Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jatim Menggugat (AMJM) berunjuk rasa menolak RUU Sisdiknas, di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya. | ANTARA FOTO

Tajuk

RUU Sisdiknas di Tengah Penolakan dan Ketidakpuasan

Salah satunya dengan kembali menjaring aspirasi RUU Sisdiknas.

Membaca tulisan Anggi Afriansyah menyoroti realitas dunia pendidikan Indonesia yang terbit di halaman opini koran ini, Senin (29/8), amat menarik. Anggi, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset Nasional (BRIN), menulis tentang rumitnya praktik pendidikan yang harus dihadapi semua pihak.

Bukan hanya bagi siswa dan orang tua, melainkan juga guru dan pemerintah. Meramu kebijakan pendidikan yang tepat, di negara yang beragam ini, menurut dia, penuh tantangan. Ada problem di tingkat pusat, ada pula problem pengajaran di tingkal lokal.

Anggi membuka tulisannya dengan hal yang sangat dekat dengan dirinya. "Ibu saya guru sekolah dasar dan sudah puluhan tahun mengajar di kelas satu." Ia seolah menyatakan, rumitnya praktik pendidikan di negeri ini justru adalah persoalan yang dekat dengan kita semua. Bukan permasalahan elitis sebuah kementerian atau rezim pemerintahan.

Ada beberapa faktor yang ia ajukan. Yang pertama sekali, ia tegaskan adalah mendidik itu tidak mudah, karena yang dihadapi adalah manusia dengan beragam persoalan. Lalu kedua, ada faktor ekonomi yang memengaruhi efektivitas pendidikan. Ketiga adalah bagaimana membangun karakter anak didik sesuai tumbuh kembang juga lingkungan sosialnya.

 
Situasi Covid-19 dua tahun terakhir menambah rumit tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah sudah memberi sinyal tengah terjadi learning loss dunia pendidikan. 
 
 

Anggi menutup tulisannya dengan dua pernyataan reflektif. Pertama, ia katakan, "Praktik pendidikan tidak pernah hampa dari ruang sosial, ekonomi, ataupun politik." Kedua, ia tegaskan, "Meski praktik pendidikan serbarumit, guru tidak boleh kalah dengan kerumitan yang mengadang."

Tulisan Anggi muncul tepat di tengah polemik panas RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pemerintah, pekan lalu, lewat Menkumham Yasonna Laoly, menyisipkan RUU Sisdiknas ke dalam Program Legislasi Nasional di Badan Legislasi DPR. Bila diketok setuju, pembahasan RUU Sisdiknas akan dicoba dituntaskan di sisa waktu 2022.

Situasi Covid-19 dua tahun terakhir menambah rumit tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah sudah memberi sinyal tengah terjadi learning loss dunia pendidikan. Ada satu generasi yang akan terpengaruh kualitas pendidikannya akibat Covid-19. Ini harus segera disiasati dengan taktis lewat beleid kurikulum dan teknis di lapangan oleh sekolah dan guru-guru.

Sejak awal tahun, Kemendikbudristek menggelar sosialisasi ke berbagai pihak terkait RUU Sisdiknas. Nuansa yang ingin dicitrakan Kemendikbudristek adalah mendengar seluruh pihak. Bukan hanya guru negeri, guru swasta, honorer, pengelola sekolah, praktisi pendidikan, melainkan juga organisasi masyarakat, seperti PBNU dan PP Muhammadiyah yang memiliki banyak institusi dan sumber daya pendidikan.

Harapannya, draf milik pemerintah bisa sinkron dan harmonis dengan masukan masukan berbagai pihak. Kita menginginkan kementerian terbuka akan kritikan dan masukan dari semua kalangan. Membuka telinga lebar-lebar dan bersikap legawa.

 
Dari penolakan ini, publik melihat rupanya ada ketidakpuasan atas Kemendikbudristek dalam tujuh bulan terakhir.
 
 

Namun, realitasnya dalam sepekan terakhir pers justru mencium penolakan dari berbagai elemen pendidikan. Suara mereka nyaris senada. Mereka justru tidak ingin RUU Sisdiknas masuk ke Baleg dan Prolegnas. Ada penolakan masif. Mereka mendesak agar fraksi-fraksi di DPR menolak usulan pemerintah ini. Alasan utamanya: RUU Sisdiknas sejatinya masih harus dibahas dengan berbagai pihak lagi.

Dari penolakan ini, publik melihat rupanya ada ketidakpuasan atas Kemendikbudristek dalam tujuh bulan terakhir. Kita tadinya menduga, pemerintah akan lancar menjaring aspirasi. Namun, penolakan kemarin justru membuktikan ada komunikasi yang mampat.

Ada yang merasa kurang didengar aspirasinya. Ada yang merasa sudah cukup mendengarkan. Ini diperparah dengan temuan kawan-kawan guru honorer bahwa aturan soal tunjangan guru menghilang di draf terkini RUU Sisdiknas.

Kita mendesak Presiden Joko Widodo, Mendikbudristek Nadiem Makarim, dan kementeriannya untuk memperbaiki situasi ini. Segera, secepatnya. Salah satunya dengan kembali menjaring aspirasi RUU Sisdiknas.

Bila tidak segera ditanggapi, ini berpotensi menjurus pada ketidakpercayaan atas iktikad Kemendikbudristek dan RUU Sisdiknas. Ini akan menambah kerumitan dunia pendidikan kita. Padahal, ada situasi mendesak yang harus segera dicarikan jalan keluarnya: generasi yang learning loss.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Duduk Perkara Subsidi (Termasuk Kompensasi) BBM

Meskipun (dana) kompensasi diterima oleh Pertamina dan PLN, tapi penerima manfaat akhir tetap masyarakat. Masyarakat, pada akhirnya, dapat membeli BBM dan listrik pada harga di bawah keekonomiannya.

SELENGKAPNYA

Haul Zakat Menggunakan Kalender Masehi

Apakah menghitung haul zakat harus menggunakan kalender hijriyah?

SELENGKAPNYA

Daerah Belum Terima Arahan BLT Terdampak BBM

Anggaran subsidi energi setara dengan pembangunan 227.886 SD.

SELENGKAPNYA