Hikmah
Baik Terhadap Tetangga
Perlakuan baik kita terhadap tetangga akan menghilangkan perasaan iri, dengki, dan niat-niat jahat.
Oleh NUR FARIDAH
OLEH NUR FARIDAH
Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Selain keluarga, orang yang paling dekat adalah tetangga. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari yang merupakan syarah dari kitab Shahih al-Bukhari, menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai batasan tetangga.
Ada yang berpendapat 40 rumah dari setiap sisi, ada yang berpendapat 40 rumah di sekitar kita. Ada pula yang berpendapat 10 rumah dari setiap sisi.
Dalam hidup bertetangga, Nabi SAW memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga dan tidak berbuat jahat kepada tetangga. Beliau bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berbuat baiklah kepada tetangganya” (HR Ibnu Majah).
Dalam hadis lain, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya” (HR al-Bukhari).
Syekh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab Taisir al-Karim ar-Rahman menjelaskan, tetangga yang lebih dekat tempatnya maka lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungan dengan tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab agar mendapatkan hidayah, dengan bersedekah, berdakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan, serta tidak mengganggu mereka, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Berbuat baik kepada tetangga, seperti diperintahkan Nabi, misalnya dengan memberikan makanan hingga tak ada satu pun tetangga yang kelaparan sepanjang malam sementara kita kekenyangan hingga pagi.
Beliau mengatakan, “Bukan mukmin orang yang kenyang perutnya sedangkan tetangga di sebelahnya kelaparan” (HR al-Baihaqi). Dalam hadis lain, beliau bersabda, “Jika engkau memasak sayur, perbanyaklah kuahnya. Lalu, lihatlah keluarga tetanggamu, berikanlah sebagiannya kepada mereka dengan cara yang baik” (HR Muslim).
Hal sebaliknya, Nabi SAW sangat mengecam orang yang berbuat jahat kepada tetangganya atau membuat tetangganya terganggu karena keburukannya. Beliau bersabda, “Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman.” Sahabat bertanya, “Siapa itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya).”(HR al-Bukhari dan Muslim).
Syekh Ibnu Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadh ash-Shalihin menjelaskan, bawa’iq maksudnya adalah bersikap culas, khianat, zalim, dan jahat. Siapa saja yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga direalisasikan dalam perbuatan maka lebih parah lagi.
Karena itu, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala macam bentuk. Jika seseorang melakukannya maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak memiliki sifat sebagaimana mukmin.
Keharmonisan sosial dalam skala besar bisa dimulai dari skala kecil, yakni relasi antartetangga yang baik, dilandasi rasa cinta dan kasih sayang, serta saling menghormati dan menghargai. Perlakuan baik kita terhadap tetangga akan menghilangkan perasaan iri, dengki, dan niat-niat jahat.
Hal itu sekaligus akan mengukuhkan rasa empati kita terhadap tetangga, terutama yang kurang mampu, sehingga kita tergerak untuk membantu.
Wallahu a'lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Adab Sebagai Notaris
Apa tuntutan dan adab sebagai notaris dalam transaksi sehari-hari?
SELENGKAPNYASubsidi Haji Dinilai Terlalu Besar
Wapres menilai, orang yang berhaji harus mampu dalam aspek finansial.
SELENGKAPNYAPresiden: Apakah Terus-menerus APBN Kuat?
Daripada menaikkan harga BBM, pemerintah disarankan untuk memperketat pengawasan terhadap BBM subsidi seperti solar.
SELENGKAPNYA