
Kabar Utama
Pembatasan Konsumsi BBM Subsidi Dinilai Jadi Jalan Tengah
Masyarakat yang tergolong mampu diminta tak menggunakan BBM subsidi.
JAKARTA – Membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) hingga lebih dari Rp 500 triliun membuat pemerintah dalam posisi dilematis. Langkah menaikkan atau menahan harga BBM sama-sama memiliki risiko yang cukup besar.
Pembatasan konsumsi sekaligus memastikan pengguna BBM bersubsidi tepat sasaran dinilai menjadi jalan tengah untuk memastikan APBN tidak terlalu terbebani dan menjaga inflasi terkendali. Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menilai kenaikan harga BBM pasti akan meningkatkan inflasi dan bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Menurut Eddy, ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dilaksanakan secara bersama-sama dan beriringan. Salah satunya dengan mendorong perubahan Perpres 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
“Revisi Perpres 191/2014 agar ada payung hukum untuk mengatur para pihak yang berhak menerima BBM bersubsidi dan pemberian sanksi bagi yang melanggarnya,” kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (14/8).
Eddy menilai perlu ada pembatasan terhadap konsumen BBM subsidi, misalnya melalui kontrol pembelian volume, jenis kendaraan, teknologi, dan lain-lain. Kemudian, secara struktural perlu ada perombakan atas mekanisme pemberian subsidi, dari subsidi produk ke subsidi orang.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya menyatakan bahwa anggaran subsidi energi tahun ini membengkak menjadi Rp 502 triliun. Menurut Jokowi, nilai subsidi itu sudah terlalu besar dan pemerintah belum tentu bisa menahan beban tersebut dalam jangka waktu yang lama.
Jokowi mengatakan, subsidi energi sebesar Rp 502 triliun digelontorkan pemerintah untuk menahan kenaikan BBM jenis Pertalite, gas, dan listrik. Menurut dia, angka itu sangat besar. Dia menyebut anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) belum tentu bisa mempertahankan subsidi kepada masyarakat dalam jangka waktu yang lama. Apalagi, harga BBM di banyak negara telah mencapai dua kali lipat.
“Tapi, kalau bisa (mempertahankan harga BBM subsidi), ya, alhamdulillah, artinya rakyat tidak terbebani. Tapi, kalau memang APBN tidak kuat, bagaimana?” kata Jokowi.
Hingga saat ini, pemerintah belum kunjung menyelesaikan revisi Perpres 191 Tahun 2014 yang mengatur kriteria penerima BBM bersubsidi. Payung hukum itu menjadi landasan utama untuk bisa tersalurkannya barang subsidi, yaitu BBM, LPG, bahkan listrik, kepada masyarakat yang berhak.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menilai penyaluran barang subsidi secara tepat akan mengurangi beban APBN. “Memang seharusnya prinsip subsidi ini kan disalurkan ke tepat sasaran. Perlu pembatasan agar menghindari yang tidak layak dapat subsidi tidak mengonsumsi BBM subsidi,” ujar Faisal.
Namun, karena tak kunjung keluarnya regulasi mengenai pembatasan konsumsi, Faisal menilai maka jalan terbaik adalah menambah subsidi di APBN. Menurut dia, penambahan subsidi tak lantas membuat APBN jebol. Meski secara belanja subsidi membengkak, itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan windfall profit yang dikantongi pemerintah dari kenaikan harga komoditas.
Faisal mencatat, APBN semester satu tahun ini surplus Rp 73 triliun. Kondisi itu masih lebih baik dari kondisi tahun lalu yang defisit Rp 270 triliun. Tahun ini, target defisit APBN sebesar 4,85 persen. Namun, dengan kondisi kenaikan harga komoditas yang menambah windfall profit, defisit APBN diturunkan jadi 3,9 persen.
“APBN jauh lebih baik kondisinya saat ini dibandingkan tahun lalu. Kalau kemudian ada opsi menambah kuota subsidi maka beban belanja subsidi akan bertambah, BBM khususnya. Tapi, ini tidak lantas membuat APBN defisitnya melewati target,” ujar Faisal.

Faisal menilai langkah menaikkan harga BBM, khususnya Pertalite atau Pertamax sekalipun, malah akan memperburuk pertumbuhan ekonomi. Sebab, kenaikan harga BBM akan berdampak langsung pada inflasi.
“Saat ini target inflasi kita antara 4-5 persen. Tapi, jika harga BBM naik lagi, bukan tidak mungkin inflasi bisa naik jadi 6 persen. Harga Pertalite penggunaannya luas dan memengaruhi harga barang lainnya, termasuk harga pokok,” ujar Faisal.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sebelumnya mengatakan, kemungkinan anggaran untuk subsidi dan kompensasi energi sebesar Rp 502,4 triliun tahun ini tidak akan cukup. Pasalnya, kuota volume BBM yang disubsidi menipis sehingga memerlukan penambahan kuota.
“Ini berarti akan ada tambahan di atas Rp 502 triliun yang sudah kita sampaikan, belum lagi harga minyak dunia yang masih belum stabil,” ujar Sri Mulyani.
Kondisi kenaikan beban subsidi ini akhirnya direspons oleh pemerintah dengan membuka opsi kenaikan harga jual BBM. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memberikan sinyal akan ada kenaikan harga BBM dalam waktu dekat.
“Jadi, tolong teman-teman sampaikan juga kepada rakyat bahwa rasa-rasanya sih untuk menahan terus dengan harga BBM seperti sekarang, feeling saya, harus kita siap-siap kalau, katakanlah, kenaikan BBM itu terjadi,” ujar Bahlil.
Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno, melihat ada tiga kekhawatiran jika BBM dinaikkan. Pertama, kata dia, kenaikan harga BBM pasti akan memukul daya beli masyarakat yang selama ini sudah tergerus selama pandemi. Kekhawatiran kedua, efek berantai terhadap kenaikan biaya produksi.
Ketiga, kata Hendrawan, kenaikan harga dikhawatirkan dapat mengguncang stabilitas sosial dan politik. “Ini memang dilematis. Dinaikkan berat, tidak dinaikkan juga berat,” ujar dia.
Menurut politikus PDIP ini, subsidi terus membengkak seiring dengan melebarnya jarak antara harga pasar dan asumsi harga di APBN. Sementara itu, subsidi BBM saat ini tetap dipertahankan untuk menekan laju inflasi. Hendrawan berharap pemerintah tetap bijaksana. Kalaupun harga dinaikkan, ia berpesan agar pemerintah tidak menaikkan harga terlalu drastis.

“Hanya memang, kita tahu, subsidi kepada barang sering salah sasaran karena yang kaya juga dapat subsidi,” ujar dia.
Tak Gunakan BBM Subsidi
PT Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan mengimbau kepada masyarakat yang tergolong mampu, untuk menggunakan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. BBM bersubsidi secara filosofis memang hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu.
“Kami mengajak kepada masyarakat mampu untuk beralih menggunakan bahan bakar dengan RON minimal 92, agar BBM subsidi dapat digunakan sesuai peruntukannya,” kata Area Manager Communication and CSR Regional Kalimantan, Susanto August Satria, di Balikpapan, Sabtu (13/8).
Satria berharap, masyarakat dapat menggunakan bahan bakar sesuai peruntukannya. Dia juga mengimbau kepada masyarakat yang berhak, untuk segera mendaftarkan diri ke program ‘Subsidi Tepat MyPertamina’ agar tercatat sebagai penerima subsidi BBM.

Satria menjelaskan, hingga Juli 2022, terjadi kelebihan kuota hingga 3,24 persen untuk penyaluran BBM subsidi jenis solar di Provinsi Kalimantan Barat. Meskipun begitu, Pertamina tetap memastikan BBM solar subsidi disalurkan setiap hari dari Integrated Terminal Pontianak ke seluruh wilayah Kalbar.
“Kami tetap distribusi produk solar subsidi berdasarkan kuota yang telah ditetapkan pemerintah,” ujar dia.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengatakan, pemerintah saat ini tengah menghadapi situasi yang sulit. Pasalnya, konsumsi BBM Pertalite hingga Juli 2022, sudah mencapai 16,8 juta kiloliter (KL) atau setara dengan 73,04 persen dari total kuota tahun ini, yang ditetapkan sebesar 23 juta KL.
Fahmy memprediksi kuota BBM subsidi akan jebol paling lama pada akhir Oktober 2022, apabila upaya pembatasan konsumsi Pertalite tidak berhasil. Jika menambah kuota BBM subsidi, menurut dia, beban APBN untuk subsidi bisa semakin membengkak hingga melebihi Rp 600 triliun.

“Jika tidak menambah kuota BBM subsidi, kelangkaan akan terjadi di berbagai SPBU, yang berpotensi menyulut keresahan sosial,” ucap Fahmy.
Fahmy menilai, hanya pembatasan yang tegas dan lugas, yang dapat mencegah jebolnya kuota BBM subsidi. Ada dua kebijakan yang dapat mencegah jebolnya BBM bersubsidi. Pertama, segera menetapkan dalam perpres bahwa hanya sepeda motor, kendaraan angkutan orang, dan angkutan barang, yang diperbolehkan menggunakan Pertalite dan solar.
Kedua, menurut dia, dengan menurunkan disparitas antara harga Pertamax dan Pertalite, dengan menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan, maksimal selisih harga sebesar Rp 1.500 per liter. “Kalau kenaikan harga Pertalite dan penurunan harga Pertamax disertai pembatasan, dampak inflasi tidak signifikan,” ucap Fahmy.
Fahmy berharap, kebijakan harga ini akan mendorong konsumen Pertalite bermigrasi ke Pertamax secara sukarela. Selain itu, perlu juga dilakukan komunikasi publik secara masif bahwa sesungguhnya, penggunaan Pertamax lebih baik untuk mesin kendaraan dan lebih irit.
"Untuk mencegah jebolnya kuota BBM bersubsidi tidak bisa hanya dengan mengeluh dan mengimbau. Namun, perlu kebijakan tegas dan lugas yang segera diberlakukan, tidak mundur-mundur saja,” ujar dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Penindakan Judi Gencar di Berbagai Daerah
Penjualan chip sebagai sarana permainan judi sangat mudah ditemukan.
SELENGKAPNYASaat Ikan-Ikan Mati Kekeringan di Lux
Periode kering Eropa tahun ini diperkirakan para ahli bisa menjadi kekeringan terburuk dalam 500 tahun.
SELENGKAPNYASalman Rushdie Lepas Ventilator
Salman Rushdie diperkirakan akan kehilangan satu matanya karena penusukan ini.
SELENGKAPNYA