
Kronik
Antara Soviet dan PKI
Penting mengetahui bagaimana pandangan Soviet terhadap Islam sejak awal revolusi 1917.
BEGGY RIZKIANSYAH, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)
Di tengah maraknya perbincangan tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI), makin terasa mendesak kajian ilmiah tentang ideologi dan partai yang telah dilarang di Indonesia itu.
Pembahasan tentang sepak terjang PKI di Indonesia— selain memperhatikan persoalan ideologi dan konstelasi politik dalam negeri—perlu dikaitkan dengan unsur-unsur lain, terutama pengaruh dari luar. PKI tak bisa dilepaskan dari gerakan komunis internasional. Bahkan, sejak masa kemunculannya di Hindia Belanda.
Ketika itu, Hindia Belanda dalam masa peralihan. Nusantara, pada paruh pertama abad ke-19, diwarnai berbagai perlawanan dahsyat terhadap kolonialisme; di Jawa oleh Pangeran Diponegoro, di Sumatra Barat oleh kaum Paderi, dan sekitarnya.
Begitu juga di Palembang, hingga Banjar masin (dengan pengecualian Aceh yang berlangsung hingga abad ke-20). Perlawanan-perlawanan itu membuat kas pemerintah kolonial terkuras (terutama akibat perang Jawa).
Pemerintah kolonial kemudian menerapkan sistem tanam paksa untuk menguras kekayaan alam dan tenaga manusia di Hindia Belanda. Eksploitasi habis-habisan ini mendulang kekayaan yang melimpah bagi pemerintah kolonial. Liberalisasi ekonomi ditandai dengan menjamurnya perkebunan-perkebunan swasta di Hindia Belanda.
Politik etis berdampak pada merembesnya kesadaran akan kesewenang-wenangan kolonialisme. Sarekat Islam (SI) — tak bisa tidak — merupakan organisasi pertama di Hindia Belanda yang menyatukan berbagai lapisan orang-orang pribumi.
Ia tidak saja memberikan harga diri pada orang pribumi untuk bangkit, tetapi juga memberikan kedudukan yang setara bagi orang-orang lemah pribumi seperti petani yang selama ini terpinggirkan. Maka Sarekat Islam turut pula menjadi wadah besar berkumpulnya para aktivis pribumi di Hindia Belanda, mulai dari kalangan priyayi, ulama, pedagang, hingga kelompok kiri seperti Semaoen.

Nama Semaoen tak bisa dilepaskan dari figur Sneevliet. Sosok inilah yang membawa komunisme ke Hindia Belanda. Sebelum kehadiran Semaoen, Sarekat Islam adalah wadah persatuan, tetapi belum menjadi wadah perlawanan frontal dan radikal terhadap kekuasaan kolonial.
Hal ini dapat dipahami mengingat setiap perlawanan frontal terhadap penguasa berarti pembungkaman organisasi dan aktivisnya, seperti yang dialami oleh Indische partj (IP). (Takashi Shiraishi, Zaman bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Pustaka Utama Gra fiti, 2005).
Semaoen bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Ia menjadi motor pergerakan kelompok kiri di Sarekat Islam. Semaoen dengan ideologi komunisnya, selain ingin membawa SI lebih radikal mengkritik pemerintah kolonial, juga hendak membawa Sarekat Islam netral agama.
Hal ini mendapat tentangan keras dari kelompok SI putih, seperti Haji Agus Salim dan H Fachrodin. (Takashi Shiraishi: 2005)
Peranan Soviet
Di balik pembicaraan munculnya komunisme di Hindia Belanda, penting untuk mengetahui bagaimana pandangan Soviet terhadap Islam sejak awal revolusi mereka di tahun 1917. Pandangan Komunis Soviet mengenai negara-negara Timur khususnya Islam dapat dilihat pertama kali pada Kongres Komunis Muslim di Moskow tahun 1918.
Lenin mengatakan, Muslim di Rusia dapat menjadi jembatan bagi Timur dan Barat. Timur dalam pandangan Lenin tahun-tahun itu adalah pintu belakang imperialis.
Namun, sulit untuk menganggap negara-negara Timur (terutama Islam) sebagai bagian penting dari rencana Komintern. Bahkan, Lenin pada Kongres kedua Komintern menganggap pengaruh pemuka agama (priesthood) harus dilawan. Begitu pula, gerakan Pan-Islam. (Lihat, Charles B McLane, Soviet Strategies in Southeast Asia, New Jersey: Princeton University Press, 1966). Di Hindia Belanda, persoalan ini menjadi serius.

Meski Lenin setuju pada keterlibatan komunis di Hindia Belanda dalam Sarekat Islam, penolakan terhadap gerakan Pan-Islam, bagi gerakan Islam di Hindia Belanda adalah penolakan terhadap persatuan Islam itu sendiri. PKI, nantinya dalam kongres mereka tahun 1920, mengakui sulit untuk menjawab hal ini. (Ruth McVey, Soviet View of The Indonesian Revolution, Interim Report Series, Modern Indonesia Project, New York: Cornell University, 1969).
Perbedaan kelompok kiri (SI Merah) dan kelompok Islam (SI Putih) memang sangat tajam dalam bidang agama. Kelompok kiri di SI menginginkan SI netral agama. Artinya, Islam sejajar dengan agama lain. Bahkan aktivis kiri, Baars, menginginkan keterlibatan kelompok kiri di SI hanyalah sebuah 'batu loncatan'.
Menurut dia, ketika perkembangan SI mencapai titik akhir, SI akan kehilangan karakter religius serta nasionalisnya dan hanya menganggap satu karakter kelas. Saat itulah orang ISDV (organisasi kiri) yang ada di dalam SI hanya akan membiarkan perbedaan di tubuh SI (yang sudah lenyap ) menjadi persatuan aksi massa sosialis. (Ruth McVey, Kemunculan Komunisme di Indonesia, Depok: Komunitas Bambu, 2010).
Pertikaian soal ideologi antara kelompok kiri dan kanan di SI memang sudah tak bisa dilerai lagi. Meski kedua kelompok sama-sama dikenal membela kepentingan buruh dan rakyat kecil, Surjopranoto, aktivis SI yang dikenal sebagai 'Si Raja Mogok' mengeluhkan kelompok komunis yang kerap kali merintangi kegiatan mereka.
Haji Agus Salim mencela pemahaman kelompok kiri yang berlandaskan pertentangan kelas. Menurut dia, "Kaum yang hendak membagi bangsa kita atas kaum pekerja dan kaum modal. Kaum itu adalah kaum yang membatalkan hak milik, yang memakai nama sosialis…"
Haji Agus Salim juga menyebutkan, "Kaum sosialis itu membuta tuli saja hendak memindahkan sengketa dan perselisihan rumah tangganya (Eropa) ke tanah air kita." (Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendikia, 2008).
Pada Kongres Komintern keempat, Komintern mengubah pandangannya tentang Pan-Islam. Perubahan sikap ini mungkin salah satunya akibat dari sikap Tan Malaka, wakil PKI di kongres tersebut, yang membela perjuangan bersama gerakan komunis dan Pan-Islam di Hindia Belanda.
Namun, di Hindia Belanda hal ini tak dapat menghentikan perpecahan PKI dan SI. Bagaimanapun Sarekat Islam tak bisa menerima sikap PKI yang netral agama (sekuler). (Ruth McVey: 2010).

Peran Zhdanov
PKI meski mengaku netral agama, tetap membawa-bawa agama dalam propaganda mereka. Kehadiran tokoh haji komunis seperti Haji Misbach tak dapat dimungkiri bisa menggalang dukungan massa (Takashi Shiraishi: 2005).
Tampaknya PKI dalam posisi yang kontradiktif. Di satu sisi mereka mengaku netral agama (sekuler), tetapi mereka tetap melakukan propaganda agama dalam meraup massa karena agama (Islam) tak dapat dilepaskan dari masyarakat pada masa itu.
Hal ini terus diintensifkan oleh PKI. Mereka terus meningkatkan basis massa. Propaganda baik soal kesengsaraan, pembebasan dari penjajah, 'Negara Soviet', maupun penolakan terhadap kepemimpinan penjajah kafir terus mereka galakkan.
Arahan Komintern yang mencakup delapan poin pada 1925 pun tak dihiraukan. PKI malah mengajukan protes atas strategi fron persatuan dari atas ala Stalin dan tanpa sadar memihak Trotsky, lawan politik Stalin. (Ruth McVey: 2010).
Lambat laun PKI terjebak dalam propagandanya sendiri. Mereka tak mampu memberikan prospek revolusi membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda, seperti yang mereka janjikan pada rakyat awam yang bergabung dengan mereka. Akhirnya, pemberontakan tanpa persiapan dan dukungan memadai itu pun meletus.
Di Banten, PKI menjanjikan perang suci (jihad) terhadap penguasa kafir. Di Sumatra Barat, Lenin digambarkan sebagai sosok ratu Adil. (Ruth McVey: 2010). Tak ada yang tercapai.
Pemberontakan itu dengan mudah ditumpas. Rakyat menjadi korbannya. Pemimpin dan anggota PKI ditangkap, diasingkan, atau dihukum mati. Lebih mengenaskan, Stalin sendiri sejak awal tak menyetujui aksi tersebut.

Pemberontakan 1926-1927 menyisakan sempitnya ruang bagi pergerakan nasional di Hindia Belanda. Tak banyak perhatian komintern terhadap gerakan kiri di Hindia Belanda karena memang gerakan kiri praktis tak tersisa sejak aksi itu. Hingga kemudian merebak kembali pascakemerdekaan Indonesia, khususnya setelah Amir Sjarifuddin menjadi perdana menteri di tahun 1947 menggantikan Sutan Sjahrir. (Ruth McVey: 1969).
Pandangan Soviet terhadap Indonesia tidak semata-mata penolakan terhadap penjajahan, tetapi banyak ditentukan faktor lain, termasuk posisi Soviet dalam politik internasional. Dukungan Soviet terhadap Indonesia lebih sebagai penyeimbang terhadap dominasi Amerika Serikat yang mendukung Belanda. Dukungan terhadap komunis di Eropa (Prancis, Jerman, atau Italia lebih berharga ketimbang negara Asia tenggara). (Charles B McLane: 1966).
Dukungan ini juga tak melulu terkait semangat antiimperialisme. Soviet, misalnya, mendukung Sutan Sjahrir dalam perjanjian Linggarjati, meski perjanjian itu disebut banyak pihak merugikan Indonesia. Pun, dalam pemerintahan Amir Sjarifuddin mereka mendukung kabinetnya. (Ruth McVey: 1969)
Kebijakan Soviet yang signifikan datang tahun 1947 setelah Soviet mengarahkan kebijakannya mengikuti grasi Zhdanov, yang membagi dunia menjadi dua kubu: 'Imperialis dan anti demokrasi', dipimpin oleh AS dan dunia kapitalis. Kubu lain, 'Demokratis dan antiimperialis' dipimpin oleh Soviet.
Dalam Garis Zhdanov ini, kerja sama dengan kelompok borjuis nasional disingkirkan karena mereka tak bisa diandalkan dan memihak kaum imperialis. (Charles B McLane: 1966 dan Ruth McVey: 1969).
Kebijakan Zhdanov yang lebih agresif ini bermula dari upaya Soviet untuk menyaingi pengaruh Amerika Serikat lewat Marshall Plan-nya di Eropa. Garis Zhdanov segera memiliki dampaknya di Indonesia, setelah kedatangan Musso. (Charles B. McLane, Soviet Strategies in Southeast Asia, New Jersey: Princeton University Press, 1966).

FDR-PKI yang merupakan gabungan kekuatan berbagai kelompok kiri merencanakan penggulingan kabinet Hatta, baik dengan cara legal maupun ilegal. Pemberontakan (yang disertai pembantaian khususnya kiai dan santri) menandai aksi PKI.
Sulit dipastikan bahwa Soviet memberikan arahan langsung untuk pemberontakan Madiun. Tetapi politik Soviet yang membagi dunia menjadi dua kubu secara ekstrem dan agresif lewat garis Zhdanov tentu mempengaruhi politik PKI di Indonesia. (Charles B McLane: 1966).
Sejarah menunjukkan, Komunis Soviet (Komintern) memberikan pengaruh kepada gerakan komunis di Indonesia. Sikap Soviet terhadap Pan-Islam yang berubah-ubah menandakan sikap Soviet terhadap agama tak lebih dari urusan politik untuk mencapai kekuasaan.
Di Indonesia, meski tak selalu mengikuti arahan Komintern, PKI memainkan politik yang kontradiktif dalam hal agama. Di satu sisi mereka mengaku netral agama, tetapi di sisi lain mereka terus memakai propaganda agama, untuk menggalang massa, bahkan sebagai 'alat' untuk menggelorakan pemberontakan.
Namun pada 1948, tak banyak propaganda PKI yang dipakai PKI berkaitan dengan agama. PKI di bawah Musso kali ini lebih mengikuti arahan Soviet dalam berpolitik di Indonesia. Semua taktik tersebut tak lain hanyalah anak tangga untuk mencapai kekuasaan.
Disadur dari Harian Republika edisi 19 Mei 2016
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Bintang Daud dalam Sejarah Islam
Bintang daud juga pernah dijadikan sebagai simbol bendera Dinasti isfendiyar
SELENGKAPNYAPalu Arit di Takeran
“Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati!” Itulah yel yel PKI untuk melumpuhkan sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kaum Muslim menjadi sasaran utama keganasan PKI.
SELENGKAPNYA