Penerbangan lampion perdamaian saat perayaan Waisak 2566 BE di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Senin (16/5/2022). | Wihdan Hidayat / Republika

Tajuk

Lebih Kreatif Mengelola Borobudur

Seharusnya, pengelola taman wisata Borobudur bisa lebih kreatif menjawab tantangan konservasi.

Rencana pengenaan harga tiket yang berbeda di Candi Borobudur memicu pro kontra di publik. Ada yang sepakat, banyak pula yang protes dan menolak. Cara penyampaian informasi pemerintah justru membuat masyarakat bingung.

Ini yang berubah, apakah tiket masuk kawasan Candi Borobudur? Atau tiket untuk naik ke Candi Borobudur? Atau bagaimana? Pemerintah terlihat lagi-lagi memanfaatkan pro kontra publik untuk menguji kebijakan, yang kabarnya, diketok pekan depan oleh Presiden Joko Widodo.

Sejauh ini yang didapat pers adalah: Tiket masuk kawasan Candi Borobudur masih tetap, baik untuk wisatawan lokal maupun mancanegara. Wisatawan lokal dikenakan Rp 50 ribu per orang dewasa. Untuk siswa/siswi bisa lebih murah lagi. Lalu, apa itu yang Rp 750 ribu?

Ini adalah tiket khusus alias spesial bila wisatawan lokal ingin naik Candi Borobudur. Ya, maksudnya adalah tidak sekadar puas mengelilingi dari luar candi Buddha terbesar di dunia itu. Tapi bisa menikmati secara lebih intensif lagi kamadhatu (kaki candi), berjalan di lorong rupadhatu (badan candi) sambil melihat relief yang menggambarkan kitab Karmawibangga, dan akhirnya bisa melihat dari dekat puncak stupa besar di arupadhatu (puncak candi).

Mengapa tiket naik harus dibuat lebih mahal? Mengapa tidak dibebaskan saja seperti sebelumnya? Borobudur kan warisan kekayaan nenek moyang Indonesia, yang harusnya bisa dinikmati oleh seluruh warga negara. Bagaimana dengan para pengikut Buddha, apakah mereka juga harus membayar mahal saat berhari raya di candi yang dibangun pada abad ke-8 itu?

 
Mengapa tiket naik harus dibuat lebih mahal? Mengapa tidak dibebaskan saja seperti sebelumnya? Borobudur kan warisan kekayaan nenek moyang Indonesia, yang harusnya bisa dinikmati oleh seluruh warga negara.
 
 

Sorotan ini tentu saja sebuah kesempatan yang harus dimanfaatkan kantor pengelola taman wisata Borobudur. Mereka harus menjelaskan dari sisi pariwisata, publik, riset, dan keagamaan, bagaimana kondisi Borobudur pascapandemi Covid-19 ini. Perawatan candi adalah hal menarik yang juga unik.

Di Museum Borobodur sudah dipaparkan bagaimana cara merawat candi yang terbuat dari bongkahan batu itu. Tidak mudah. Ironisnya, Borobudur justru mendapat ancaman amat besar dari pengunjungnya itu sendiri. Yakni, dari sentuhan dan dari gesekan tapak sandal/sepatu pengunjung.

Kok bisa? Ya, batu candi perlahan-lahan menjadi aus. Tidak ada teknologi yang bisa menghentikan aus sebuah batu candi. Kecuali menggantinya dengan batu yang baru. Bayangkan bila sehari ada 12 ribu orang menyentuh dan menjejakkan kakinya di tingkatan Borobudur.

Lalu dikalikan dengan 365 hari. Kemudian ditambah faktor jamur, hujan, debu, dan cuaca lainnya. Inilah yang harus dihadapi para konservator di kantor taman wisata Borobudur.

Apakah mencetak tiket baru seharga Rp 750 ribu bisa menjadi solusi itu? Ini menjadi debat publik yang menarik. Tetapi, harus ada solusi yang bisa menengahi kepentingan konservasi candi, riset, wisata, dan keagamaan. Apalagi, Borobudur adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

 
Apakah mencetak tiket baru seharga Rp 750 ribu bisa menjadi solusi itu? Ini menjadi debat publik yang menarik. Tetapi, harus ada solusi yang bisa menengahi kepentingan konservasi candi, riset, wisata, dan keagamaan. 
 
 

Mematok harga tiket naik ke Candi Borobudur berarti membatasi akses publik menikmati dan mempelajari warisan budaya Borobudur secara langsung. Apa yang ada di rupadhatu dan arupadhatu Borobudur akhirnya menjadi eksklusif bagi kelompok tertentu saja. Padahal, Candi Borobudur sejatinya harus bisa dinikmati publik seluas luasnya. Dari sudut pandang ini, rencana penetapan tiket naik menjadi sangat elitis.

Mematok harga Rp 750 ribu untuk naik ke Candi Borobudur juga akan memantik persoalan dengan para pengikut Buddha. Bagaimana saat hari raya mereka? Apakah ada pengecualian dari manajemen? Padahal, perayaan di Borobudur adalah salah satu magnet wisata candi tersebut, karena diikuti oleh ribuan orang. Bukan lagi menjadi sekadar perayaan agama tertentu, melainkan sebuah acara budaya yang bisa diikuti oleh siapa saja.

Melihat animo wisata pascapagebluk Covid-19 yang sedang tinggi-tingginya maka merilis harga tiket baru untuk naik ke Candi Borobudur, malah bisa berdampak negatif.

Seharusnya, pengelola taman wisata Borobudur bisa lebih kreatif menjawab tantangan konservasi. Memberdayakan museum-museum yang terserak di Borobudur menjadi lebih interaktif dan modern. Memanjakan pengunjung lewat hiburan bioskop Borobudur yang lebih variatif.

Sampai dengan membangun replika potongan kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu yang bisa dinikmati pengunjung, tanpa harus khawatir soal pelestariannya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Menikmati Takdir Kematian

Nikmati saja jatah hidup ini dengan beramal saleh sampai kematian tiba.

SELENGKAPNYA

Konsorsium Quantum Power Siapkan Pembangunan PLTS 3,5 GW

Quantum berencana membangun PLTS sebesar 3,5 GW di Kepulauan Riau.

SELENGKAPNYA

NFA: Importir Wajib Serap Kedelai Petani

Holding BUMN Pangan melalui SHS telah memulai budi daya penanaman kedelai.

SELENGKAPNYA