
Opini
Substitusi Terigu dengan Sorgum
Sorgum kini digadang-gadang sebagai komoditas unggulan untuk menggantikan terigu.
KHUDORI, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia dan Komite Pendayagunaan Pertanian
Sorgum kini digadang-gadang sebagai komoditas unggulan pemerintah untuk menggantikan terigu yang masih sepenuhnya diimpor. Dalam rapat kabinet yang dipimpin Presiden Joko Widodo, para menteri diminta menyusun peta jalan peningkatan produksi dan hilirisasi sorgum.
Harga gandum, yang menanjak sejak tahun lalu bahkan meroket tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina atau setop ekspor India, membuat puluhan negara importir gandum kelimpungan. Termasuk Indonesia.
Rusia dan Ukraina memasok 34 persen gandum dunia. Perang membuat proses ekspor-impor terganggu. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, harga gandum naik 56 persen: dari 7,8 menjadi 12,5 dolar AS per gantang. Gandum India yang mahal bisa masuk rantai pasok dunia.
Harga gandum turun 25 persen dari titik tertinggi ke 10 dolar AS per gantang, naik lagi kala India menyetop ekspor, 13 Mei 2022. Harga menyentuh level tertinggi, 12,8 dolar AS per gantang. Harga berangsur turun dan per 12 Agustus 2022 mencapai 8 dolar AS per gantang.
Harga gandum, yang menanjak sejak tahun lalu bahkan meroket tak lama setelah Rusia menginvasi Ukraina atau setop ekspor India, membuat puluhan negara importir gandum kelimpungan. Termasuk Indonesia.
Dibanding pada 2021, harga gandum saat ini 5,56 persen lebih tinggi. Terigu, yang diolah dari gandum, adalah makanan pokok warga dunia. Posisinya jauh lebih penting ketimbang kedelai, kentang, dan jagung. Posisinya hanya kalah oleh beras, pangan pokok separuh warga dunia.
Meskipun di Indonesia tak ada petani gandum, dari waktu ke waktu konsumsi terigu naik. Pada 2002, impor biji gandum masih empat juta ton, meledak menjadi 11,69 juta ton pada 2021 senilai Rp 54 triliun. Impor naik hampir dua kali lipat dalam dua dasawarsa.
Terigu sebagian besar dikonsumsi dalam bentuk roti, aneka kue, jajanan, dan mi instan. Saat ini, Indonesia jadi negara importir gandum ketiga terbesar di dunia setelah Mesir dan Turki. Konsumsi terigu warga saat ini mencapai 17,1 kg/kapita/tahun.
Terigu posisi kedua dalam menu diet warga, jauh meninggalkan aneka pangan lokal. Bahkan, dalam statistik BPS, konsumsi sorgum tidak masuk dalam catatan. Sejak diintroduksi pada 1970-an, hanya dalam 30 tahun tingkat konsumsi terigu meningkat 500 persen.
Meskipun di Indonesia tak ada petani gandum, dari waktu ke waktu konsumsi terigu naik.
Keberhasilan terigu yang mencengangkan tak lepas dari kebijakan era Orde Baru. Saat itu, harga terigu dibanting 50 persen lebih rendah dari harga internasional. Semula, beleid ini dimaksudkan untuk menstabilkan harga pangan dan meredam inflasi.
Pijakan dasarnya, menghindari ketergantungan pada impor beras yang harganya tidak stabil, volumenya tipis, diekspor setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi, dan pasarnya mendekati oligopoli. Sayang kebijakan insidental itu tak pernah dievaluasi, bahkan berlanjut terus.
Tanpa disadari, akhirnya menciptakan persoalan serius. Pertama, beras dan terigu tersubstitusi erat dengan elastisitas silang 0,6 (Amang dan Sawit, 2001). Setiap peningkatan satu persen pendapatan warga diikuti kenaikan pengeluaran konsumsi terigu 0,44-0,84 persen (Fabiosa, 2006).
Ini mempercepat pergeseran konsumsi beras ke terigu. Kedua, karena mudah didapat dan murah, perubahan pola konsumsi warga ke terigu, terutama yang berpenghasilan rendah, demikian cepat. Ini hanya di Indonesia, tidak di negara Asia lain.
Keberhasilan terigu yang mencengangkan tak lepas dari kebijakan era Orde Baru. Saat itu, harga terigu dibanting 50 persen lebih rendah dari harga internasional.
Ini baik dari sisi diversifikasi, tetapi salah karena bergeser ke pangan impor, bukan pangan lokal. Kekerabatan tanaman sorgum dan gandum amat dekat. Dari sisi taksonomi, keduanya masuk famili Poaceae. Namun, banyak kelebihan sorgum yang tidak ditemukan pada gandum.
Kandungan energi sorgum dan terigu hampir seimbang: 332 vs 365 kalori per 100 gr. Namun, sorgum lebih unggul dalam kandungan protein, kalsium, fosfor, zat besi, dan serat ketimbang terigu. Kandungan besi dan fosfor lebih besar tiga hingga empat kali dari terigu.
Indeks glikemik sorgum rendah, hanya 41, terigu 70. Sorgum bebas gluten. Sorgum bisa dikepras hingga tiga kali sekali tanam. Selain menghemat biaya, peluang ekonominya besar. Sorgum bisa tumbuh di lahan marginal, kering, dan berbatu. Hemat dalam menyerap hara.
Namun, semua kelebihan itu belum membuat sorgum ditengok. Ini bisa dilihat dari luas lahan sorgum yang tak lebih 4.355 hektare. Untuk mengakselerasi sorgum sebagai pengganti terigu, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan.
Pertama, mengembangkan sorgum di lahan-lahan marginal, baik lahan masam maupun kering. Ini banyak tersebar di Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Lampung. Dengan cara ini, sorgum tidak menggusur pangan yang sudah ada.
Indeks glikemik sorgum rendah, hanya 41, terigu 70. Sorgum bebas gluten. Sorgum bisa dikepras hingga tiga kali sekali tanam.
Kedua, menetapkan sorgum sebagai pangan lokal dan wilayah sentra produksi sorgum. Ini amanah Pasal 12 ayat 3 dan 6 UU Pangan No 18 Tahun 2012. Ada kewajiban pemda menetapkan pangan lokal, yang diikuti penetapan sentra pangan lokal oleh pemerintah sesuai usulan pemda.
Ketiga, mengharuskan industri domestik pengguna tepung menggunakan tepung sorgum. Besar-kecilnya disesuaikan kemampuan produksi tepung sorgum domestik. Dalam tahap awal, bisa jadi harga tepung sorgum belum kompetitif dengan terigu.
Agar industri tidak merugi, selisih harga jual ke industri dengan harga di produsen bisa saja disubsidi. Ini jadi bagian kesungguhan pemerintah mengembangkan tepung lokal. Dengan pasar yang dijaga, ada peluang tepung sorgum berkembang pesat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.