Ketupat. | Republika/Thoudy Badai

Bodetabek

Buat Ketupat Sejak Masa Nenek Moyang

Ketupat menjadi sajian menggugah selera pada momentum Idul FItri.

OLEH SHABRINA ZAKARIA

Setelah shalat Ashar, Euis (35 tahun) dan Yana (40 tahun) berkumpul di sebuah saung RW 04 Kampung Bojong, Kelurahan Cimahpar, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, baru-baru ini. Di dalam saung tersebut terdapat ratusan helai daun kelapa muda yang siap untuk dianyam.

Dalam waktu kurang dari satu menit, Euis dan Yana dengan lihai menganyam dua helai daun kelapa tersebut menjadi bungkus ketupat. Satu per satu bungkus ketupat itu bertumpuk hingga puluhan dalam waktu singkat.

Seusai bungkus ketupat terbentuk, nantinya bungkus tersebut diisi dengan beras dan dimasak di dalam dandang berukuran besar selama tujuh jam. Hingga akhirnya menjadi ketupat dan dijual ke pasar-pasar.

Sambil menganyam bungkus ketupat, Yana menceritakan, usaha pembuatan ketupat itu telah lama ada. Bahkan, Yana menyebut, usaha ketupat ada sejak zaman nenek moyang. Karena lama dan banyaknya usaha ketupat, kawasan itu dijuluki sebagai “Kampung Ketupat”. Selain Euis dan Yana, sejumlah warga juga sibuk dengan calon ketupatnya di teras rumahnya masing-masing.

Usaha pembuatan ketupat bukan kegiatan Yana sehari-hari. Ibu rumah tangga itu baru memulai usaha pembuatan ketupat mendekati waktu Idul Fitri. Hal itu sama seperti tetangga-tetangganya yang lain.

“Nanti ketupatnya diisi dan direbus dua hari sebelum Lebaran. Sesudah matang ketupatnya diikat, baru dibawa dan dijual ke pasar-pasar,” kata Yana ketika ditemui Republika di Kampung Ketupat.

Ia mengaku, beberapa tahun lalu Yana dibantu oleh keluarganya memproduksi hingga 1.000 buah ketupat dalam waktu sehari semalam. Namun, kini jika dirata-rata, ia hanya bisa memproduksi 500 buah ketupat jika dikerjakan seorang diri.

Lain lagi dengan Uum, perempuan berusia 48 tahun itu memang sehari-hari memproduksi dan menjual ketupat di pasar. Sementara, suami Uum juga menjual doclang menggunakan ketupat buatan istrinya.

Dalam sehari, Uum biasa memproduksi sekitar 1.000 buah ketupat. Ketika dijual, ketupat buatannya dibanderol seharga Rp 20 ribu per ikat berisi 10 buah ketupat.

Jelang lebaran, permintaan ketupat di tempatnya pun meningkat. Di dalam rumah beralas semen ia menunjukkan tiga buah dandang besar berisi ratusan ketupat yang dimasak dengan tungku kayu bakar.

“Jadi, kalau ke saya ada yang beli langsung, nggak ke pasar aja. Ketupat punya saya itu direbusnya pakai kayu bakar. Ketupatnya bisa tahan awet dua hari kalau dimasak pakai kayu bakar,” kata Uum sambil memeriksa ketupat yang sedang dimasak.

Usaha ketupat itu sudah dijalani Uum puluhan tahun. Bahkan, usaha itu dilakukan turun-temurun. Saat ia masih berusia 10 tahun, Uum membantu kedua orang tuanya yang juga produsen ketupat.

Bahan daun kelapa yang digunakannya membungkus ketupat didapatnya dari Banten. Sejauh ini ia belum pernah mengalami kekurangan bahan baku meskipun tetangga-tetangganya juga turut membuat ketupat jelang Lebaran. Menjelang Lebaran, Uum bisa mengantongi uang Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta dari pembuatan dan penjualan ketupat.

“Ada terus, setiap hari ge (juga) ada. Waktu itu juga rekor ada yang pesan 2.000 ketupat. Pesan langsung sama ibu,” katanya.

Senada dengan Uum, warga lain bernama Ade Suhendar (39 tahun) mengatakan, di Kampung Ketupat tidak ada persaingan meskipun hampir semua warga sama-sama membuat ketupat. Cara menjualnya pun berbeda. Ada yang menjual langsung seorang diri, ada juga yang titip jual. Pasar untuk menjual ketupat buatan warga Kampung Ketupat, di antaranya Pasar Bogor, Pasar Ciluar, dan Pasar Induk Jambu Dua.

Selain membuat ketupat, batang dari daun kelapa juga dipisahkan untuk dijadikan sapu lidi. Daun kelapa yang digunakan Ade juga berasal dari Banten.

“Nah, lidinya nanti bisa dipisahin jadi sapu. Seikat dijual Rp 5.000,” ujar Ade.

Selama bertahun-tahun disebut sebagai Kampung Ketupat, Ade mengakui sejauh ini belum ada dukungan dari pemerintah. Ia pun berharap ada bantuan dari pemerintah atau menjadikan Kampung Ketupat menjadi kampung tematik.

“Soalnya di sini hampir setiap hari bikin begini. Ada yang setiap hari jual ke pasar, ada yang cuma pas Lebaran, bisa Idul Fitri dan Idul Adha,” kata Ade.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Ini Blora (ini_blora)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

'Pedang Allah yang Terhunus'

Nabi Muhammad SAW menyebut Khalid bin Walid sebagai salah satu pedang Allah Ta’ala.

SELENGKAPNYA

Memaknai Kemenangan

Seusai Ramadhan, seorang Muslim tumbuh menjadi pribadi yang memiliki perisai dari godaan hawa nafsunya.

SELENGKAPNYA

Tarif Bus di Terminal Baranangsiang Naik

Bus tujuan Jawa Tengah dan Jawa Timur mengalami kenaikan tarif sebesar 100 persen.

SELENGKAPNYA