Komisioner KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 mengikuti pelantikan yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (12/04/2022). | ANTARA FOTO/HO/Setpres-Lukas

Teraju

Keterwakilan Perempuan Mengkhawatirkan

Diperlukan kesungguhan berbagai pihak meningkatkan jumlah perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Oleh Seleksi Bawaslu 25 Provinsi

OLEH NURUL S HAMAMI

Seleksi calon komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2022-2027 beberapa waktu lalu sempat mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Ini karena dianggap tidak memerhatikan keterwakilan perempuan sebagaimana telah diatur dalam undang-undang.

Dari tujuh anggota KPU yang akhirnya dipilih oleh DPR, hanya terdapat satu orang perempuan (14,29 persen) dan dari lima anggota Bawaslu terpilih hanya ada satu perempuan (20 persen) .

Tren rendahnya keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu ditengarai berlanjut dalam seleksi bakal calon anggota Bawaslu daerah di 25 provinsi yang prosesnya masih berlangsung. Mereka yang terpilih nantinya akan menggantikan pejabat sebelumnya yang akan berakhir pada September mendatang.

Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia menilai hasil tes tertulis dan tes psikologi seleksi bakal calon anggota Bawaslu provinsi tersebut secara umum menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan, terkait keterwakilan perempuan di dalam lembaga penyelenggara pemilu.

Tim seleksi di 25 provinsi telah mengumumkan daftar peserta yang lolos tes tersebut pada 25 Juli lalu. Data yang diperoleh Republika dari Bawaslu menunjukkan, dari total 300 peserta yang lulus tes tertulis dan psikologi di 25 provinsi, hanya menghasilkan 59 peserta perempuan atau sekitar 19,7 persen.

Peneliti Puskapol UI, Hurriyah, mengatakan pihaknya secara khusus mencatat masih ada sejumlah persoalan terkait dengan pemenuhan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam proses seleksi calon anggota Bawaslu provinsi.

Persoalan pertama adalah potret keterpilihan perempuan dalam tahapan seleksi tes tulis dan tes psikologi. Penelusuran data hasil seleksi menunjukkan masih rendahnya pemenuhan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam setiap tahapan seleksi

Dari 25 provinsi, hanya ada dua provinsi dengan persentase keterpilihan perempuan lebih dari 30 persen dalam tahapan seleksi tes tertulis dan psikologi, yakni Bangka Belitung dan Jawa Tengah. Sedangkan, di 23 provinsi lainnya keterpilihan perempuan masih di bawah 30 persen.

Sebanyak enam provinsi bahkan hanya meloloskan satu perempuan pada tahapan tes tersebut. Keenam provinsi tersebut yakni Riau, Jambi, NTB, Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Gorontalo.

Rendahnya jumlah keterpilihan perempuan dalam tahapan seleksi ini, sebut Hurriyah, sangat berpotensi mempersempit peluang keterpilihan perempuan yang cukup di tahapan seleksi selanjutnya. “Dampak lebih jauh tentu saja tidak terpenuhinya angka minimal 30 persen keterwakilan perempuan di Bawaslu provinsi,” ujar pengajar di Departemen Ilmu Politik UI ini kepada Republika

photo
Warga difabel tuli mengikuti forum disabilitas demokrasi di Bawaslu Kota Yogyakarta, Ahad (29/6/2022). Pada acara ini Bawaslu memberikan edukasi politik kepada warga difabel tuli. Selain itu juga diberikan edukasi tentang pengawasan partisipatif disabilitas tuli saat Pemilu. - (Wihdan Hidayat / Republika)

Sedangkan, persoalan kedua, kata Hurriyah yakni hambatan perempuan dalam proses seleksi. Ini terkait dengan keterbatasan informasi mengenai mekanisme proses seleksi, lingkungan politik yang tidak sensitif gender, hingga hambatan yang bersifat sosiokultural.

Kemudian, persoalan ketiga adalah komitmen tim seleksi dalam menerapkan kebijakan afirmasi pada tiap tahapan seleksi. “Kami melihat komitmen untuk menerapkan kebijakan afirmasi dalam setiap tahapan seleksi masih belum merata di semua tim seleksi,” jelas Hurriyah.

Anggota Bawaslu Lolly Suhenty yang dihubungi Republika terpisah, mengakui jumlah perempuan yang dinyatakan lulus pada tahapan tes tertulis dan tes psikologi masih di bawah angka afirmasi 30 persen. “Sedih juga dengan hasil tersebut,” kata dia.

“Rupanya dinamika di dalam tim seleksi luar biasa. Di awal pengarahan kepada tim seleksi sebenarnya kami telah mengingatkan agar memerhatikan afirmasi keterwakilan perempuan.,” ujar Lolly. “Memang, prosesnya dilakukan melalui objektivitas hasil tes tulis dan psikologi, sehingga pertimbangan aspek afirmasinya menjadi kurang.”

photo
Warga difabel tuli mengikuti forum disabilitas demokrasi di Bawaslu Kota Yogyakarta, Ahad (29/6/2022). Pada acara ini Bawaslu memberikan edukasi politik kepada warga difabel tuli. Selain itu juga diberikan edukasi tentang pengawasan partisipatif disabilitas tuli saat Pemilu. - (Wihdan Hidayat / Republika)

Menurut Lolly yang membawahi Divisi Pencegahan, Partisipasi, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu, tahapan seleksi sekarang masih berada di tangan tim seleksi di masing-masing provinsi. Nantinya tim tersebut akan menghasilkan enam calon anggota yang akan diserahkan ke Bawaslu RI pada 9-10 Agustus. Dari enam calon tersebut akan dipilih tiga sebagai angota Bawaslu provinsi.

Terkait agenda seleksi selanjutnya dan urgensi mendrong pemenuhan keterwakilan perempaun minimal 30 persen, Puskapol UI memberikan beberapa rekomendasi tim seleksi. Di antaranya, mendorong pemilihan anggota Bawaslu provinsi dengan prinsip inklusi dan keadilan gender, dengan menghadirkan keterpilihan yang proporsional antara perempuan dan laki-laki.

Semangat UU

Kecenderungan rendahnya jumlah perempuan dalam hasil seleksi bakal calon anggota Bawaslu di banyak daerah tersebut, menunjukkan sedikitnya dua hal. Pertama, tim seleksi tidak sensitif dengan semangat undang-undang yang dibuat sebagai upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di ranah non-voting yakni terlibat aktif sebagai penyelenggara pemilu.

Kedua, timsel tidak sensitif gender dengan membiarkan kaum perempuan terjun bebas dengan kaum lelaki tanpa mempertimbangkan bahwa kaum perempuan masih tertinggal di dunia politik akibat terpinggirkan semasa sebelum era Reformasi lahir.

photo
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja (tengah) didampingi Sekjen Bawaslu Gunawan Suswantoro, Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda, Lolly Suhenty dan Totok Hariyono (dari kiri ke kanan) menekan tombol saat seremoni apel siaga pengawasan Pemilu 2024 serentak se-Indonesia di Jakarta, Selasa (14/6/2022). Kegiatan tersebut dalam rangka pemantapan kesiapan jajaran pengawas pemilu menghadapi pelaksanaan setiap tahapan Pemilu 2024. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Semangat untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan sebagai penyelenggara pemilu sebenarnya sudah dirintis sejak lima tahun kedua Reformasi. Ini dikuatkan oleh pengesahan DPR pada April 2007 terhadap lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu.

Keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu diatur dalam dua pasal. Pertama, Pasal 6 ayat 5 yang berbunyi: “Komposisi kenaggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) persen”. Kedua, Pasal 73 ayat 8: “Komposisi keanggotaan Bawaslu, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) persen”.

Semangat untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan yang diimplementasikan dalam keterlibatan sebagai penyelenggara pemilu, tidak berubah di era keanggotaan DPR berikutnya. Pada 20 September 2011, DPR mengesahkan UU Nomor 15 Tahun 2011 sebagai revisi dari UU Nomor 22 Tahun 2007.

 
UU Nomor 15 tahun 2011 ini tetap menyertakan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dengan bunyi yang sama seperti di UU Nomor 22 Tahun 2007.
 
 

UU Nomor 15 tahun 2011 ini tetap menyertakan keterwakilan perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dengan bunyi yang sama seperti di UU Nomor 22 Tahun 2007. Soal ini diatur dalam Pasal 6 ayat 5 mengenai keanggotaan KPU dan seterusnya, serta Pasal 72 ayat 8 tentang keanggotaan Bawaslu dan seterusnya.

UU itu menegaskan, penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu, terdiri dari KPU dan Bawaslu  sebagai kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden, secara langsung oleh rakyat. Selain itu, penyelenggara pemilu juga memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara demokratis.

Pun Pasal 10 ayat (7) UU Nompr 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan bahwa komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU Provinsi dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. Lalu, Pasal 92 ayat (1) yang menyatakan bahwa komposisi keanggotaan Bawaslu, keanggotaan Bawaslu Provinsi, dan Keanggotaan Bawaslu Kabupaten/Kota memerhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

Tapi, faktanya representasi perempuan sebagai penyelenggara pemilu masih di bawah 30 persen. Pada periode 2012-2017, 2017-2022, dan 2022-2027 di tingkat nasional hanya ada satu perempuan (14,29 persen) dari tujuh anggota KPU; juga hanya ada satu perempuan (20 persen) dari lima anggota Bawaslu.

photo
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyalami pengawas pemilu saat apel siaga pengawasan Pemilu 2024 serentak se-Indonesia di Jakarta, Selasa (14/6/2022). Kegiatan tersebut dalam rangka pemantapan kesiapan jajaran pengawas pemilu menghadapi pelaksanaan setiap tahapan Pemilu 2024. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Harus diakui, masih diperlukan upaya sungguh-sungguh dan sistematis dari berbagai pihak untuk meningkatkan jumlah perempuan sebagai penyelenggara pemilu. Termasuk di dalamnya adalah anggota tim seleksi yang sensitif gender dan memahami semangat lahirnya UU Penyelenggara Pemilu sebagai tindakan afirmasi terhadap keterwakilan perempuan.

Pemahaman tim seleksi terhadap regulasi dapat menjadi faktor yang menghambat rendahnya keterlibatan perempuan sebagai penyelenggara pemilu. Regulasi 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga penyelenggara pemilu masih ada yang memahaminya sebagai kuota maksimal.

Pemahaman mengenai regulasi keterwakilan perempuan yang masih sebatas “memerhatikan”, justru menjadi persoalan. Regulasi dianggap lemah dalam memastikan masuknya perempuan sebagai penyelenggara pemilu karena sifatnya yang tidak wajib.

Fakta Angka Seleksi Calon Anggota Bawaslu 25 Provinsi

Pendaftar: 2.815 Orang

Lulus Seleksi Adminsitrasi: 2.348 Orang

Pendaftar Laki-Laki: 2.179 Orang (77 Persen)

Pendaftar Perempuan: 636 Orang (23 Persen)

Pendidikan S1: 1.819 Orang

Pendidikan S2: 898 Orang

Pendidikan S3: 61 Orang

Usia Pendaftar 35-40 Tahun: 923 Orang

Usia Pendaftar 41-45 Tahun: 605 Orang

Usia Pendaftar 46-50 Tahun : 482 Orang

Usia Pendaftar 51-55 Tahun: 291 Orang

Usia Pendaftar 55 Tahun ke Atas: 245 Orang

Sumber: Bawaslu RI

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Bawaslu RI (@bawasluri)

Judi Daring Masih Marak

Pemblokiran 15 game online yang memuat unsur perjudian bukan yang terakhir.

SELENGKAPNYA

Dokumen Tujuh Parpol Lengkap

Partai teranyar yang mendaftar adalah Partai Kebangkitan Nusantara (PKN)

SELENGKAPNYA