
Kisah Dalam Negeri
Tabrani, Komunitas Cina, dan Menteri Tahu-Tempe
Tabrani yang dari Madura dianggap lebih layak menjadi menteri karena ia telah banyak berbuat untuk warga Cina peranakan.
OLEH PRIYANTONO OEMAR
Pada 1930 Partai Rakyat Indonesia yang didirikan M Tabrani memandang semua elemen penduduk di Indonesia (orang Belanda, Cina, Arab, Indo-Eropa, Indo-Cina, Indo-Arab, dan sebagainya) harus menjadi warga negara yang memiliki hak yang sama.
Setelah Indonesia merdeka, Indonesia memiliki Undang-Undang Kewarganegaraan. Tapi, belum sempat dijalankan, keburu pecah perang setelah Belanda melakukan agresi militer.
Pada November 1949, sebagai kepala Urusan Minoritas (dulu disebut Minoriteit) Kementerian Dalam Negeri, Tabrani menyinggung soal konflik pada masa Revolusi Kemerdekaan yang memakan korban penduduk Cina. “… saya jamin itu tidak pernah menjadi keinginan rakyat Indonesia. Unsur-unsur jahat yang mengambil keuntungan …” ujar Tabrani.

Pada masa Revolusi Kemerdekaan itu, orang-orang Cina di berbagai daerah berlindung kepada Sekutu/Belanda. Ketika orang Republik menyerbu wilayah yang telah dikuasai Sekutu/Belanda, orang-orang Cina menjadi korban.
Di Tangerang, misalnya, ada sekitar 40 ribu orang Cina pada 1946. Sebanyak 70-100 orang di antaranya, menurut Palang Merah Indonesia, terbunuh. Tapi, Sekutu menyebutkan, ada 600 orang Cina yang terbunuh. Tabrani, atas nama pemerintah, meminta maaf atas konflik-konflik seperti ini.
Untuk membuka lembaran baru, menurut Tabrani, syarat utamanya adalah menyelesaikan persoalan minoritas lewat keamanan dan kepastian hukum. Ini terkait dengan kesejahteraan rakyat. Sebab, jika ada kemiskinan, keamanan dan kepastian hukum susah diwujudkan. Karenanya, Tabrani menyarankan agar kaum minoritas juga memberikan upaya terciptanya kesejahteraan rakyat.
Meningkatkan kesejahteraan rakyat, dinilai Tabrani, menjadi salah satu strategi untuk menghalau pengaruh komunisme, selain membuat program untuk pemuda.
Meningkatkan kesejahteraan rakyat, dinilai Tabrani, menjadi salah satu strategi untuk menghalau pengaruh komunisme, selain membuat program untuk pemuda. Menurut Tabrani, kemiskinan adalah tempat terbaik berkembangnya komunisme. Agar para pemuda tidak bertekuk pada komunisme, para pemuda harus dibuat sibuk dengan berbagai kegiatan, misalnya olahraga dan membaca.
“Anak laki-laki harus belajar dan berolahraga. Jika mereka pulang ke rumah dalam keadaan sudah lelah, di malam hari maka mereka tidak punya waktu untuk hal-hal yang salah lagi,” kata Tabrani.
Kesejahteraan juga bisa dicapai dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Tabrani mengabarkan, pada 1949 itu, 51 persen saham perusahaan penerbangan KLM sudah milik Indonesia. Tabrani berharap, hal ini bisa diikuti yang lainnya.
Menurut pendapat pribadi Tabrani, perusahaan koran dan bank juga harus dikuasai orang Indonesia. Tak masalah modalnya, asal pimpinannya adalah orang Indonesia.
Ini kemudian dilakukan Tabrani pada 1954 ketika Coca Cola hadir kembali di Indonesia. Coca Cola pertama kali hadir di Indonesia pada 1927, tetapi ketika Jepang masuk berhenti beroperasi. Lalu, ketika hadir kembali setelah Indonesia merdeka, Tabrani menjadi direktur utamanya.
Meski di masa Republik Indonesia Serikat bahasa negara yang ditetapkan adalah bahasa Indonesia, menurut Tabrani, koran-koran berbahasa Belanda masih boleh terbit. Masih ada banyak orang yang ingin membaca koran berbahasa Belanda. Tapi, kata Tabrani, jika orang-orang Belanda yang tidak lahir di Indonesia (dan juga orang-orang Cina yang tidak lahir di Indonesia) ingin menjadi warga negara Indonesia, mereka wajib menguasai bahasa Indonesia.
Koran-koran berbahasa Belanda masih boleh terbit. Masih ada banyak orang yang ingin membaca koran berbahasa Belanda.
Ketika keliling Sumatra pada 1950, Tabrani menyatakan, Kementerian Dalam Negeri akan mengangkat 100 orang Cina menjadi birokrat yang akan ditempatkan di berbagai kabupaten. Penempatan pejabat Cina peranakan ini diharapkan akan mempermudah pekerjaan yang berkaitan dengan minoritas.
Masalah yang mendera komunitas Cina masih berlanjut pada 1950-an ini. Di masa ini, orang-orang Cina juga menguasai perkreditan di desa-desa. Maka, kebijakan campur tangan tentara di bidang ekonomi dan pemerintahan di masa ini berimbas pada keberadaan orang-orang Cina.
Mereka ditarik ke kota karena mulai 1 Januari 1960 dilarang melakukan perdagangan di desa. Yang terkena keputusan akibat kekacauan ekonomi dan politik di masa demokrasi terpimpin itu sebenarnya pedagang Arab dan India, tetapi secara politis orang Cina terkena lebih parah.
Menurut Ricklefs di buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, akibat kebijakan ini Pemerintah Cina tetap menekan Jakarta, meski Sukarno dan PKI telah membela orang-orang Cina di Indonesia. Ada 119 ribu orang Cina yang dipulangkan ke Cina akibat kebijakan tentara itu.
Selama menjadi Kepala Urusan Minoriteit Kementerian Dalam Negeri, Tabrani mendapat pujian dari masyarakat Cina. Sejak Kabinet Sjahrir III (Oktober 1946-Juli 1947), pemerintah memiliki menteri negara yang mengurusi masyakarat minoritas.
Lalu, ketika Tabrani menjadi kepala Urusan Minoritet Kementerian Dalam Negeri, di kabinet Amir Syarifuddin (Juli 1947-Januari 1948) juga masih ada Menteri Negara Urusan Minoritet. Di kabinet Sjahrir III, menterinya adalah Tan Po Gwan dan di kabinet Amir Syarifuddin menterinya Siauw Giok Tjhan.
Setelah Soeharto berkuasa, Siauw Giok Tjhan dipenjara 13 tahun karena dianggap mendukung PKI. Pada 1951, ketika PKI menerbitkan koran Harian Rakjat, koran itu dicetak di percetakan milik Siauw Giok Tjhan.
Ia pada 1954 mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) sekaligus menjadi ketua umumnya. Ia menolak asimilasi. Baperki memperjuangkan integrasi karena dengan hal itu masyarakat Cina di Indonesia masih tetap bisa mempertahankan budaya leluhur.
Dengan demikian, kata Siauw Giok Tjhan, Cina berhak mendapat pengakuan sebagai suku di Indonesia. Sukarno mendukung hal ini.
Ternyata, masyarakat Cina tidak menyukai Siauw Giok Tjhan ketika ia menjadi menteri negara. Ia malah disebut sebagai menteri tahu-tempe karena selama menjabat ia asyik dengan serikat pekerja Djawa Hua Chiao Tsing Nien Hui.
Ia malah disebut sebagai menteri tahu-tempe karena selama menjabat ia asyik dengan serikat pekerja Djawa Hua Chiao Tsing Nien Hui.
Para pengungsi Cina di berbagai daerah yang menjadi korban selama agresi militer Belanda ia dorong bergabung di asosiasi ini untuk mendirikan usaha produksi tahu-tempe. Sementara, urusan-urusan lain yang diadukan kepadanya tak mendapatkan respons positif darinya. “Dia tidak pernah melakukan hal lain untuk kepentingan para pengungsi,” kata Sin Po.
Koran Keng Po juga menilai buruk Siauw Giok Tjhan. Ia disebut Keng Po memiliki hubungan buruk dengan Chung Hwa, perkumpulan yang memperjuangkan kesetaraan orang Cina dengan orang Belanda. Ketika pada Juli 1947 barang-barang dan uang kertas orang-orang diambil orang Indonesia, Siauw Giok Tjhan malah menjawab bahwa selayaknya barang-barang dan uang kertas mereka disita.
Maka, dalam kaitannya dengan kasus-kasus itu, masyarakat Cina memilih memuji Tabrani. Tabrani yang dari Madura lebih dihargai daripada Siauw Giok Tjhan yang merupakan Cina peranakan. Tabrani dianggap lebih layak menjadi menteri yang mengurusi Cina peranakan karena ia telah banyak berbuat untuk orang-orang Cina.
Jangan Lupa Bahagia
Kebahagiaan sesungguhnya datang dari kemampuan memaknai hidup dan nilai-nilai yang dijunjung.
SELENGKAPNYAZainab binti Abu Salamah Tumbuh di Bawah Asuhan Rasulullah
Zainab meriwayatkan hadis tentang ketentuan masa berkabung untuk seorang perempuan.
SELENGKAPNYABatavia Kolonial dan Jakarta Soekarno
Setelah kemerdekaan, Jakarta berubah total. Sejumlah patung dan tempat yang menggambarkan masa kejayaan kolonail dihancurkan.
SELENGKAPNYA