Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Pajak Rambut dan Judi Tempo Dulu

Berbagai pajak dan pungutan itu 'ditarik' oleh para kapiten Cina yang mengurus mereka laksana raja-raja Mandarin.

OLEH ALWI SHAHAB

Lukisan pelukis Belanda, A van Pers berjudul 'Orang Cina di Batavia Tengah Main Kartu'. Mereka tengah bermain ceki judi tempo doeloe yang kartunya berwarna kuning dengan tulisan Cina ditengahnya.

Kartu ceki sedikit lebih ramping katimbang kartu domino, kini hanya tinggal jadi permainan para babah dan encim, yakni orang Tionghoa yang telah berusia lanjut. Berjudi dengan kartu ceki bukan hanya pernah dikenal secara luas di Indonesia, tapi juga kalangan Tionghoa di Singapura dan Malaysia.

Ketika itu, rambut orang Tionghoa dikuncir yang disebut tocang seperti terlihat dalam gambar. Kuncir atawa kocang yang amat dibenci itu, dipaksakan pada mereka oleh penjajah Manchu, yang dianggap sebagai penghinaan besar. Ketika para perantau dari Cina datang ke Indonesia, mereka ingin mencukur kuncir sebagai tanda kekuasaan Manchu yang pada 1644 menduduki daratan Cina.

Tapi mereka, terutama kelompok muda, kecewa, karena pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk mempertahankan dekrit dinasti Manchu. Karena Belanda menarik keuntungan besar dengan memberlakukan 'pajak jalinan rambut panjang' pada mereka. Bukan hanya itu, mereka juga diharuskan memakai pakaian tradisionalnya, seperti di negara mereka.

 
Berbagai pajak dan pungutan itu 'ditarik' oleh para kapiten Cina yang mengurus mereka laksana raja-raja Mandarin.
 
 

Sejak umur 10 tahun, anak lelaki Tionghoa memelihara tocang, yakni rambut di bagian belakang dibiarkan tumbuh, sedang rambut bagian atas dahi dicukur licin sampai puncak kepala. Pencukuran dilakukan tiap minggu. Sampai tahun 1911, tocang sudah tidak umum lagi, setelah diwajibkan lebih dari dua setengah abad. Di samping pajak rambut, pihak kolonial pada masa VOC juga mengenakan pajak kuku panjang menandai orang kaya yang santai, pajak judi dan pejak tempat pelacuran (soehian).

Berbagai pajak dan pungutan itu 'ditarik' oleh para kapiten Cina yang mengurus mereka laksana raja-raja Mandarin. Willard A Hanna dalam 'Hikyat Jakarta' menyebutkan, warga Tionghoa dengan patuh membayar pajak-pajak itu, yang berterima kasih atas kesempatan mereka mengumpulkan kekayaan.

Orang Belanda, tulis Hanna, terheran-heran karena sifat keberanian mereka dalam berjudi, ketagihan akan arak, serta kelebihan dan perbuatan tak wajar dalam urusan seks. Tapi mereka mengagumi kelebihan etnis ini dalam mengumpulkan harta.

Berjudi yang merupakan budaya Cina ini, rupanya dimanfaatkan Ali Sadikin ketika jadi gubernur DKI Jakarta. Sambil menegaskan hanya diperbolehkan untuk orang Tionghoa, Bang Ali membuka berbagai lokalisasi perjudian di Ibu Kota. Dana dari hasil judi itu digunakan untuk membangun jalan, sekolah, puskesmas dan berbagai fasilitas lainnya.

 
Orang Belanda, tulis Hanna, terheran-heran karena sifat keberanian mereka dalam berjudi.
 
 

Terhadap mereka yang tidak setuju, dengan nada sedikit humor ia berkata: "Bapak-bapak kalau masih mau tinggal di Jakarta, sebaiknya beli helikopter. Karena jalan-jalan di Jakarta dibangun dengan pajak judi." (Bang Ali: "Demi Jakarta 1966-1977).

Di antara tempat perjudian terkenal kala itu dibelakang bioskop Jakarta Theater di Jl Thamrin dan Ancol. Bandar judi terkenal kala itu bernama A Piang Jinggo. Soalnya rokok kretek Jinggo merupakan isapannya. Tidak terhitung banyaknya orang yang kaya raya menjadi melarat karena judi.

Lebih-lebih ketika dibukanya hwa-hwee, yang pecandunya sampai ke kampung-kampung, jauh lebih hebat dari judi buntut sekarang. Karuan saja mendapat reaksi keras dari berbagai ormas Islam, termasuk para alim ulama. Judi, merupakan salah satu program utama Kapolri Sutanto untuk memberantasnya, sekalipun banyak aparat negara sendiri yang menjadi decking-nya.

Drg Oei Hong Kiam, dokter gigi Soekarno, dalam bukunya menyebutkan: "Banyak wanita Tionghoa yang senang berjudi. Mereka membentuk kelompok judi. Seorang istri, seperti dituturkannya, "setiap hari berjudi hingga larut malam. Ketika suaminya yang terlantar ia malah memberi hadiah seorang gundik, supaya bisa menyalurkan hobinya tanpa gangguan."

Di lokalisasi judi pada masa Ali Sadikin, tidak sedikit para ibu berjudi. Bukan hanya encim-encim, tapi para ibu pribumi. Karenanya, upaya untuk menghidupkan kembali perjudian, meskipun dengan nama lain, selalu mendapat tantangan.

Disadur dari Harian Republika edisi 18 Februari 2006. Alwi Shahab merupakan wartawan Republika sepanjang zaman yang wafat pada 2020.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Derita tak Menggoyah Ki Hajar Dewantara

Begitulah Ki Hajar. Dalam keadaan serba kekurangan di pengasingan, ia tetap dapat bersikap mandiri.

SELENGKAPNYA

Tuanku Imam Bonjol, Pejuang dan Pembaru Islam

Ia juga dikenal sebagai pencetus lahirnya falsafah hidup orang Minang.

SELENGKAPNYA

Sambo, Polri, dan Proklamasi

Drama polisi ini menjadi menarik karena melibatkan Irjen Ferdy Sambo.

SELENGKAPNYA