Sejumlah ruk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Harga jual Tanda Buah S | ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.

Dialektika

Jatuh Sawit Petani Rakyat

Dalam kisruh tingginya harga minyak goreng inilah terjadi tragedi: jatuhnya harga sawit petani rakyat.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; MELI TRIANA DEVI, Peneliti IDEAS; NAURA SITI ALIFAH, Peneliti IDEAS; TIRA MUTIARA, Peneliti IDEAS

 

Kisruh mahalnya minyak goreng yang kenaikan harganya mulai terlihat sejak April 2021, hingga kini masih belum berakhir. Pada awal 2021, harga rata-rata di pasar tradisional di kisaran Rp 13 ribu per liter dan di pasar modern Rp 15 ribu per liter.

Sejak April 2021, angka ini mulai meningkat hingga di kisaran Rp 14 ribu dan Rp 16 ribu per liter pada Oktober 2021. Harga minyak goreng kemudian terus melambung hingga kebijakan satu harga pada 19 Januari 2022, mendekati kisaran Rp 18 ribu dan 19 ribu per liter.

Pasca kebijakan harga eceran tertinggi (HET), harga minyak goreng secara resmi turun, terutama di pasar modern hingga kisaran Rp 14 ribu per liter. Namun ketersediaan minyak goreng di pasaran menurun drastis, bahkan menghilang.

photo
Warga membeli minyak goreng Minyakita di Pom Migo di Jalan Kolonel Masturi, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Senin (8/8/2022). Inovasi penjualan minyak goreng menggunakan konsep pengisian otomatis mesin (POM) tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat membeli minyak goreng sesuai dengan kebutuhan. Minyak goreng tersebut dijual dengan harga Rp 12.500 per liter. Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Antrean panjang masyarakat untuk mendapatkan minyak goreng menjadi pemandangan umum hingga akhirnya pemerintah mencabut kebijakan HET untuk minyak goreng kemasan pada 16 Maret 2022. Ketersediaan minyak goreng segera pulih, tapi dengan harga melambung tinggi hingga menyentuh Rp 22 ribu per liter.

Pemerintah kemudian mengambil langkah drastis dengan melarang ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya mulai 28 April 2022. Pemerintah kemudian mencabut larangan ekspor ini pada 23 Mei 2022 meski harga masih tinggi terutama di pasar modern.   

Dalam kisruh tingginya harga minyak goreng inilah terjadi tragedi: jatuhnya harga sawit petani rakyat. Sebelum larangan ekspor CPO, tren harga tandan buah segar (TBS) sawit meningkat dan mencapai harga terbaiknya pada Maret 2022 menembus kisaran Rp 4.000 per kg, selaras dengan harga CPO internasional yang mencapai puncak di kisaran 1.800 dolar AS per ton.

Pasca larangan ekspor CPO pada 28 April 2022, harga TBS langsung mengalami kejatuhan. Setelah pencabutan larangan ekspor CPO pada 23 Mei 2022, kejatuhan harga TBS tidak berakhir. Ekspor CPO tidak dapat dipulihkan dengan cepat. Di saat yang sama, harga CPO internasional mengalami penurunan, dengan titik kejatuhan terdalam di kisaran 1.000 dolar AS per ton pada Juli 2022.

photo
Jatuh Sawit Rakyat di Kisruh Minyak Goreng. Data diolah IDEAS - (IDEAS/Dialektika Republika)

  

Kombinasi dari lambannya pemulihan ekspor dan jatuhnya harga CPO internasional membuat harga TBS di tingkat petani terus tertekan. Di Sumatra Utara, misalnya, harga referensi pembelian TBS 6-12 Juli 2022 anjlok hingga di kisaran Rp 1.500 per kg, setelah harga referensi pada 9-15 Maret 2022 sempat menyentuh kisaran Rp 4.000 per kg.

Di tingkat petani, kejatuhan harga terjadi jauh lebih parah dari harga referensi. Di banyak daerah, harga TBS dilaporkan berada di bawah Rp 1.000 per kg, bahkan di beberapa daerah mencapai titik nadir di bawah Rp 500 per kg pada akhir Juni 2022, nyaris tidak bernilai.

Seiring kejatuhan harga TBS yang sangat luar biasa, pungutan ekspor CPO dihapuskan pada 15 Juli 2022 dan kebijakan flush out, pungutan bagi eksportir CPO yang tidak mengikuti kewajiban DMO (domestic market obligation), dihentikan pada 31 Juli 2022.

Sejak itu, harga TBS mulai pulih meski lamban dan belum kembali ke tingkat normal. Namun harga TBS masih berpotensi kembali anjlok seiring masih lemahnya harga CPO internasional dan batas akhir dihapuskannya pungutan ekspor CPO pada 31 Agustus 2022.

Lemah Petani Sawit Rakyat

Pada 2021, dari lebih 15 juta hektare lahan sawit, diperkirakan 6,1 juta hektare di antaranya adalah perkebunan rakyat yang dikelola oleh 2,6 juta orang petani rakyat. Sentra perkebunan sawit rakyat, dengan luas lahan terbesar dan jumlah petani rakyat terbanyak, didominasi oleh Riau, yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Indragiri Hilir.

Petani sawit rakyat secara umum dicirikan oleh skala usaha yang kecil, rata-rata di bawah 3 hektare, produktivitas lahan yang rendah, rata-rata di bawah 3 ton per hektare, serta kualitas tandan buah segar yang rendah, dengan tingkat ekstraksi kurang dari 20 persen. Karakteristik ini membuat petani sawit rakyat memiliki biaya operasional yang tidak efisien dan daya tawar yang rendah di pasar. 

Rantai pasok petani swadaya, petani sawit independen yang tidak berafiliasi dengan perkebunan besar, umumnya selalu melibatkan perantara, yaitu tengkulak dan pedagang perantara. Dengan jalur pemasaran lebih panjang hingga ke pabrik kelapa sawit, maka harga TBS di tingkat petani swadaya seringkali rendah dan di bawah harga referensi.

photo
Sebaran Lahan Perkebunan Sawit Rakyat 2019. Data diolah IDEAS - (IDEAS/Dialektika Republika)

Namun menjadi petani plasma, petani sawit yang berafiliasi dengan perkebunan besar, juga tidak menjadi jaminan harga jual TBS akan selalu di tingkat yang wajar. 

Pabrik kelapa sawit diperkirakan berjumlah 825 unit dengan jumlah terbanyak di Riau (183 unit), Sumatra Utara (144 unit), Kalimantan Tengah (87 unit), Kalimantan Timur (68 unit), Jambi (57 unit), Kalimantan Barat (56 unit), Sumatra Selatan (45 unit), dan Sumatra Barat (37 unit).

Dengan TBS sejak dipanen harus sudah tiba di pabrik pengolahan tidak lebih dari 24 jam, maka ketergantungan petani pada pabrik kelapa sawit adalah sangat tinggi. Terlebih ketika pabrik kelapa sawit memiliki pasokan TBS dari petani plasma dan perkebunan sawitnya sendiri.

Konglomerasi Sawit

Karakteristik industri minyak goreng yang sangat bergantung pada pasokan CPO sebagai input utamanya, membuat integrasi vertikal menjadi bentuk usaha yang efisien. Sebagian besar industri minyak di Indonesia memiliki karakteristik pola pengusahaan yang terintegrasi secara vertikal.

Integrasi vertikal di industri ini ditandai dengan pemain besar di hulu (perkebunan sawit) dan di hilir (industri minyak goreng). Pemilik perkebunan besar sawit juga adalah pemain besar minyak goreng. Kini, sejak 2015, konglomerasi sawit semakin melebar ke industri biodiesel.

 
Pemilik perkebunan besar sawit juga adalah pemain besar minyak goreng. Kini, sejak 2015, konglomerasi sawit semakin melebar ke industri biodiesel.
 
 

Kebijakan biodiesel lahir dari upaya menahan kejatuhan harga CPO akibat produksi yang berlebihan seiring ekspansi lahan perkebunan sawit yang masif sejak 2000-an. Luas area perkebunan kelapa sawit melonjak dari 4,1 juta hektare pada 2000 kini menembus 15 juta hektare.

Seiring ekspansi lahan sawit secara ekstensif, produksi CPO melonjak drastis dalam dua dekade terakhir, dari 7 juta ton pada 2000 menjadi kini di kisaran 45 juta ton.

Untuk menyerap kelebihan pasokan CPO ini maka diciptakanlah permintaan domestik yang signifikan, yaitu melalui program biodiesel berbasis CPO sebagai campuran 20 persen solar (B20), yang kemudian menjadi B30 dan ke depan direncanakan B40.

Namun karena terdapat selisih harga antara biaya produksi biodiesel yang tinggi dan harga jual solar yang lebih rendah, maka diberikan insentif biodiesel yang dananya diambil dari pungutan ekspor CPO. Namun pungutan ekspor CPO menekan harga TBS di tingkat petani, karena eksportir dan pabrik CPO memindahkan beban pungutan ekspor ke harga beli TBS yang lebih rendah. 

Banyak pihak menunjukkan berbagai permasalahan dalam pengelolaan industri kelapa sawit nasional yang didominasi oleh pelaku usaha besar ini. Selain merusak lingkungan karena membuka lahan dalam skala besar, sejumlah permasalahan utama industri sawit nasional berkaitan dengan perizinan perkebunan kelapa sawit yang tidak akuntabel, pengendalian pungutan ekspor komoditas sawit yang tidak efektif dan pemungutan pajak di sektor kelapa sawit yang tidak optimal. 

photo
Dana Sawit (Bukan) untuk Rakyat. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Pelaku besar sawit dalam usahanya seringkali menggerus institusi adat seiring pengambilalihan lahan adat dan masyarakat lokal untuk perkebunan besar. Dengan pembukaan lahan yang masif untuk perkebunan besar, kebutuhan generasi masa depan lokal untuk bertani dan berkebun dalam rangka pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak, seringkali tercerabut.

Hal ini sekaligus menjelaskan banyaknya petani sawit rakyat yang lahannya berada di kawasan hutan karena lahan-lahan non kawasan hutan telah dikuasai usaha besar melalui skema HGU (Hak Guna Usaha). Di sisi lain, lapangan pekerjaan yang diciptakan perkebunan besar bagi masyarakat lokal adalah terbatas dan dengan kualitas pekerjaan yang semakin menurun seiring dominasi pekerja kontrak dengan upah murah.

Pelaku usaha besar sawit kini semakin besar dengan merambah industri biodiesel. Dana pungutan ekspor yang merupakan windfall dari kenaikan harga CPO internasional, yang menggerus harga TBS di tingkat petani, justru digunakan untuk memberi subsidi biodiesel ke segelintir konglomerasi sawit.

Sepanjang 2015-2021, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana Rp 144,7 triliun. Dalam waktu yang sama, sekitar Rp 110 triliun mengalir untuk subsidi biodesel atau 92,4 persen dari total belanja Rp 119 triliun. Tugas utama BPDPKS untuk mengembangkan SDM dan meremajakan perkebunan rakyat hanya mendapat alokasi yang sangat kecil, nyaris terabaikan.

Membesarkan Sawit Rakyat

Petani sawit rakyat memiliki banyak tantangan untuk mengembangkan lahannya secara legal, berkelanjutan dan dengan produktivitas yang tinggi. Petani sawit kecil membutuhkan tanaman pertanian sampingan untuk menjamin keamanan pangan dan keberlanjutan rumah tangga mereka.

Jika berkebun sawit menjadi satu-satunya mata pencaharian, maka petani membutuhkan lahan minimal 6 hektar untuk mendapat penghasilan yang layak. Meski akar petani sawit rakyat adalah program transmigrasi di era 1980-an, namun umumnya mereka tidak memiliki bukti legalitas lahan. 

Untuk kesejahteraan petani sawit, dibutuhkan reformasi tata kelola sawit nasional, terutama reformasi BPDPKS. Sejak berdiri pada 2015, BPDPKS lebih banyak berfungsi sebagai pengelola dana untuk program biodiesel berbasis CPO saja dan gagal meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

Sebagai misal, antara 2015-2021, program peremajaan sawit rakyat oleh BPDPKS baru mencakup 243 ribu hektare dengan total anggaran Rp 6,59 triliun, sehingga bantuan pendanaan peremajaan hanya berkisar rata-rata Rp 27 juta per hektare.

Dari 6,72 juta hektar lahan sawit rakyat, sekitar 2,78 juta hektare membutuhkan peremajaan karena tanaman tua atau rusak. Dengan kata lain, program peremajaan sawit rakyat antara 2015-2021 hanya mampu mencapai 8,7 persen dari total kebutuhan.

photo
Membesarkan Sawit Rakyat. Data diolah IDEAS - (IDEAS/Dialektika Republika)

Reformasi sawit nasional terpenting adalah menjadikan BPDPKS sebagai garda terdepan pendanaan petani sawit rakyat sekaligus fasilitator legalisasi lahan sawit rakyat. Menyediakan pendanaan untuk peremajaan sawit rakyat adalah krusial karena minimnya kapasitas permodalan petani dan keengganan sektor perbankan formal untuk menyediakan kredit terkait tingginya risiko dan ketiadaan agunan.

Kebutuhan pendanaan peremajaan dari penebangan, penanaman bibit, dan perawatan hingga siap panen di tahun ke-4, membutuhkan anggaran hingga kisaran Rp 60 juta per hektare. 

Petani yang mampu memperoleh pembiayaan dari perbankan untuk peremajaan tanaman sawit banyak terjebak utang yang seringkali berbunga tinggi karena terganggunya arus kas akibat produksi yang tidak berkelanjutan pasca peremajaan dan ketiadaan penghasilan yang setara dari mata pencaharian alternatif setidaknya selama 3-5 tahun pasca peremajaan.

Dengan adanya bantuan pendanaan dan legalisasi lahan, petani akan terdorong melakukan peremajaan untuk mempertahankan produktivitas lahan, yang akan mencegah mereka memperluas lahan dengan cara deforestasi.

photo
Pekerja menurunkan Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dari atas mobil di Desa Lemo - Lemo, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Sabtu (2/7/2022). Harga TBS kelapa sawit tingkat pengepul sejak sebulan terakhir mengalami penurunan harga dari Rp 2.280 per kilogram menjadi Rp800 per kilogram disebabkan banyaknya produksi. - (ANTARA FOTO/Akbar Tado)

Reformasi terpenting lainnya adalah reforma aset bagi petani sawit, melalui kepemilikan pada pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng. Dengan kelembagaan ekonomi petani sawit yang telah terbentuk dengan baik, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak memfasilitasi pendirian pabrik kelapa sawit dan minyak goreng yang dikelola oleh petani. 

Di Indonesia kini setidaknya telah terdapat 32 koperasi dan 13 asosiasi petani sawit yang memiliki sertifikasi RSPO (roundtable on sustainable palm oil) dimana semua proses manajemen organisasi telah teraudit secara internasional. Dengan dukungan kebijakan yang memadai, mewujudkan pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng mikro yang dikelola sendiri oleh petani adalah tidak sulit.

Reformasi terpenting berikutnya adalah menahan ekspansi industri biodiesel berbasis CPO. Besarnya kapasitas perusahaan pemasok biodiesel berbasis CPO yang kini mencapai 12,9 juta kilolitre per tahun, berimplikasi kebutuhan yang besar untuk pasokan bahan baku dan lahan perkebunan sawit.

photo
Kendaraan mengikuti peluncuran uji jalan penggunaan B40 di halaman Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (27/7/2022). Uji jalan kendaraan dengan bahan bakar biodiesel campuran minyak sawit 40 persen (B40) tersebut menempuh jarak mencapai 50 ribu km dan 40 ribu km sebagai upaya pemerintah untuk percepatan pengembangan energi baru terbarukan.Prayogi/Republika. - (Prayogi/Republika.)

Dengan kata lain, potensi ekspansi lahan perkebunan sawit ke depan adalah masih akan terus besar, sehingga ancaman terhadap hutan adalah tinggi. Perluasan perkebunan sawit dengan membuka lahan baru terutama hutan umumnya bukan oleh petani kecil, namun lebih banyak didorong oleh pemilik kapital besar yang tidak mengelola sendiri perkebunan-nya.

Terdapat peluang besar pemanfaatan minyak jelantah sebagai biodiesel untuk keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Selama ini diperkirakan hanya kurang dari 20 persen sisa konsumsi minyak goreng yang dapat dikumpulkan sebagai minyak jelantah. Pada 2021, diperkirakan konsumsi minyak goreng rumah tangga mencapai 3,3 juta kiloliter.

Jika 75 persen dari jumlah ini menjadi sisa konsumsi minyak goreng, dan dengan asumsi konversi 5 liter minyak jelantah menjadi 1 liter biodiesel, maka terdapat potensi 500 ribu kiloliter biodiesel setiap tahunnya dari sektor rumah tangga saja.

Jika pengumpulan minyak jelantah diperluas ke pelaku usaha hotel, restoran, rumah makan, katering, hingga industri makanan, potensi biodiesel berbasis minyak jelantah ini akan jauh lebih besar. Dengan produksi biodiesel berbasis minyak jelantah, kebutuhan subsidi biodiesel akan jauh lebih kecil dibandingkan produksi biodiesel berbasis CPO.

UUS Dorong Pembatalan Wajib Spin-off

Ekonom menilai, pembatalan ketentuan spin-off juga cukup disayangkan.

SELENGKAPNYA

BPS: Waspadai Penurunan Harga Komoditas

BPS meminta mewaspadai tren penurunan harga komoditas andalan ekspor Indonesia.

SELENGKAPNYA

Opsi Menaikkan Harga Pertalite Menguat

Kenaikan harga BBM bersubsidi diprediksi akan menaikkan inflasi secara signifikan.

SELENGKAPNYA