Guru honorer berorasi saat melakukan aksi Indonesia Darurat Guru PNS di kawasan Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat (Monpera), Kota Bandung, Kamis (25/11/2021). | REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA

Tajuk

Mencegah 'Kiamat Kecil' Honorer

Persoalan kesejahteraan honorer adalah permasalahan menahun yang belum bisa ditemukan pemecahan secara menyeluruh.

Para pegawai honorer yang bekerja di pemerintahan kini resah. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo, beberapa hari lalu merilis surat edaran bernomor B/185/M.SM.02.03/2002, yang menegaskan pemerintah bakal menghapus tenaga honorer terhitung 28 November 2023.

Benarkah pemerintah pusat tidak akan mempekerjakan honorer pemerintahan terhitung tahun depan? Benarkah nasib pegawai honorer di berbagai instansi pemerintahan di daerah hanya tinggal 17 bulan?

Tapi yang terpenting, mengapa pemerintah harus memicu kekhawatiran ratusan ribu orang, yang di belakangnya ada keluarga yang bergantung kepadanya pada masa-masa pandemi Covid-19 belum tuntas ini?

Faktanya adalah: Beleid penghapusan honorer itu benar. Pemerintah tampak ingin memangkas pegawai honorer. Pemerintah pusat dan daerah akan mengambil pegawai pengganti lewat skema alih daya (outsourcing).

Argumen utamanya adalah dengan skema alih daya, pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan tenaga honorer. Karena upah mereka nanti tidak lagi seperti saat ini, yang dipandang amat kecil, bisa di bawah Rp 300 ribu per bulan. Skema alih daya mengsyaratkan, baik pemerintah pusat maupun daerah mengupah pekerja alih daya sesuai dengan standar upah minimum di kota/kabupaten tersebut.

 
Persoalan kesejahteraan honorer adalah permasalahan menahun yang belum bisa ditemukan pemecahan secara menyeluruh.
 
 

Persoalan kesejahteraan honorer adalah permasalahan menahun yang belum bisa ditemukan pemecahan secara menyeluruh. Setiap daerah pasti memiliki kisah sedih pegawai honorernya masing-masing.

Mulai dari honor yang diterima amat rendah, masih dipotong oleh oknum atasan, hingga tidak mendapat cakupan jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan. Honorer juga disebut menjadi sarang kolusi dan nepotisme. Tempat menampung sanak saudara dan relasi untuk berkomplot terhadap anggaran publik.

Persoalan honorer juga membuka borok pemerintah sendiri. Rupanya pemerintah pusat tidak memiliki data berapa jumlah tenaga honorer di seluruh Indonesia. Data tercatat memang ada di Kemenpan-RB. Tapi begitu data itu disandingkan dengan data di asosiasi pemerintahan daerah maka muncul data berbeda. Perbedaannya mencapai ratusan ribu orang.

Perbedaan data ini baru dari satu asosiasi saja, yakni Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia. Belum membandingkan dengan data tenaga honorer milik Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia dan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia. Bisa jadi malah beda data semakin besar.

Persoalan data honorer menjadi krusial. Karena data seharusnya menjadi tulang punggung sebelum merilis kebijakan publik. Salah data dan salah menafsirkan data, akibatnya bisa fatal. Apalagi, ini bukan sembarang data.

Data ini merepresentasikan manusia yang punya kehidupan dan tanggungan keluarga. Kita tentu mendesak agar pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wapres Ma’ruf Amin untuk mendata dengan baik seluruh tenaga honorer ini, barulah kebijakan disusun.

 
Reportase koran ini menemukan ada daerah, yang dinas kebakarannya diisi seluruhnya oleh tenaga honorer.
 
 

Persoalan berikutnya adalah penolakan dari pemerintah kota. Kepada pers akhir pekan lalu dengan tegas beberapa wali kota menolak rencana penghapusan tenaga honorer di pemerintahan mereka. Wali Kota Jambi Syarif Fasha sampai menyebut bisa terjadi ‘kiamat kecil’ kalau rencana itu dijalankan. Mengapa? Sebab pemerintahan kota ternyata menyandarkan pelayanan publiknya kepada tenaga honorer.

Ini bukan sekadar administrasi, melainkan juga teknis. Reportase koran ini menemukan ada daerah, yang dinas kebakarannya diisi seluruhnya oleh tenaga honorer. Begitu juga dinas perhubungan, dinas pekerjaan umum, dan lain sebagainya.

Pemerintah kota mengambil honorer sebagai jalan pintas kekurangan tenaga aparatur sipil negara, sekaligus mengakali minimnya anggaran kota mereka untuk membayar pegawai dengan layak.

Tenaga honorer kini terjepit di tengah. Di antara kebutuhan daerah dan kepentingan pusat. Harus ada solusi menyeluruh terhadap kesejahteraan mereka. Salah satunya adalah dengan tetap mempekerjakan mereka lewat skema alih daya, bilamana beleid ini ngotot dipaksakan. Tampaknya pula tidak seluruh tenaga honorer bakal diangkat karena anggaran daerah terbatas.

Jadi, pengangguran sudah di depan mata. Namun sebelum itu terjadi, pemerintah pusat sebaiknya menahan dulu beleid ini, sembari membereskan persoalan data dan dari mana anggaran pembayaran tenaga alih daya. Pers dan publik pasti dan harus mengawal persoalan honorer ini hingga tuntas.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Cara Alquran Hadapi Islamofobia

Kini, berabad-abad sesudah zaman Rasul SAW gerakan Islamofobia masih saja gencar.

SELENGKAPNYA

Bus Shalawat Siap Layani Jamaah

Bus dioperasikan bertahap sesuai rasio jumlah jamaah yang tiba di Makkah.

SELENGKAPNYA

Stagflasi dan Anomali Ekonomi Syariah 

Dalam keadaan stagflasi, pelaku bisnis memiliki dua tantangan besar.

SELENGKAPNYA