhan penting versus kurang penting," ujar Edwin.
Dengan membiasakan hidup minimalis seperti ini, pengeluaran bisa dilakukan secukupnya dan penghasilan dapat dialokasikan lebih banyak ke tabungan. Selain itu, gaya hidup seperti ini pun dapat melatih milenial untuk tidak latah mengikuti tren atau bersaing dengan orang lain.
4. Mulai berasuransi
Pilih asuransi yang sesuai dengan kebutuhan.
5. Investasi
Pilihlah instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko Anda.
6. Siapkan dana darurat
Dana darurat ini ditujukan untuk kondisi yang mendesak sehingga mereka tak perlu berutang untuk memenuhi keperluan mendesak tersebut. Cara membangun dana darurat dapat dilakukan dengan menyisihkan setidaknya 10 persen dari pendapatan rutin. Lakukan hal ini hingga besaran dana darurat setidaknya mencapai 3-6 kali lebih besar dari pengeluaran rutin bulanan.
Bahagia dengan Belanja?
Saat ini tak dimungkiri masyarakat mencari bahagia dengan belanja. "Banyak kebahagiaan muncul karena belanja. Banyak orang berusaha mengaitkan kebahagiaannya dengan belanja. Padahal belanja membuat Anda tidak bisa mengelola keuangan dan tidak disiplin," ujar perencanaan keuangan Annisa Steviani.
Menurut dia, belanja harus dengan rasional, bukan emosional. Lihat apakah barang yang hendak dibeli itu kewajiban, kebutuhan, atau keinginan. Untuk kebutuhan misalnya makan, tidak perlu makan di mal setiap hari. Selain itu, belanja bulanan juga bisa diturunkan biayanya dengan mengurangi jumlah barang yang tidak begitu dibutuhkan.
Sementara keinginan, ini adalah adalah hal-hal kalau tidak jadi dibeli, hanya perasaan kita yang sedih. "Anda bisa mendisiplinkan keinginan, bisa berhemat pada bagian ini."

Kesulitan disiplin keuangan juga ditengarai oleh dendam masa lalu atas uang. Sewaktu kecil, karena anak bungsu, biasanya buku, tas, bahkan baju selalu bekas kakaknya. Begitu memiliki uang, Anda dendam untuk membeli yang baru.
Sama halnya ketika kecil, tidak dibelikan mainan dan harus hidup prihatin. Ketika besar dan memiliki uang sendiri, Anda tidak mau prihatin lagi.
Selain itu, fear of missing out (FOMO) yang merupakan rasa takut merasa tertinggal karena tidak mengikuti aktivitas tertentu turut memengaruhi kedisiplinan seseorang dalam keuangan. Misalnya karena ingin ikuti tren liburan, Anda terpaksa berutang karena tidak memiliki uang. Hal ini membuat hidup tidak sesuai tujuan.
Ketidakdisiplinan dalam hal uang juga dipengaruhi oleh faktor melarikan diri dengan cara belanja dan jajan. Melarikan diri dari bos di kantor, Anda memilih belanja atau jajan.
Karena itulah, Annisa mengatakan, mengelola keuangan penting. Ini karena umumnya kita memiliki 30 tahun masa kerja, lalu pensiun usia 55 sampai 60 tahun. Sementara harapan hidup 75 tahun. Masalahnya adalah selama bekerja, ada pengeluaran dan penghasilan.
Sedangkan, pensiun tidak ada penghasilan, tapi pengeluaran tetap ada. "Masa pensiun dibiayai tabungan di usia produktif 30 tahun, kerja plus 20 tahun pensiun nabungnya," katanya.

Lalu, apa yang bisa dihemat? Ia menjelaskan, ada pengeluaran bulanan dan ada pula pengeluaran tahunan. Beberapa cara untuk mewujudkan hidup hemat, salah satunya dengan memilah antara pengeluaran bulanan dan pengeluaran tahunan dengan menjabarkan seluruh pengeluaran terlebih dahulu.
Pengeluaran bulanan terdiri atas cicilan atau kontrakan rumah, makan, transportasi, listrik, Wi-Fi, sekolah dan les anak, investasi, dan gaya hidup. Semua ini dibiayai dari penghasilan bulanan.
Untuk pengeluaran bulanan, bisa diprioritaskan dari cicilan atau kontrakan rumah, makan, transportasi, listrik, pendidikan, investasi, baru diikuti dengan gaya hidup. "Saat waktu gajian tiba, sebaiknya nabung, bukan belanja. Begitu gajian jangan gaya hidup duluan. Bagi-bagi dulu untuk cicilan rumah, makan, dan lainnya."
Setelah itu baru untuk investasi dan gaya hidup. "Jangan dibalik. Kalau dibalik bisa habis uang. Bisa dihemat mengenai makan siang. Makan siang Rp 50 ribu bisa dihemat setelah diposkan dan dibuat bujet."
Ia menyarankan untuk memakai delapan rekening. Dibagi per pos sehingga keuangan menjadi rapi. Misalnya untuk transpor, kartu kredit, dan lainnya.
Sementara pengeluaran tahunan, ada keperluan hari raya, zakat, pajak, kurban, premi asuransi, mudik, dan liburan. Semua ini dibiayai oleh penghasilan tahunan. Dahulukan hal penting, seperti zakat, pajak dan lainnya, barulah liburan. "Kalau bisa tutupi pengeluaran tahunan dengan penghasilan tahunan itu baik. Kalau tidak bisa, dibagi 12 bulan."
Catatan Penting G-30-S/PKI
Bangsa ini menanggung beban konflik sejarah bila rekonsiliasi yang alami dan murni tidak terwujud.
SELENGKAPNYAAde Irma Suryani: Anak Periang Korban G30S
Walaupun Ade luka parah, tapi dia tidak pingsan sama sekali.
SELENGKAPNYAKekejaman PKI dari Masa ke Masa
Penyiksaan sebelum pembunuhan juga terjadi terhadap sejumlah orang di Solo pada 1965.
SELENGKAPNYA