Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo berada di atas kapal pinisi menuju Pulau Rinca Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Kamis (21/7/2022). | ANTARA FOTO/Setpres/Agus Suparto

Tajuk

Setelah Polemik Tiket Mahal Komodo Reda

Ironi NTT adalah meski pariwisatanya booming, daerah ini masih masuk dalam lima besar provinsi termiskin di Indonesia.

Ada dua sudut pandang yang bisa digunakan untuk melihat polemik harga tiket masuk ke Pulau Komodo. Per 1 Agustus kemarin, pemerintah menetapkan harta tiket baru untuk turis yang ingin melihat naga purba di Pulau Komodo itu. Tiketnya Rp 3,75 juta per tahun.

Dari tadinya hanya ratusan ribu rupiah. Meroketnya harga tiket ini sontak diprotes oleh pelaku pariwisata di Nusa Tenggara Timur. Mereka khawatir turis akan mundur teratur enggan membayar tiket masuk semahal itu.

Sudut pandang pertama: Melihat komodo tidak harus di Pulau Komodo. Ya, betul. Ada tiga pulau di sana yang menjadi habitat binatang melata dengan lidah beracun itu. Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Pulau Rinca. Apakah harga tiket di tiga pulau itu sama? Tidak!

Hanya harga tiket di Pulau Komodo yang dinaikkan. Selain dinaikkan, jumlah wisatawan yang berkunjung pun dibatasi. Di dua pulau lainnya, Padar dan Rinca, harga tiket tetap sama.

Apakah ada perbedaan antara komodo di Pulau Komodo dengan di Pulau Padar dan Pulau Rinca? Tidak! Tetap sama. Sama-sama melata, sama-sama ganas. Seperti Presiden Joko Widodo sampaikan dengan berseloroh, "Komodo di Pulau Rinca dan Padar itu juga sama. Wajahnya juga sama." Namun memang kita akui, pelaku wisata Pulau Komodo sebelumnya menjadikan tiga pulau itu sebagai satu paket kunjungan dalam sehari.

 
Apakah ada perbedaan antara komodo di Pulau Komodo dengan di Pulau Padar dan Pulau Rinca? Tidak! Tetap sama. Sama-sama melata, sama-sama ganas.
 
 

Kemudian, melihat komodo, apakah harus melancong ke NTT? Tentu tidak. Komodo saat ini sudah diekspor ke kebun binatang di berbagai kota di Indonesia. Bahkan, ke luar negeri. Pengunjung bisa juga melihat komodo di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta, misalnya. Lebih dekat dan lebih murah tentu.

Tapi memang, melihat komodo di habitat aslinya adalah pengalaman yang jauh berbeda. Apalagi tanpa pagar pembatas, hanya ada si hewan buas dan kita serta pemandu yang berjaga-jaga. Komodo adalah salah satu bagian dari seluruh paket pelesir di NTT.

Karena selain ke Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar, kawasan Labuan Bajo juga memiliki lokasi wisata alam menarik lainnya yang pantas dikunjungi. Turis berkeliling kawasan dengan menumpang kapal wisata, bisa menyelam, snorkeling, wisata kuliner, ke pedalaman, ke Pantai Pink, dan trekking ke bukit-bukit dengan latar belakang pantai yang indah. Ini jelas tidak ada di kebun binatang mana pun yang memiliki komodo.

Sudut pandang kedua diambil dari guyonan, tapi serius yang dilontarkan Gubernur NTT Viktor Laiskodat. Viktor adalah politikus Partai Nasdem di DPR. Ia pernah menjabat sebagai ketua Fraksi Nasdem. Dalam satu kesempatan berbicara pariwisata di NTT, ia terekam mengatakan kira-kira seperti ini, "Biarlah wisata NTT itu untuk orang kaya saja. Jangan orang miskin ke sini. Mengapa? Karena kami di sini miskin-miskin!"

Tentu ada betulnya pernyataan Viktor. Ironi NTT adalah meski pariwisatanya booming, daerah ini masih masuk dalam lima besar provinsi termiskin di Indonesia. Desa tertinggalnya masih banyak. Akses transportasi dan listrik belum mencakup seluruh warganya. Kesejahteraan teramat jomplang antara pejabat provinsi dan rakyat yang tinggal di pedalaman atau di pulau-pulau kecil, yang ke sana harus naik kapal berjam-jam.

 
Ironi NTT adalah meski pariwisatanya booming, daerah ini masih masuk dalam lima besar provinsi termiskin di Indonesia. 
 
 

Kita sepakat harus menjaga kelestarian komodo. Kita juga setuju harga tiket wisata di sana perlu dinaikkan menjadi lebih pantas. Apakah tetap di Rp 3,75 juta atau diturunkan ke Rp 1 juta sesuai usul eks Wapres Jusuf Kalla. Apa pun, harga tiket harus mencerminkan kesejahteraan warga NTT. Polemik tiket mahal ini memang ada baiknya reda. Dengan demikian, arus wisatawan tidak terganggu dan pendapatan daerah yang mencapai puluhan miliar rupiah itu tetap terjaga.

Keputusan pemerintah setempat menunda lima bulan, rasanya cukup tepat. Sambil terus menggalang dukungan rakyat setempat dan pelaku wisata memang perlu dilakukan. Tapi sebaiknya, pemda persiapkan juga tempat wisata lainnya dalam waktu lima bulan ini agar turis yang ke Labuan Bajo dan tidak bisa mengakses Pulau Komodo, punya lebih banyak alternatif wisata. NTT rasanya tidak kekurangan lokasi wisata alam. Yang kurang justru marketing dan membuka akses transportasi dan akomodasi lebih luas lagi. Jadi, pekerjaan pembenahan destinasi wisata di Labuan Bajo dan sekitarnya, memang tidak boleh terhenti di titik Pulau Komodo saja.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat