Simpatisan yang diamankan saat upaya jemput paksa Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) di Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyah dipulangkan dari Mapolres Jombang, Jawa Timur, Jumat (8/7/2022). | ANTARA FOTO/Syaiful Arif

Nusantara

Belasan Jaksa Disiapkan untuk Sidang Mas Bechi

Penanganan kasus Mas Bechi yang berjalan hingga dua tahun dinilai lamban.

SURABAYA -- Kejaksaan telah melimpahkan perkara dugaan kekerasan seksual di Ponpes Shiddiqiyyah Jombang dengan tersangka MSA (49 tahun) atau Mas Bechi ke Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. Pengadilan pun sudah menetapkan majelis hakim untuk menangani perkara tersebut, meski jadwal sidang belum ditentukan.

Kejaksaan menyiapkan 11 Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghadapi Mas Bechi. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Fathur Rahman mengatakan, perkara Mas Bechi sudah dilimpahkan ke PN Surabaya pada Jumat, 8 Juli 2022.

JPU yang disiapkan untuk menyidangkan perkara itu merupakan gabungan dari Kejati Jatim dan Kejaksaan Negeri Jombang. “JPU-nya sebelas orang,” ujarnya dikonfirmasi Senin (11/7).

Kepala Hubungan Masyarakat PN Surabaya Suparno mengungkapkan, pihaknya telah menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan perkara Mas Bechi. Namun, jadwal sidangnya masih belum ditetapkan. Ditanya apakah PN meminta bantuan kepolisian untuk mengamankan perkara itu, dia belum menanggapi. “(Ketua Majelis) Hakimnya Pak Sutrisno,” ujarnya.

photo
Petugas menggiring tersangka Moch Subchi Azal Tsani (kedua kiri) seusai rilis kasus di Rutan Klas I Surabaya di Medaeng-Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (8/7/2022). Polda Jawa Timur menangkap Moch Subchi Azal Tsani yang menjadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Siddiqiyyah, Ploso, Jombang. - (ANTARA FOTO/Umarul Faruq)

Mas Bechi sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pelecehan seksual terhadap santriwatinya sejak 2019. Tersangka sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Surabaya, tetapi permohonan tersebut ditolak majelis hakim pada Desember 2021.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengkritisi penanganan kasus Mas Bechi oleh kepolisian. Menurutnya, kasus itu berjalan lambat hingga tersangka baru ditangkap setelah viral.

Bambang memandang pihak kepolisian wajib melakukan evakuasi soal mekanisme pendekatan persuasif terhadap Mas Bechi. Ia menyayangkan kepolisian yang sempat gagal menangkap Mas Bechi selama beberapa tahun terakhir.

"Kenapa tidak bisa melakukan tindakan persuasif pada tersangka? Penting membangun persepsi pada publik bahwa polisi tidak melakukan kriminalisasi pada orang yang tak bersalah," kata Bambang.

Bambang menekankan kepolisian memang membutuhkan ketepatan dan kecepatan guna menangani kasus ini hingga tuntas. Ia menduga proses tersebut mengalami kendala. "Untuk tepat itu tidak mudah apalagi dalam kasus Jombang ini alat bukti dan saksi-saksi tidak cukup," ujar Bambang.

Bambang menduga ketidakcermatan dan ketidakcepatan kepolisian yang membuat Mas Bechi ogah ditangkap karena merasa dikriminalisasi. Apalagi ada ketakutan  ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka. "Seolah seseorang yang dijadikan tersangka itu pasti salah. Padahal tidak begitu karena yang menentukan seseorang bersalah atau tidak itu ada di pengadilan lewat putusan hakim," ujar Bambang.

Kasus dugaan kekerasan seksual Mas Bechi awalnya ditangani Polres Jombang dengan Nomor LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RES.JBG. Dalam prosesnya, perkara diambil alih Polda Jawa Timur.

photo
Polisi siaga di depan gerbang masuk menuju Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyah saat upaya penangkapan penangkapan Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) di Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur, Kamis (7/7/2022) malam. - (ANTARA FOTO/Syaiful Arif)

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengkritisi sistem pondok pesantren yang tertutup karena akan sangat rentan terjadi kekerasan seksual maupun psikologis. "Saya mengkritisi sistem pondok pesantren yang tertutup, yang orang tua tidak bisa menengok atau bertemu. Itu berbahaya. Anak-anak, baik itu santri maupun santriwati bisa menjadi korban," ujar Seto, Senin (11/7).

Menurut dia, sistem pesantren yang tertutup, sulit untuk melakukan pengawasan dan memungkinkan santri sulit melapor jika mengalami masalah. Ia sering mendapat laporan orang tua yang memondokkan anaknya tidak bisa berkomunikasi untuk waktu yang lama.

Bahkan jika terjadi dugaan kekerasan psikologis maupun seksual, korban mendapat ancaman untuk tidak melapor. "Padahal itu pentingnya preventif. Keluarga berani melapor, masyarakat berani, media berani mengangkat, dan aparat penegak hukum termasuk dalam hal ini negara," kata dia. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Mensyukuri Tasyrik

Pada hari-hari Tasyrik kaum Muslimin tidak diperkenankan untuk melakukan puasa.

SELENGKAPNYA

Jangan Berhenti Berbagi Kebaikan

Diperlukan pengorbanan untuk membantu sesama di tengah situasi pandemi yang belum berakhir.

SELENGKAPNYA

Jamarat dan Buah Kesabaran Jamaah Indonesia

Jamaah kita ternyata benar-benar mampu meresapi kesabaran Nabi Ibrahim.

SELENGKAPNYA