Kurusetra. (ilustrasi) | Republika/Putra M. Akbar

Sastra

Bisma Gugur

Puisi-Puisi Effendi Kadarisman

OLEH EFFENDI KADARISMAN 

 

BISMA GUGUR

Aku, Srikandi, menyaksikan Resi Bisma

terpental dari kereta dan jatuh

di bumi yang lumpuh

Kudengar tadi teriaknya nyaring

memanggilku, “Amba!”

Dan panah dari tanganku meluncur deras

menancap di dadanya. Sekejap! Disusul

berpuluh panah Arjuna, suamiku, berdesing

bak kilat merajam merih lehernya

 

Lalu bendera putih dikibarkan di langit senja

Gemuruh perang mendadak berhenti

Dengan sisa napasnya, Sang Resi memandangku

dengan seribu sembilu kerinduan

Aku menunduk dengan mata iba dan hati teriris

 

Akulah si pembunuh!

Dengan mengantarnya ke gerbang kematian,

apakah yang kudapatkan?

Tak ada. Hanya luka dan sia-sia

Kulihat semua mendekat, memberikan

penghormatan terakhir

 

Duryudana memberikan bantal bersarung sutra,

dan Bisma menggeleng. Werkudara mengambil

setumpuk tameng, diletakkan di bawah kepalanya

Kulihat senyumnya mengembang, dan

lirik matanya mengarah ke jantungku

Kurasakan detak keras yang panas: ya,

akulah si pembunuh!

Aku tak tahu, apa yang ia bisikkan kepada

Arjuna, yang bersimpuh sambil

mendekatkan telinga 

 

Bau harum pun memenuhi udara Kurusetra

Arakan awan merah —seolah langit merayakan

kelamnya permusuhan dengan warna darah

Tapi, bukankah itu juga lambang keperwiraan?

Ketika alam menjemput arwah pahlawan

dan membuka semua pintu nirwana? 

 

Sesampai di gerbang Amarta, semua prajurit

meneriakkan namaku berapi-api, “Srikandi!

Srikandi! Srikandi!”

Ya, akulah si pembunuh!

Telah kudapatkan semuanya: luka dan sia-sia 

 

Malang, 15 Juni 2022

 

*** 

 

DAN SAMUDRA BERNAPAS BEBAS

Laut adalah kemerdekaan

Dan samudra bernapas bebas, tanpa batas

Di ujung-pandang, garis sunyi di sana,

sayup rindu cakrawala

(Ah, aku ingat Makassar, ingat palung laut

tanpa dasar)

Berdiri di pantai ini

Menatap hidup tak bertepi 

 

Tapi, wahai lautku

Kepada siapakah engkau berkisah?

Tak jemu mengirim ombak demi ombak,

Tak jemu menggubah sajak?

Langit berabad-abad bersaksi dan mencatat:

nama dan peristiwa

 

Manusia menjamah dunia

Manusia menjajah dirinya

Siapakah yang laut? Ke manakah yang hanyut? 

 

Aneh, gelombang yang gelisah

Aku tahu samudra sedang menawarkan cerita:

Bima yang membunuh ular nafsunya—

 

Lenyap bersuluh ruh Dewaruci

Kaget! Yang hening bertapa di sana,

Bukankah itu aku?

Menyimak sabda, mereguk rasa:

beningnya hidup sejati

“Aku ingin baka, ingin abadi di sini.”

“Tidak. Engkau harus pulang. Keempat saudaramu

menunggu, juga Dharma. Ini janji darah ksatria.”

 

Samudra bernapas bebas dan merdeka

Karena engkau, Saudaraku, telah lahir suci kembali

sebagai Sang Bima

 

Malang, 4 Maret 2022

 

*** 

 

KATA KATA 

Kata-kata berderet rapi dalam kamus

Saling mendekat, saling terpikat,

Dari awal sampai akhir—mengalir

Lewat urutan abjad

Lalu turun satu demi satu dengan tertib

Lewat ujung jarimu ketika engkau menulis

Lupa menutup jendela, abai pada gerimis 

 

Tapi kata-kata bisa juga membosankan,

Membuatmu jengah

Ketika mereka limbung di sebuah wacana

Yang tak jelas maunya

Ada lidah yang sia-sia mengucapkan

Ada nalar yang ditelantarkan

Ada pendengar yang tak di-orang-kan

 

Waktu keruh oleh sampah bahasa

Bahkan pengeras suara pun menggerutu

Dan kau lihat kata-kata

Menangis di sudut itu 

 

Cukup! Saksikan anak-anak bergembira

Tak banyak kata-kata

Mereka bermain, berlari, mengejar rasa-suka,

Menangkap kupu-kupu

“Jangan! Jangan disakiti!”

 

Serangga cantik itu pun dilepaskan

Terbang bebas bersama kata-kata

Kerjap-kerjap nuansa makna,

gemerlap di sayapnya

Anak-anak melepas balon

Yang berisi mimpi warna-warni

 

Syahdan, setelah subuh

Kulihat sederet kata-kata berpendar

Melepaskan jubah malam

Membujuk sunyi, memeluk sepi

“Kami rindu,

Menatap wajah matahari pagi.”

Begitulah, kata-kata lahir jadi puisi

 

Malang, 25 Agustus 2022

 

***

 

PARA PENYAIR

Apakah yang mereka cari?

Mengembara dari kata ke kata,

Hanya menemukan bayang-bayang

 

Tak ada makna yang telanjang

Mereka menanggung beban sunyi,

Seperti dukana, seperti gerhana

Jaring-jaring raksasa

Membentang dalam jaga, dalam mimpi

Belum juga tertangkap

Salam matahari, senyum rembulan

Atau gerimis kebahagiaan 

 

Mereka adalah burung-burung

Tak pernah lelah terbang di langitmu

Langit jiwa, luas tanpa batas

Lihatlah, kerjap sayap-sayap sepi

Menempuh jalan tak berjejak

Menggoreskan sajak

 

Malang, 23 Agustus 2022

Effendi Kadarisman mendapatkan gelar PhD di bidang linguistik dari Univeristas Hawai pada 1999. Saat ini adalah guru besar linguistik dan pakar etnopuitika pada Program Pascasarjana Universitas Islam Malang (Unisma).

Selain menekuni linguistik, ia juga mencintai puisi, dan telah menerbitkan empat antologi puisi pribadi. Antologi terakhir Selembar Daun Hening (2021) berhasil masuk 15 nomine pada lomba Hari Puisi Indonesia tahun 2021. Sepanjang tahun 2021 dan 2022, puisi-puisinya masuk dalam 11 buku antologi puisi bersama, antara lain Dunia: Suara Penyair Mencatat Ingatan, Minyak Goreng Memanggil, Indonesia dalam Setangkai Puisi, Jazirah Sebelas, dan Upacara Tanah Puisi. 

 

Mengungkap Nasihat Mao Kepada Aidit

Selain menguak soal peranan Mao Tse-tung, Fic dalam buku ini juga berani membuka misteri di Halim Perdana Kusuma pada 1 Oktober 1965.

SELENGKAPNYA

Pengobatan THT Warisan Peradaban Islam

Pengobatan gangguan THT merupakan kontribusi besar dunia Islam bagi peradaban manusia hingga saat ini

SELENGKAPNYA

Subchan ZE, Penggalang Kekuatan Antikomunis

Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI, Subchan menggalang kekuatan anti komunis.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya