
Nostalgia
Trauma 'Teror Subuh di Kanigoro'
Selain menangkapi remaja masjid dan PII di Masjid Attaqwa, tempat kegiatan PII, gerombolan PKI itu juga berusaha mengobrak-abrik rumah penduduk.
OLEH SUNARWOTO
Achyar (52 tahun), warga Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur mengeklaim terkaget-kaget mendengar pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid yang mengatakan, Tap MPRS No 25 Tahun 1966 tentang pelarangan ajaran komunis dan Marxis di Indonesia sebaiknya dicabut beberapa tahun lalu.
"Itu bisa bangkit lagi komunis," kata Achyar yang ditemui Republika, Kamis (30/3). Ia memang boleh khawatir terhadap kemungkinan kebangkitan komunis itu. Pasalnya, Achyar lelaki paruh baya ini adalah saksi mata sekaligus korban 'Teror Subuh di Kanigoro'. Hingga ia tahu persis penderitaan yang dialami gerombolan PKI terhadap umat Islam di Kanigoro awal tahun 1965 silam.
"Saya pernah disiksa oleh gerombolan PKI. Dipukuli dan ditendang gara-gara saat itu saya tengah shalat di masjid bersama teman Perhimpunan Pelajar Indonesia (PII)," kata Acyar yang kini melakoni sebagai penjaga Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Kanigoro.
Setelah dipukul habis-habisan, Achyar yang saat itu masih menginjak umur sekitar 16 tahun, dengan dilucuti bajunya dipaksa berbaris dan berjalan menuju Kecamatan Kras yang jarak tempuhnya mencapai lima kilometer.
Usaha Haji Kusnan mengembangkan Islam di Kanigoro itu membuat sakit hati gerombolan PKI.
"Kami remaja masjid Desa Kanigoro dan sekitar 100 anggota PII tak berani melawan karena jumlah mereka ribuan," katanya seraya menyebutkan selama dalam penggiringan itu tetap saja dipukuli oleh gerombolan PKI.
Dituturkannya, sekitar awal tahun 1965, Desa Kanigoro ketempatan acara penataran anggota PII se-Jatim. Kegiatan tersebut terselenggara berkat kesediaan Haji Kusnan, warga NU setempat yang kaya raya, dan berusaha meramaikan desanya dengan kegiatan keagamaan, berusaha memberi fasilitas kepada anggota PII.
Haji Kusnan sebelumnya telah meminta KH Manab --Pengasuh Pondok Lirboyo Kediri-- mengirimkan santrinya untuk mengajarkan Islam di daerah Kanigoro dan sekitarnya. Pada saat itu Kiai Manab mengirimkan Kiai Jauhari untuk mengajarkan agama di Kanigoro.
Rupanya, usaha Haji Kusnan mengembangkan Islam di Kanigoro itu membuat sakit hati gerombolan PKI. Gerombolan PKI sendiri umumnya beranggotakan perampok, pencuri, penjudi setempat yang sebelumnya selalu meminta 'upeti' kepada Haji Kusnan.
"Merasa saat itu Haji Kusnan memberi uang dan fasilitas kepada kelompok Islam, maka puncaknya Desa Kanigoro diserang ketika ada kegiatan PII itu," kata Achyar.

Pada subuh itu, kenang Achyar, Desa Kanigoro dikepung sekitar 10 ribu orang gerombolan PKI yang berasal dari Blitar, Kediri, dan Tulungagung. 'Teror Subuh di Kanigoro' itu dipimpin langsung oleh Suryadi, pentolan PKI Kecamatan Kras. Pada bakda subuh, gerombolan PKI menyerang Masjid Attaqwa dan Madrasah Kanigoro, tempat anggota PII melakukan kegiatan," kata Achyar.
Gerombolan PKI dengan bersenjata pedang, clurit, dan kapak, dengan mengenakan sepatu dan kaki telanjang penuh lumpuh masuk ke dalam masjid. Mereka menangkapi anggota PII dan remaja masjid desa setempat.
Setelah melumpuhkan anggota PII yang memang tak mau melawan, gerombolan itu dengan serta merta membakari kitab-kitab agama dan Alquran. "Alquran dan kitab-kitab kuning milik masjid dibuang ke luar. Kemudian diinjak-injak dan dibakar habis," kata Achyar yang dibenarkan Solikin, sahabatnya yang saat itu juga tertangkap gerombolan PKI.
Setelah itu rumah Kiai Jauhari yang berada di samping masjid digedor-gedor dan dibuka paksa. Setelah berhasil mendapati Kiai Jauhari, ayah kandung KH Maksum Jauhari --dedengkot perguruan pencak silat Pagar Nusa milik NU sekaligus kini pengasuh Pondok Lirboyo-- diseret ke luar rumah. Mereka dianiaya semaunya.
Warga NU di Kanigoro ini merasakan benar kejahatan yang dilakukan PKI.
"Jadi warga NU di Kanigoro ini merasakan benar kejahatan yang dilakukan PKI," kata Kiai Abdul Majid, kini menjadi imam Masjid Attawqa yang menjadi saksi sejarah 'Teror Subuh di Kanigoro' itu.
Selain menangkapi remaja masjid dan PII di Masjid Attaqwa, tempat kegiatan PII, gerombolan PKI itu juga berusaha mengobrak-abrik rumah penduduk. Umumnya rumah penduduk yang ketempatan menginap anggota PII.
Di rumah-rumah penduduk itu, mereka juga berusaha membakar Alquran dan kitab-kitab keagamaan. "Haji Ridwan, ayah mertua saya dulu memiliki banyak koleksi kitab kuning dan Alquran. Tapi pada saat itu oleh gerombolan PKI kitab-kitab tersebut dibakar habis," kata Kiai Majid yang berharap komunis jangan dibiarkan bangkit lagi di bumi pertiwi.
"PKI itu musuh Islam yang paling nyata. Bila mereka itu bangkit lagi, maka yang paling mendapat petaka adalah umat Islam. Karena itu saya tidak setuju dengan dicabutnya pelarangan komunis," katanya.
Selain menangkapi remaja masjid dan PII di Masjid Attaqwa, tempat kegiatan PII, gerombolan PKI itu juga berusaha mengobrak-abrik rumah penduduk.
Lain halnya dengan suara dari warga Blitar Selatan. Tak sedikit warga Blitar Selatan, yang pada tahun 1966-1968 wilayahnya dijadikan tempat pergerakan PKI untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah dan TNI, sangat setuju dengan usulan rencana Gus Dur mencabut ketentuan Tap MPRS No 25 Tahun 1966.
Karena dengan dicabutnya ketetapan itu, berarti rakyat Blitar Selatan tidak menanggung 'dosa' yang harus disandang anak-cucunya. "Selama ini warga Blitar Selatan selalu dituding sebagai PKI. Tudingan itu sangat menyakitkan, apalagi harus ditanggung anak-anak cucu kita," kata Katimin (52) saat ditemui Republika di rumahnya, Desa Sumberdadi Kecamatan Bakung, sekitar 40 kilometer arah selatan Kota Blitar.
Generasi Blitar Selatan, katanya, selama pemerintahan Orba tak ada yang menjadi pegawai pemerintah atau anggota ABRI. Sebab, sudah dicap sebagai warga PKI.
"Lima anak saya tak ada yang sekolah tinggi. Cukup hanya lulus SD, sekadar bisa membaca dan menulis saja. Sebab sekolah tinggi-tinggi, kalau keturunan Blitar Selatan tidak bakal jadi orang pangkat," kata Katimin yang mengaku sangat setuju pelarangan PKI dicabut.
Ia mengaku, ketika TNI melakukan 'Oprasi Trisula' memberantas PKI Blitar Selatan, ia sempat tinggal di hutan selama empat bulan. Baru setelah operasi reda, ia pulang kampung dan menyerahkan diri. Tapi ia melihat kengerian pada saat itu. "Dalam operasi itu, kita kalau tak ditembak tentara, dibunuh Hansip," katanya seraya menyebutkan Hansip itu kebanyakan Ansor.
Katimin sendiri kini berani mengaku bahwa dirinya pada saat tahun 1965 sebagai anggota PKI. Bahkan ketika Ir Surahman dkk berlari di Blitar Selatan pada 1966, ia sempat masuk tentara PKI. Ia pernah menjalani latihan militer yang dilakukan Surahman dkk dengan latihan baris-berbaris dan berlari di pantai Pasur.
"Saya ikut latihan militer PKI karena dijanjikan menjadi tentara negara. Ketika itu saya masih berumur 23 tahun, saya senang mengikuti latihan militer PKI itu," katanya yang mengaku dalam latihan itu didoktrin untuk tidak takut terhadap TNI. Sebab, senjata TNI itu hanyalah palsu digunakan untuk menakut-nakuti rakyat saja.

Tokoh sisa G30S-PKI yang saat itu bergabung di Blitar Selatan itu tingkat CC dan CDB. Mereka antara lain Uluan Hutapea, Ruslan Widjajasastra, Ir Surahman, Cugito, Suripto alias Iskandar Subekti, Marjoko, Suwandi, Gatot Sutaryo, Munir, Sukatno, Rewang, eks Letkol Pratomo.
Para gembong PKI bersama komplotannya ini datang di Blitar dengan sangat baik. Mereka mengajari membaca dan menus para penduduk yang saat itu rata-rata buta huruf. Hal ini karena daerah Blitar Selatan merupakan kantong penduduk miskin, karena daerahnya berada di perbukitan kapur yang tandus. Mereka diajari menyanyi dan berkesenian, juga melakukan penyuluhan pertanian dan perkebunan.
Komplotan PKI itu juga mengajar warga agar menyanjung Bung Karno, yang menjadi Presiden RI. Karena umumnya warga Blitar Selatan itu pengagum Bung Karno, maka sekitar 75 persen penduduk di Kecamatan Bakung yang terdiri 11 desa pada saat itu mengikuti jejak Surahman dkk.
"Warga Blitar Selatan pada saat itu miskin dan bodoh. Apa kata orang kota pasti dituruti. Termasuk Surahman dkk mengajak memberontak," kata Tugiman (56), warga Desa Tumpak Oyot yang saat itu juga bergabung dengan PKI.
"Jadi kami ini dulu hanya terhasut saja. Tetapi dalam pemerintahan Orde Baru, warga Blitar Selatan tetap saja dinyatakan sebagai orang PKI. Kami sebenarnya tidak tahu menahu, hanya ikut-ikutan saja," kata Tugiman yang dibenarkan warga lainnya.
Disadur dari Harian Republika edisi 9 April 2000
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Hatta dan Kawan-Kawan Ditangkap karena Dianggap Tiru Komunis
Penangkapan Hatta dan kawan-kawan itu rupanya ulah licik dan ngawur dari Westenink.
SELENGKAPNYASalammu, Doa Terbaikmu
Kalimat salam adalah doa yang membawa seluruh makna keselamatan dari semua rasa sakit.
SELENGKAPNYAApakah Keputihan Termasuk Najis?
Proses membersihkan najis ini memang mudah karena bisa langsung ganti dengan celana dalam yang bersih
SELENGKAPNYA