
Nostalgia
Tugu Peringatan Pergerakan Nasional yang Ditolak Belanda
Tugu batu yang dibangun di Solo pada 1934 hanyalah monumen 25 tahun pergerakan nasional.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Jika Indonesia Merdeka adalah cita-cita dari pergerakan nasional, Proklamasi Kemerdekaan merupakan buah dari cita-cita itu. Lalu, tugu batu yang dibangun di Solo pada 1934 hanyalah monumen 25 tahun pergerakan nasional, dihitung sejak 1908, bukan monumen kemerdekaan.
Namun, pembangunan monumen itu menghadapi kendala. “Jika siapa berani meneruskan pertukangan Peringatan Pergerakan Nasional itu, akan dihukum,” kata pejabat kolonial penyampai perintah itu.
Pengurus Budi Utomo menerima perintah itu dari Residen Solo atas nama pemerintah. Jika tetap bersikeras melanjutkan pembangunan tugu, akan diajukan ke muka pengadilan. Padahal, pembangunan tugu itu sudah memasuki tahap akhir, tinggal memasang tegel undak-undakan, tulisan, dan pelatarannya.
Bintang Timoer edisi 21 Desember 1934 menulis judul berita utama “Patoeng Pergerakan Nasional Indonesia” di bawahnya ada dua subjudul, “Di Solo, tahoen 1934 'tra boleh'!" dan “Di Padang, tahoen 1924 'boleh sattja'!"
Berita itu dibuka dengan mengutip buku yang ditulis Parada Harahap, hasil kunjungan ke Sumatra dan Malaka. Parada tak lupa mampir ke tugu peringatan Kongres Jong Sumatranenbond (JSB) di Padang.
Di Padang sudah ada tiga tugu peringatan. Ada tugu peringatan Jenderal Majelis yang mengingatkan adanya kekuasan asing.
Disebutkan, di Padang sudah ada tiga tugu peringatan. Ada tugu peringatan Jenderal Majelis yang mengingatkan adanya kekuasan asing. Ada pula tugu peringatan Sarekat Adat Alam Minangkabau, yaitu tugu untuk merayakan 100 tahun Kota Padang di bawah pemerintahan Belanda kembali ke tangan Inggris. Lalu, tugu peringatan Kongres Jong Sumatranenbond itu.
Parada mengaku berdiri lama di tugu peringatan Kongres Jong Sumatranenbond itu, membayangkan para pemuda berdiri tegak mengatakan cita-cita persatuan Sumatra. Bentuk tugu itu seperti batu menhir, dibuat lancip di atas, lalu di ujungnya ada batu bulat. Tugu ini ia sebut memiliki arti yang berbeda dengan tugu lainnya, bukan karena keindahannya, melainkan karena kepentingan arti di dalam hikayat Sumatra.
Parada mengutip pidato dokter Amir: ... Sumatra ertinja persatoean kemerdekaan peradaban, pantang kalah, tahan oedji, koeat tenaga, pengharapan jang tiada poetoes, soeara yang tiada berhenti! “Itulah sebabnya saya katakan batu peringatan JSB itu besar artinya dalam hikayat Sumatra di masa datang. Seolah-olah batu itu pandai ‘berkata’...,” tulis Parada. Provinsialisme masih kental saat itu.
Sehari sebelumnya, 20 Desember 1934, Bintang Timoer menulis berita utama mengenai tugu yang dibangun di Solo itu dengan judul “Itoe, Nationaal Gedenkteeken di Solo dilarang!” dengan subjudul “Apa ‘Nasionale’ Fractie di Volksraad Masih ‘Merasa Betah’ di Pedjambon?”. Tulisan ini menyesalkan tindakan pemerintah kolonial yang menghentikan pembangunan tugu peringatan pergerakan nasional.
“Pergerakan kebangsaan Indonesia dengan berdirikan Tugu Nasional itu tidak memperingatkan hari kemerdekaannya ini negeri. Pergerakan kebangsaan Indonesia, dengan berdirikan Tugu Nasional itu, tidak memperingatkan satu pemberontakan atau revolusi melawan kekuasaan Belanda atau ini negeri. Pergerakan kebangsaan Indonesia dengan berdirikan Tugu Nasional itu, tidak memperingatkan satu pahlawan kebangsaan, satu nationale held, yang sudah jatuh dalam salah satu peperangan untuk merebut kemerdekaannya Indonesia,” tulis Bintang Timoer.
Tugu itu hanyalah monumen untuk kesempatan 25 tahun bangsa Indonesia memperbaiki keadaan agar tidak terlalu bergantung pada bangsa lain.
Tugu itu hanyalah monumen untuk kesempatan 25 tahun bangsa Indonesia memperbaiki keadaan agar tidak terlalu bergantung pada bangsa lain.
Setahun sebelumnya, yaitu Desember 1933, pemerintah kolonial juga melarang pelaksanaan Kongres Indonesia Raya. Tempat kongres itu juga di Solo. Indonesia Raya adalah perkumpulan pergerakan kooperasi. Ada yang menyebut 95 persen anggotanya memilih jalur kooperasi. Hanya lima persen yang memilih jalur nonkooperasi.
Saat itu, para peserta Kongres Indonesia Raya sudah berkumpul di Solo. Para wartawan yang akan meliput juga sudah berkumpul di Solo. Para wartawan tak menyia-nyiakan kesempataan itu untuk tidak langsung pulang, untuk berembuk membentuk perkumpulan, yang kemudian dinamakan Persatoean Djoernalis Indonesia (Perdi).
Ketika Perdi mengadakan kongres pada 1934, pelaksanaannya juga dibarengi dengan masa peliputan Kongres PSSI. Di kongres inilah, Soedarjo Tjokwosisworo memperkenalkan kata baru “saudari” untuk menemani kata ”saudara” yang sudah ada terlebih dulu.
Di kongres inilah, Soedarjo Tjokwosisworo memperkenalkan kata baru “saudari” untuk menemani kata ”saudara” yang sudah ada terlebih dulu.
Di awal dekade 1930-an, tindakan represif dari pemerintah kolonial memang terlihat nyata. Selain melakukan penangkapan kepada tokoh-tokoh pergerakan nonkooperasi, pemerintah kolonial juga melarang perkumpulan mengadakan pertemuan.
Tetapi, melarang pembangunan tugu yang dibuat oleh Budi Utomo, yang 100 persen memilih jalur kooperasi, layakkah? “Kita tidak habis-habisnya buat memikirkan hal ini. Hendak ke manakah langkah yang berwajib dengan sikap yang demikian?” tanya Swastika, seseorang yang menggugat diamnya Volksraad atas kasus ini.
Gara-gara penghentian pembangunan tugu pergerakan nasional itu, keberadaan anggota Volksraad dari bangsa Indonesia yang berkantor di Pejambon juga dipertanyakan ketika mereka tidak bersuara. Mereka yang menjadi anggota Volksraad, perkumpulan yang mengirimkan wakilnya ke Volksraad disebut menjalanan politik jalur kooperasi.
Budi Utomo yang membangun tugu itu juga memilih jalur kooperasi. “Sudah beberapa kali kita nyatakan bahwa perwakilan kita di Pejambon itu sangat sedikit hasilnya,” tulis Swastika.
Jika pada dekade 1910-an, kalangan pergerakan nasional baru meneriakkan “pemerintahan sendiri”, pada dekade 1920-an, teriakannya sudah berubah menjadi “pemerintahan sendiri menuju Indonesia merdeka”. Berkeinginan memiliki pemerintahan sendiri, Sarekat Islam menjadi perkumpulan terdepan yang meneriakkannya di dekade 1910-an, ketika Budi Utomo masih sibuk dengan program pendidikannya.
Pada masa ini, Sarekat Islam mencapai masa puncak-puncaknya, dengan anggota mencapai sekitar 2,5 juta orang tersebar di sejumlah wilayah di berbagai pulau di Indonesia. Sedangkan Budi Utomo, hingga berfusi dalam Parindra pada 1935, anggotanya hanya sekitar 10 ribuan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Habib Abubakar bin Ali Shahab, Sang Pejuang Pendidikan
Pada masa kolonial, tokoh nasional keturunan Arab itu aktif mewujudkan perbaikan di dunia pendidikan Islam.
SELENGKAPNYAMasjid Baiturrahim, Jejak Sejarah di Ulee Lheue
Inilah salah satu masjid yang selamat dari terjangan Tsunami Aceh 2004.
SELENGKAPNYAPajak Rambut dan Judi Tempo Dulu
Berbagai pajak dan pungutan itu 'ditarik' oleh para kapiten Cina yang mengurus mereka laksana raja-raja Mandarin.
SELENGKAPNYA