Syekh Yusuf Qaradhawi | dw.de

Opini

Fikih Moderat Qaradhawi

Menurut Syekh Qaradhawi, fanatisme menunjukkan ketidakjernihan sikap dalam berpikir.

JAENAL SARIFUDIN, Penghulu dan Mahasiswa S-3 Hukum Islam Universitas Islam Indonesia

Dunia Islam berduka. Salah seorang ulama besar dunia paling terkemuka wafat. Syeikh Yusuf al-Qaradhawi, ulama Mesir lulusan al-Azhar yang bermukim di Qatar itu meninggal dunia pada Senin, 26 September.

Beliau sosok pendidik, dai, dan ulama intelektual yang sangat  produktif melahirkan karya. Ratusan kitab keislaman telah ditulisnya dan menjadi rujukan umat di berbagai belahan dunia. Pemikiran dan fatwa hukumnya memiliki pengaruh sangat luas bagi umat Islam.

Di antaranya, ijtihadnya tentang zakat profesi. Sebuah pemikiran hukum yang dinilai amat bernas dalam konteks masyarakat Islam modern. Banyak penghargaan yang beliau terima atas jasa-jasanya di dunia keilmuan dan penelitian.

Antara lain, penghargaan dari Islamic Development Bank dalam bidang ekonomi Islam, penghargaan dari International Islamic University Malaysia atas sumbangannya yang sangat besar dalam bidang ilmu pengetahuan.

 

 
Di antaranya, ijtihadnya tentang zakat profesi. Sebuah pemikiran hukum yang dinilai amat bernas dalam konteks masyarakat Islam modern.
 
 

 

Pada 1413 H,  beliau memperoleh penghargaan Internasional Raja Faisal dalam bidang studi Islam. Kredibilitas intelektual Qaradhawi yang begitu besar, menjadikannya salah satu ulama rujukan yang diakui otoritasnya di dunia Islam.

Moderasi fikih

Yusuf al-Qaradhawi selalu berupaya mendasarkan pemikiran hukumnya pada Alquran dan hadis tanpa harus terikat mazhab tertentu. 

Nuansa hadisnya kental dalam setiap pembahasan. Namun, Qaradhawi juga memberikan kedudukan tinggi dalam penggunaan rasio, karena menurut dia, Islam sangat menghargai eksistensi akal. Meski begitu, tentu ada batas-batas yang tidak boleh dilampauinya.

Qaradhawi mengambil sikap moderat dalam pemikiran keislaman. Menurut dia, sikap moderat adalah pertengahan antara dua kutub ekstrem. 

Antara kelompok tekstual dan hanya melihat nash tanpa melihat maksud dan tujuan syariah dengan kelompok yang sangat liberal. Ada beberapa prinsip pemikiran fikih Qaradhawi menjadi pilar moderasi pemikirannya. Pertama, menggabungkan fikih dan hadis. 

 

 
Qaradhawi mengambil sikap moderat dalam pemikiran keislaman. Menurut dia, sikap moderat adalah pertengahan antara dua kutub ekstrem. 
 
 

Qaradhawi berupaya menggabungkan atsar dan nazhar dalam setiap fatwanya. Menurut dia, pemisahan antara kedua hal ini akan menghasilkan pemahaman agama yang parsial dan rentan kekeliruan.

 

Untuk mencapai tujuan ini, menurut dia, selayaknya setiap mufti membekali diri dengan penguasaan khazanah fikih dan hadis serta menggabungkan keduanya dalam memecahkan problematika hukum secara proporsional.

Kedua, menggabungkan salafiyah dan tajdid. Maksudnya, melihat warisan intelektual klasik dengan pandangan masa kini. Qaradhawi mengambil hal bermanfaat dari warisan pemikiran masa lalu dan memodifikasikannya dalam bentuk yang baru.

Ia berusaha proporsional dalam melihat keduanya, tidak men-taqdis-kan peninggalan ulama masa lalu, tidak pula mengabaikannya. Ia berpegang pada realitas masa kini tanpa melupakan warisan keilmuan masa lalu yang amat berharga.

Ketiga, menggabungkan nash dan maksud syariat. Qaradhawi selalu mengikatkan pendapatnya pada nash Alquran atau hadis yang semuanya berada di bawah koridor maksud syariat. Sebab, menurut dia, syariat Allah pasti memiliki maksud tertentu.

 

 
Ia berusaha proporsional dalam melihat keduanya, tidak men-taqdis-kan peninggalan ulama masa lalu, tidak pula mengabaikannya.
 
 

 

Di atas maksud syariat inilah seorang fakih seharusnya berjalan. Maka itu, hendaknya seorang mufti belajar mendalam tentang maqasid asy-syariah ini. Ketidaktahuan  mufti pada maksud syariat, memunculkan fatwa yang menyulitkan dan tidak sejalan dengan roh syariat itu sendiri.

Keempat, membebaskan diri dari fanatisme mazhab.  Salah satu ciri pemikiran fikih Qaradhawi, berupaya membebaskan diri dari fanatisme mazhab. Dalam mengeluarkan fatwa, ia tidak mendasarkan pada mazhab tertentu.

Ia selau berusaha berpegang pada dalil dan kaidah hukum. Pendapat para ulama dijadikan pengayaan dan bahan kajian yang tidak mengikat kebebasan dalam berfatwa. Menurut dia, fanatisme menunjukkan ketidakjernihan sikap dalam berpikir.

Kelima, berorientasi pada kemudahan (taisir). Ia memaksudkan kemudahan fikih dalam dua hal, yakni memudahkan pemahaman dalam mempelajari hukum Islam sehingga setiap Muslim dapat memahami syariat agamanya.

 

 
Ia memaksudkan kemudahan fikih dalam dua hal, yakni memudahkan pemahaman hukum Islam sehingga setiap Muslim dapat memahami syariat agamanya.
 
 

 

Kemudahan di sini dilakukan dengan cara menjauhkan fikih dari pembahasan yang rumit. Diharapkan dengan fikih taisir ini Muslim bisa  mencerna ajaran agamanya dengan mudah. Hal kedua, memberikan kemudahan dalam hukum fikih itu sendiri.

Dengan demikian, mudah pula diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Qaradhawi konsisten memberikan fatwa berorientasi memudahkan. Ini dilakukannya dengan cara memilih alternatif hukum paling mudah dan realistis selama itu tidak membawa dosa.

Menurut dia, salah satu roh dan asas pensyariatan hukum adalah memudahkan dan menjauhkan manusia dari kesulitan-kesulitan. 

Pembangunan Jembatan Ketapang Aquaculture Dikebut

Pihaknya pun sudah menginstruksikan pekerja di lapangan untuk mengebut penyelesaian proyek

SELENGKAPNYA

Mengenang KH Zainuddin MZ: Amplop Kosong dan Sepeda Ontel

Setelah tiba di rumah dan amplop itu disobek, ternyata tak ada isinya sepeser pun

SELENGKAPNYA

Saat Jenderal Jadi Tumbal

TNI-AD telah kehilangan putra-putra terbaiknya di pagi buta awal Oktober 1965.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya