
Kronik
Pudarnya Ristek Soviet di Bawah Gorbachev
Runtuhnya Soviet di bawah kepemimpinan Gorbachev membawa malapetaka bagi dinamika riset iptek.
OLEH DEDI JUNAEDI
Begitu 'kerajaan' Uni Soviet runtuh, kemaharajaan riset negara itu pun terancam ambruk. Banyak ilmuwannya lari karena gaji yang kecil. Perabotan riset dilego untuk menggaji karyawan.
Padahal, hampir tiga abad para ilmuwan Rusia menyumbangkan banyak penemuan yang berharga untuk ilmu pengetahuan modern. Banyak ilmuwannya yang menerima hadiah Nobel selama kurun waktu 'kejayaannya' itu.
Runtuhnya Uni Soviet di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev --yang kemudian dilengkapi oleh ketidakberdayaan Boris Yeltsin membangun Rusia-- telah membawa malapetaka bagi dinamika riset iptek di republik-republik mantan Uni Soviet. Khususnya Rusia.
Kegiatan riset dasar dan teknologi tinggi yang telah berpuluh tahun menjadi kunci kebanggaan bangsa komunis terbesar -- dan sempat menghasilkan puluhan Hadiah Nobel -- itu kini menurun drastis. Dalam jumlah dan kualitasnya.
Ratusan lembaga riset yang namanya dulu sempat melambung memang masih ada. Namun nyaris tak berfungsi. Tanpa kegiatan yang berarti. Semua berpangkal dari banyak hal yang saling berkait: ketiadaan dana dan larinya para peneliti ke luar Rusia, serta tergadainya sejumlah peralatan kunci ke lembaga riset negara lain. Beberapa program dan fasilitas riset bahkan sengaja dijual semata-mata demi mempertahankan kelangsungan hidap para saintis dan teknolog yang masih bertahan di dalam negeri.
Tiadanya dana dan kegiatan ristek yang memadai di dalam negeri, menurut Popular Science (Agustus 1994), telah menyebabkan eksodus (brain drain) besar-besaran para peneliti dari Rusia ke luar. Dalam beberapa tahun terakhir saja, dari jutaan ilmuwan ternama, ada sekitar 30 ribu yang beremigrasi ke Israel.
Sementara puluhan ribu lainnya pergi ke Amerika dan Eropa untuk mencari nafkah. Sebuah perkiraan menyebut, Rusia kini hanya ditinggali sekitar 200 ribu saintis yang masih setia menyelesikan pekerjaan yang masih tersisa. Yang jelas, menurut Arthur Fisher (kolomnis Popular Science), separuh dari 100 saintis utamanya kini mendapat pekerjaan tetap di luar Rusia.

Perubahan garis politik yang terjadi pada pertengahan tahun 1992 telah membawa perubahan dramatis dalam kegiatan sosial ekonomi yang ditandai mengentalnya arus demiliterisasi serta turunnya anggaran iptek. Total belanja iptek turun dari 6 persen GNP 1991 menjadi 3 persen GNP pada tahun 1993.
Padahal, nilai GNP nyaris tidak pernah naik sejak 1991. Dana riset murni, pada kurun 1991-1992 bahkan turun hingga 80 persen. Menyusutnya anggaran iptek (dan militer) ini jelas membawa beban baru bagi lembaga-lembaga ilmiah untuk tetap menjalankan misinya.
Dengan anggaran iptek sekitar 800 juta dolar AS (pada 1993 dan 1994) --bandingkan dengan AS yang pada 1994 memiliki anggaran iptek 68 miliar dolar AS, termasuk 36 miliar dolar AS di bidang pertahanan-- banyak lembaga riset di Rusia bahkan kesulitan membayar ongkos listrik.
Ini seiring dengan adanya krisis listrik yang menyebabkan naiknya tarif listrik hingga 13 kali lebih mahal dari nilai 1993. Karena mahalnya listrik, Lembaga Fisika Energi Tinggi di Protvino, dalam setiap catur wulan hanya sanggup menghidupkan akselerator riset sekitar dua-tiga minggu.
Pada Maret lalu, Boris Saltykov, Menristek Rusia, mengumumkan sekitar 50 lembaga hanya mampu membayar separo harga listrik. Sementara 270 lembaga lain bahkan tidak mampu membayarnya sama sekali.
"Seretnya dana ristek akan membawa suramnya masa depan pengembangan iptek di Rusia," ucap Prof Dr Roald Sagdeev, fisikawan plasma yang pernah menjadi Direktur Lembaga Riset Antariksa (SRI) Moskow selama 15 tahun. Sagdeev kini mengajar di Universitas Maryland.
Menurutnya, misi antariksa yang diluncurkan Rusia dari tahun ke tahun merupakan satu tandanya. Tahun-tahun lalu Rusia pernah meluncurkan 150 misi antariksa per tahun dengan biaya yang lebih murah, teknologi lebih efisien, dan waktu lebih cepat. Saterunya, Amerika Serikat, hanya 100 peluncuran per tahun. Kini, Rusia hanya meluncurkan sepertiga dari jumlah masa kejayaannya.

Lalu, apa yang bisa diperbuat Rusia kini? "Tujuan kami yang pertama sekarang adalah mencegah hilangnya potensi ilmiah yang pernah kami miliki. Khususnya kemampuan dalam penguasaan ilmu dasar. Upaya ini tidak hanya demi kepentingan Rusia, tapi juga kepentingan umat manusia di seluruh dunia," ujar Saltykov.
Jalan keluarnya adalah menjalin kerja sama riset internasional, penjualan fasilitas riset dan "otak" para peneliti ke bangsa-bangsa yang punya uang. "Sedapat mungkin kami akan terus melanjutkan riset, meski dengan gaji yang sangat minim."
Ia menjelaskan, sejumlah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia kini sudah terbiasa hidup dengan honor 6 dolar AS per bulan. Di Lembaga Biofisika Teori (ITB) di Pushchino --yang terletak sekitar 60 mil dari Moskow dan pernah beberapa kali mempersembahkan hadiah Nobel-- para saintis kimia dan ilmu kehidupan kini dibayar upah 10 dolar AS per bulan. Itu pun ada kalanya dibayar dengan butiran kentang.
Frank Starmer, saintis di Universitas Duke, mengatakan lembaganya harus tetap jalan dengan dana sekitar 20 ribu dolar AS setahun. Ini termasuk biaya hidup tiga investigator senior, enam doktor, dan sejumlah asisten penelitinya.
Honor 13- 40 dolar AS sebulan juga berlaku untuk Lembaga Kimia Organik di Moskow, serta sejulah lembaga lain di Akademgorodok, Arzamas, Chelyabinsk dan kota riset lainnya. Nasib malang juga menimpa para eksodus peneliti Rusia yang terdampar di AS. Di lembaga ternama macam General Atomics San Diego di California, 116 saintis Rusia digaji 90 ribu dolar AS setahun. Artinya, dalam setiap bulan, mereka harus puas dengan bayaran sekitar 65 dolar AS per peneliti.
Akibat minusnya pendapatan sebagai peneliti di dalam maupun luar negeri, maka tak sedikit peneliti Rusia yang beralih profesi. Mereka mencari penghidupan lain yang lebih menjanjikan.
Ada yang menjadi progammer komputer atau perancang mesin tekstil. "Hampir separuh dari peneliti meninggalkan tempat kerja lamanya," kata Boris Babian, direktur satu lembaga riset. Beberapa bahkan menjadi supir angkutan umum dan "pedagang" minuman.

Yuri Tamburenko, dulu desainer pesawat, kini hanya bekerja part-time di Pusat Riset Antariksa (SRI) Moskow. Selebihnya, Tamburenko sengaja bekerja untuk Loral Sapece System di AS.
Contoh lain Vladimir Vlasenkov. Setelah belasan tahun bergelut di pusat riset fusi nuklir Kusrchatov Institute Moskow, kini menjadi sekretaris di ITER (Interntional Thermonuclear Experimental Reactor) -- suatu konsorsium internasional untuk riset fusi nuklir. Di luar itu, dia juga tak pernah sungkan menjadi distributor buku seri Time-Life yang terbit di AS.
"Membekunya aroma ristek di Rusia, cepat atau lambat, akan menguburkan negara ini dari percaturan iptek dunia," tulis Arthur Fisher dalam Popular Science.
Di lain pihak, banyaknya ahli nuklir yang menganggur telah menimbulkan kekhawatiran baru adanya ekspor senjata nuklir dan kepakaran serta bahan-bahan bom untuk kepentingan teroris dan radikalisme.
Bila sampai tradisi iptek itu mati, yang rugi tak hanya orang Rusia atau masyarakat di sekitar mantan wilayah Soviet. Tapi juga Amerika dan Eropa serta sumber-sumber peradaban dunia lainnya. "Peradaban akan menjadi lebih miskin tanpa ilmu Rusia," kata Nobelis Leon Lederman, mantan Direktur Fermilab yang sangat tekenal di AS itu.
Ia berani menyatakan bahwa sebagian penemuan dasar dalam ilmu antariksa, biologi, fisika partikel, dan matematika modern banyak berasal dari ide simulasi dan petualangan para intelektual Rusia. Mereka telah mengilhami sejumlah gagasan besar masyarakat ilmiah global. Khususnya bidang fisika energi tinggi, kimia, biologi, kedokteran, dan antariksa.
Tokamak yang menjadi kandidat model PLTN fusi di AS sesungguhnya berasal dari Rusia. Demikain pula iptek dasar pembangkitan Laser dan Sinar X berasal dari keperintisan para ilmuwan Rusia dalam mengembangkan Siberian Snake --peralatan yang digunakan dalam fisika energi tinggi untuk meningkatkan radiasi sinkroton, digunakan untik komponen perangkat sinar X.
Untuk itulah, Lederman sangat mendukung upaya-upaya internasional untuk membantu menghidupkan kembali tradisi yang nyaris terkubur bersama runtuhnya Uni Soviet serta krisis ekonomi yang terus melanda Rusia. Jagoan fisika partikel AS ini mengaku sangat senang ketika para saintis Rusia akhirnya menanggapi positif setiap ajakan kerja sama riset dari negara-negara lain.
Begitulah, meski dengan gaji seadanya, sejumlah ilmuwan Rusia kini tampak aktif kembali menangani riset tentang laser, serat optik, oseanografi, fusi nuklir dan teknologi kelautan. Sedikitnya 12 Lembaga Riset Fisika Plasma di Rusia secara khusus telah dikontrak menjadi abdi utama Proyek Superconducting Super Collider (SSC) senilai 11 miliar dolar AS di AS yang antara lain dimotori Dr Lederman.
Disadur dari Harian Republika edisi 04 September 1994
Kala Perang Jawa Bikin Bangkrut Belanda
Perang Jawa menjadi pelajaran penting bagi pemerintah kolonial Belanda untuk menghadapi pihak keraton dan rakyat Nusantara.
SELENGKAPNYATak Terima Alquran Diinjak, Opu Daeng Risadju Lawan NICA
Risadju berasal dari keluarga bangsawan Luwu di Sulawesi Selatan.
SELENGKAPNYA