Seorang anak bersama pendamping membaca buku saat kegiatan seru bersama liburan di MKAA di Museum Konperensi Asia Afrika, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Kamis (14/7/2022). | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Opini

Sinergi untuk Literasi

Masyarakat Indonesia secara umum tak bermasalah dengan kemampuan membaca aksara dan angka. Namun, aktivitas membaca belum jadi budaya.

SRI HARTONO, Pustakawan Ahli Muda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur

Tersisihkannya literasi dari daftar trending topic berdampak pada peringatan International Literacy Day, 8 September 2022.  Tak banyak ekspos tanggal penting tersebut sekalipun tema peringatannya sangat penting dan futuristis.

Selain pustakawan dan pegiat literasi, hanya sebagian kecil kepala daerah yang masih memberikan atensinya. Namun, secara umum, refleksi hari literasi sedunia hanya hidup di ruang-ruang sunyi.

Tema transforming literacy learning spaces tak bisa dipisahkan dari kecemasan pemerhati dan praktisi pendidikan atas potensi lost generation sejak pandemi Covid-19. Enforced digital disruption membuat transformasi pembelajaran dari luring ke daring.

Sebelum pandemi, gejala melemahnya budaya literasi ditunjukkan berbagai hasil riset. Data pertama, hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 sebagaimana dirilis Organisation for Economic Cooperation and Development Maret 2019.

 
Sebelum pandemi, gejala melemahnya budaya literasi ditunjukkan berbagai hasil riset.
 
 

Data ini menunjukkan, skor kecakapan membaca pelajar Indonesia adalah 371, peringkat 72 dari 77 negara. Indonesia bukan hanya tertinggal dari AS, Inggris, Jepang, atau Cina. Dibandingkan Vietnam, Rusia, bahkan Belarusia dan Estonia pun pelajar Indonesia tertinggal.

Guru dan orang tua siswa sudah cukup bahagia bila anaknya meraih nilai kognitif di atas kriteria ketuntasan minimum, dan dinyatakan naik kelas atau meraih ijazah kelulusan.

Kecakapan membaca, tingkat penguasaan materi, kemampuan menganalisis persoalan terkait materi yang diajarkan tak dianggap penting.

Sinyal rendahnya minat baca juga ditampilkan data UNESCO, yang menunjukkan 1:1.000. Artinya dari 1.000 orang, hanya satu yang suka membaca. Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan pun merilis Indeks Aktivitas Literasi Baca (Alibaca) Nasional 2020.

Indeks menunjukkan, aktivitas literasi rendah, yaitu 37,32. Ada empat indeks dimensi penyusunnya, antara lain Indeks Dimensi Kecakapan 75,92, Indeks Dimensi Akses 23,09, Indeks Dimensi Alternatif 40,49, dan Indeks Dimensi Budaya sebesar 28,50.

 
Hasil riset itu bisa diinterpretasikan secara sederhana. Masyarakat Indonesia secara umum tak bermasalah dengan kemampuan membaca aksara dan angka. Namun, aktivitas membaca belum jadi budaya.
 
 

Hasil riset itu bisa diinterpretasikan secara sederhana. Masyarakat Indonesia secara umum tak bermasalah dengan kemampuan membaca aksara dan angka. Namun, aktivitas membaca belum jadi budaya.

Secara komparatif, persepsi negatif terhadap budaya literasi Indonesia pada era digital berbanding terbalik dengan “prestasi” mengakses media sosial (medsos).

Menurut data The Next Web 2018, Indonesia urutan ketiga pengguna Facebook terbanyak dengan jumlah 140 juta. Untuk aplikasi Instagram urutan keempat dengan 56 juta pengguna. Sedangkan Twitter, Indonesia posisi ke-12 dengan 6,6 juta pengguna.

Dalam perspektif spiritual, lemahnya budaya baca paradoks bagi negara yang berdasarkan pada asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Membaca kewajiban dari Allah SWT melalui ayat pertama surah al-Alaq terdegradasi jadi amalan yang boleh dilakukan, boleh pula ditinggalkan.

Selain bisa dipersepsikan sebagai pembangkangan atas perintah Allah, kemalasan berliterasi juga mengingkari sejarah. Menurut analisis historis, menguatnya budaya literasi saat penerapan politik etis oleh Belanda adalah awal menguatnya kesadaran hidup sebagai satu bangsa.

 
Dalam perspektif spiritual, lemahnya budaya baca paradoks bagi negara yang berdasarkan pada asas Ketuhanan Yang Maha Esa. 
 
 

Semua hasil riset di atas alarm bagi pegiat pendidikan dan literasi, termasuk pustakawan. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2007, perpustakaan diharuskan bertransformasi menciptakan pembelajaran yang tak dibatasi ruang dan waktu.

Transformasi itu diwujudkan Perpustakaan Nasional dengan meluncurkan aplikasi digital iPusnas. Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur meluncurkan layanan digitalnya melalui aplikasi DJatim. Namun, komitmen pustakawan ini menyisakan kendala serius.

Masih ada 15 ribu desa berstatus blankspot karena buruknya akses internet atau bahkan belum terjangkau jaringan. Transforming literacy learning spaces butuh kesadaran bahwa pembelajaran literasi hak setiap individu. Bukan hanya tanggung jawab pustakawan. 

 
Perlu sinergi perpustakaan pusat dan daerah dengan provider internet demi transformasi perpustakaan berbasis digital.
 
 

Perlu sinergi perpustakaan pusat dan daerah dengan provider internet demi transformasi perpustakaan berbasis digital. Sinergi juga bisa diimplementasikan dalam transformasi pembelajaran literasi berbasis inklusi sosial.

Misalnya, sinergi dengan Kementerian atau Dinas Pertanian, bisa memberikan pembelajaran literasi pertanian, kerja sama dengan Dinas Koperasi dan UMKM untuk mentransfer ilmu literasi kewirausahaan, dengan Dinas Pariwisata mengembangkan eduwisata, dan sebagainya.

Target puncaknya, bila transformasi berbasis digitalisasi dan inklusi sosial mampu menguatkan budaya literasi, Indonesia Emas 2045 bukan hanya impian.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat