Media Sosial (ilustrasi) | Unsplash/Alexander Shatov

Inovasi

Rumput Tetangga tak Selalu Hijau Sungguhan

Pamer di media sosial adalah jalan instan untuk mendapat pengakuan di aspek kehidupan sosial.

Media sosial saat ini merupakan platform yang menjadi perpanjangan dari kehidupan kita di dunia nyata. Istilah personal branding pun banyak dikejar para pengguna media sosial untuk menampakkan persona barunya di dunia maya.

Berbagai pencapaian atau hal menarik kemudian ditampilkan. Bisa dengan cara berjalan-jalan, pencapaian kehidupan personal, kesuksesan di tangga karier, hingga pamer kekayaan.

Selain untuk meningkatkan personal branding, pamer berbagai pencapaian di dunia maya, juga biasa dilakukan untuk mengejar validasi dari masyarakat. Motivasi untuk pamer berbagai hal pun biasanya makin tinggi.

photo
Flexing kemewahan (ilustrasi) - (Unsplash/Roland Denes)

Praktisi psikolog keluarga, Nuzulia Rahma Tristinarum mengungkapkan, sebenarnya keinginan memperoleh pengakuan merupakan sesuatu yang wajar, jika kadarnya tepat. “Tapi, flexing kerap jadi jalan pintas bagi mereka yang memiliki keinginan sangat besar untuk memperoleh pengakuan dan ingin dihargai, serta mendapat pujian," kata Nuzulia kepada Republika, pekan lalu.

Oleh karena itu, ia melanjutkan, flexing sebaiknya dihindari agar tak memberikan dampak negatif yang lebih besar. Menurutnya, salah satu cara agar seseorang tak tertarik melakukan flexing adalah dengan sikap menerima diri sendiri.

"Sayangi dan cintai diri sendiri tanpa syarat. Kita harus merasa yakin bahwa diri kita ini layak untuk diterima, disayangi dan dicintai,” ujarnya. Dengan mulai belajar menerima diri sendiri, Nuzulia meyakini, masyarakat akan tetap bisa bersosial dengan baik, tanpa harus memamerkan beragam pencapaianya.

Menurut Nuzulia yang juga seorang konselor ini, mayoritas flexing saat ini memang dilakukan lewat media sosial. Salah satu motivasinya adalah demi memperoleh apresiasi sebanyak mungkin dalam wujud follower, like, dan komentar dalam unggahannya.

Hadirnya ketiga konsep tersebut di era digital saat ini, tak bisa dipungkiri, lanjut Nuzulia, memang membuat semua orang berlomba mendapat perhatian dan pujian. Sehingga, dorongan untuk tampil dengan kehidupan sempurna pun makin menjadi-jadi.

Perkuat karakter

photo
Perangkat-perangkat Apple (Ilustrasi) - (Unsplash/Laura Chouette)

Munculnya fenomena pamer di media sosial memang tak bisa dilepaskan dari faktor teknologi yang memungkinkan semua hal ini terjadi. Life coach Deny Hen menyampaikan, sebenarnya flexing bukanlah tren baru.

Karena, sebelum kehadiran media sosial, sejumlah masyarakat sudah sering melihat adanya seseorang yang memamerkan pencapaianya di pertemuan sosial seperti arisan, komunitas, ataupun sekadar pertemuan keluarga. "Biasanya hal itu ditunjukkan dengan menggunakan anting, gelang, kalung serba emas, atau pakaian bermerek. Kini, setelah adanya sosial media, kita bisa flexing kapan saja di mana saja, tidak harus menunggu pertemuan sosial,” kata Deny kepada Republika.

Melihat culture tersebut, ia menilai bahwa pada dasarnya semua manusia membutuhkan perasaan berharga dan diterima secara sosial. Sayangnya seringkali masyarakat menilai sesuatu berdasarkan penampilan luar saja.

"Kita cenderung memuji dan mendekat saat ada orang yang sukses dan mengabaikan orang-orang yang kurang berhasil. Ditambah lagi ada nasehat-nasehat untuk berteman dengan orang-orang yang sukses supaya kita terdorong untuk lebih sukses,” jelas Denny.

Hal ini, lanjut dia, makin membuat flexing menjadi jalur instan untuk berhasil di aspek kehidupan sosial. Padahal, belum tentu kesuksesan yang ditunjukkan di jagat maya tersebut, benar atau nyata adanya.

Agar budaya pamer ini bisa ditekan, Denny pun merangkum empat cara agar masyarakat bisa terhindar dari keinginan untuk pamer. Pertama, ia menyarankan agar seseorang bisa merasa bersyukur dengan apa yang dimiliki saat ini.

Menurutnya, bersyukur membuat kita merasa cukup dengan apa yang ada. Sehingga tak perlu stres dan berusaha menunjukkan diri lebih unggul dari orang lain.

Kedua, abaikan orang-orang yang pamer dengan kondisi dan keadaannya. Karena, biasanya kondisi yang ditampilkan selalu lebih baik, daripada kondisi sebenarnya.

Ia mengilustrasikan, seperti dalam suatu hubungan dengan pasangan, sangat jarang pasangan tersebut menunjukkan foto waktu sedang bertengkar. “Yang ditunjukkan ya wajah-wajah sumringah atau saat momen bahagia,” ucap Denny.

Padahal, lanjut dia, setiap pasangan pasti mengalami konflik. Kemudian, kita juga mulai harus menyadari bahwa nilai diri kita sama sekali tidak ditentukan oleh apa yang kita pakai, yang kita makan, atau mana tempat yang pernah kita kunjungi.

Tetapi oleh karakter dan apa yang kita lakukan untuk sesame. ujarnya. Denny meyakini, karakter positif dan dampak yang luas bagi sesama, akan membuat seseorang lebih dipandang bernilai dan diakui.

Menurutnya, daripada menjadikan flexing sebagai bahan bakar utama dalam motivasi diri, lebih baik kita mengeksplorasi diri. Termasuk dalam menemukan makna hidup dalam mencapai sesuatu. 

 

 

 

Pada dasarnya semua manusia membutuhkan perasaan berharga dan diterima secara sosial. Sayangnya seringkali masyarakat menilai sesuatu berdasarkan penampilan luar saja.

 

 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Skuad Garuda Diminta Lebih Waspada di Laga Kedua

Curacao dinilai belum tampil maksimal pada laga pertama

SELENGKAPNYA

Persimpangan Karier Cristiano Ronaldo

Ada tiga opsi yang mungkin bisa terjadi dalam karier Ronaldo

SELENGKAPNYA

Kiai Jeje: Ini Kemenangan Harapan dan Kepercayaan

Suksesi kepemimpinan di jam’iyyah Persis ini menunjukkan kemenangan harapan dan kepercayaan

SELENGKAPNYA