Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Distopia atau Utopia

Sepertinya, ramalan masa depan pada dunia fiksi, lebih banyak menggambarkan kehancuran daripada kesejahteraan umat manusia.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Ada dua peradaban ekstrem yang mungkin terwujud pada masa depan, distopia atau utopia. Utopia adalah gambaran masa depan yang ideal, indah, dan sejahtera. Segalanya lebih maju, modern, harmonis, tertib, dan lancar. Manusia berada di puncak peradaban.

Sebaliknya peradaban distopia, manusia justru terpuruk pada situasi yang buruk, hancur, berantakan, dan serbakekurangan.  Sebagaimana sering menghiasi  novel dan film atau kisah-kisah  dengan latar masa depan.

Sebagian besar kecenderungan imajinasi kreatornya justru menggambarkan bumi akan masuk ke era kerusakan entah akibat perang, penyakit, bencana alam, atau unsur dari luar bumi. Simak World War Z, I am Legend, Walking Dead, Hunger Game, Terminator, Mad Max, Matrix, dan lain-lain.

Bahkan, jika kita menilik science fiction utopia yang maju pada masa depan, seperti Star Wars, Star Trek, Guardian of The Galaxy, dan lainnya  pun berawal dari kehancuran dunia terlebih dahulu.

 
Sepertinya, ramalan masa depan pada dunia fiksi, lebih banyak menggambarkan kehancuran daripada kesejahteraan umat manusia.
 
 

Sepertinya, ramalan masa depan pada dunia fiksi, lebih banyak menggambarkan kehancuran daripada kesejahteraan umat manusia. Walaupun demikian, jika kita melihat perkembangan saat ini, sepertinya ada harapan dunia akan mengarah pada perkembangan lebih baik.

Mobil listrik dan energi solar terbaru akan mulai dipakai secara individual atau masif sehingga menggeser energi fosil yang terbatas dan merusak. Banyaknya negara yang mulai meninggalkan pembangkit listrik tenaga nuklir juga menjadi angin baik. 

Lituania menutup fasilitas nuklir pada 2009. Jerman, Belgia, Swedia, juga mulai menutup Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mereka. Namun, peristiwa  penyerangan Rusia ke Ukraina menggoyang harapan. Seolah menunjukkan kemungkinan sebaliknya yang menanti kita pada masa depan.

Pengembangan nuklir yang sebelumnya hanya ditujukan sebagai bentuk pertahanan mulai diumbar dengan simulasi yang mengkhawatirkan. Dalam orasinya, Presiden Rusia Vladimir Putin tak segan mengancam menggunakan kekuatan nuklir.

 
Pengembangan nuklir yang sebelumnya hanya ditujukan sebagai bentuk pertahanan mulai diumbar dengan simulasi yang mengkhawatirkan.
 
 

Bahkan, Rusia membuat simulasi jika nuklir ditembakkan dan menyebabkan Inggris Raya dan Irlandia hilang dari peta. Sebenarnya tak usah bicara jauh, bahkan tanpa perang nuklir pun perang yang terjadi sudah mengarah pada distopia jika dibiarkan berlarut-larut.

Negara-negara Eropa, misalnya, yang mulai mempertimbangkan mengaktifkan kembali PLTN meski sempat dinonaktifkan, bahkan mendirikan PLTN baru.

Kesepakatan Uni Eropa untuk menghentikan impor minyak mentah dari Rusia langsung membuat harga minyak menyentuh angka di 110 dolar AS per barel. Jika krisis tidak berakhir sepanjang tahun, harga minyak bisa mencapai 185 dolar AS per barel.

OPEC mengakui, tidak ada negara mana pun yang bisa menggantikan peran Rusia, yang menguasai 12 persen pasar global dan memasok hingga tujuh juta barel per hari. Menempatkannya sebagai pengekspor minyak terbesar di dunia.

Sebelum krisis, Rusia memasok lebih dari seperempat impor minyak Uni Eropa dan secara total memasok 40 persen energi fosil di Eropa.

 
Keadaan ini memicu kekhawatiran terjadinya ancaman bencana nuklir, seperti Chernobyl 1986 dan Fukushima 2011. Lalu bagaimana strategi dan peluang Indonesia?
 
 

Sementara itu, Belgia tengah mempertimbangkan untuk memperpanjang PLTN-nya, Prancis akan membangun reaktor nuklir baru demi kemandirian Energi. Romania, Polandia, dan Inggris berminat mengembangkan reaktor modular kecil.

Keadaan ini memicu kekhawatiran terjadinya ancaman bencana nuklir, seperti Chernobyl 1986 dan Fukushima 2011. Lalu bagaimana strategi dan peluang Indonesia?

Meskipun benar saat ini tidak ada satu negara pun yang mampu berdiri sendiri, tidak ada pilihan lain, bangsa Indonesia harus membangun kemandirian di segala bidang.

Di bidang energi, dari lima energi terbarukan, tenaga surya, air, panas bumi, gelombang laut, dan  angin, Indonesia mempunyai semuanya. Sejauh ini, Indonesia sudah mengembangkan banyak pusat listrik tenaga air, tapi masih harus memberi perhatian lebih pada sumber energi lain.

Lebih dari 50 persen provinsi di Indonesia punya potensi angin yang cukup untuk menggerakkan turbin. Indonesia juga memiliki banyak wilayah yang mempunyai kecepatan angin 3 m/s, bahkan Lampung, Jabar, Kaltim, NTB, dan Papua Barat memiliki potensi angin lebih dari 100 kW.hari/m2.

 
Dengan segala potensi itu, Indonesia seharusnya mampu menghindari distopia pada masa depan.
 
 

Potensi panas bumi di Indonesia mencapai 23,9 giga watt (gw) dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Sejauh ini yang dimanfaatkan tidak sampai mencapai 10 persennya.

Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan persentase lautan yang mencapai 70 persen atau sekitar 5,8 km2 dan panjang garis pantai hingga 95.181 km.

Kondisi ini menjadikan negeri kita sangat berpotensi untuk mengembangkan energi dari gelombang laut, sebuah energi yang sangat rendah emisi karbon, densitas energi yang tinggi, serta rendah dampak lingkungan dan visualnya.

Dengan segala potensi itu, Indonesia seharusnya mampu menghindari distopia pada masa depan. Tentu saja jika potensi sebaik itu lalu didukung kebijakan dan strategi yang cerdas dan tepat. 

Timnas Garuda Belum Padu 

Sebelum laga perdana kemarin, pelatih Shin Tae-yong sempat mengakui bahwa kualitas permainan Vietnam lebih baik.

SELENGKAPNYA

WHO: Kematian Terkait Covid-19 Capai 14,9 Juta Jiwa

Jumlah kematian yang sebenarnya hampir tiga kali lipat yang dilaporkan pada saat itu.

SELENGKAPNYA

Puluhan Juta Ton Biji-bijian Tertahan di Ukraina

Menurut Guterres, perang di Ukraina memberi tekanan lebih besar kepada negara berkembang.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya