Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Ramadhan Tiba Tapi Belum Qadha, Bayar Kafarat?

Jika tidak ada uzur, segera bayar atau berpuasa sebelum masuk Ramadhan.

 

 

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Jika tidak berpuasa dan harus mengqadhanya setelah Ramadhan, kewajibannya harus ditunaikan pada tahun tersebut dan tidak boleh masuk Ramadhan selanjutnya, sementara masih punya utang puasa qadha Ramadhan.

Sebagaimana pendapat ulama Hanafiyah, salah satu pendapat masyhur Mazhab Maliki, ulama Syafi'iyah dan Malikiyah, sebagaimana perkataan dari Aisyah RA berkata: “Aku tidak pernah mengqadha apa-apa yang menjadi kewajiban atasku dari Ramadhan, kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Tirmidzi).

Oleh karena itu, jika tidak ada uzur dan mampu menunaikan puasa, segera bayar atau berpuasa sebelum masuk Ramadhan.

Walaupun kewajibannya tidak mendesak (harus ditunaikan pada bulan Syawal), adabnya tunaikan segera sesuai dengan kemampuan walaupun dengan dicicil agar tidak terjadi masuk Ramadhan berikutnya terlupakan, tidak sempat, atau ada uzur.

Padahal pada bulan-bulan sebelumnya tidak ada uzur dan dalam kondisi sehat. Mereka yang tidak menunaikan utang puasa Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, ia berdosa jika ditinggalkan tanpa uzur syar'i.

Baik ada uzur maupun tidak, masuk Ramadhan berikutnya dengan membawa utang puasa Ramadhan sebelumnya, kompensasi yang harus dilakukannya adalah pilihan-pilihan berikut sebagaimana perbedaan pendapat para ulama.

Pertama, cukup mengqadha (Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i). Kedua, mengqadha dan membayar fidyah (Imam Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad).

Sebagaimana dijelaskan Ibnu Rusyd: “Jika utang qadha terlambat ditunaikan hingga masuk Ramadhan kembali, ada perbedaan pendapat di antara ahli fikih. Sebagian berpendapat ia harus membayarnya dengan qadha setelah Ramadhan tersebut, juga membayar kafarat. Itu pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad. Namun, sebagian yang lain berpendapat bahwa yang menjadi kewajiban hanya mengqadha tanpa kafarat. Ini adalah pendapat Hasan al-Bashri dan Ibrahim an-Nakha’i.”

 
Sumber perbedaan pendapat tersebut adalah apakah kafarat itu bisa dianalogikan antara satu dan lainnya atau tidak?
 
 

“Sumber perbedaan pendapat tersebut adalah apakah kafarat itu bisa dianalogikan antara satu dan lainnya atau tidak? Mereka yang tidak memperbolehkan analogi dalam kafarat tersebut berkesimpulan bahwa yang menjadi kewajiban hanya mengqadha.

Namun, mereka yang memperbolehkan analogi dalam kafarat berkesimpulan: (qadha) juga membayar kafarat dianalogikan dengan mereka yang berbuka pada siang Ramadhan dengan sengaja karena kedua-duanya itu melanggar/menodai kesucian puasa” (Bidayatul Mujtahid, hal 240).

Kafarat yang dimaksud adalah fidyah, yaitu berupa: (a) makanan siap santap dengan porsi makanan yang lengkap atau harga satu kali porsi (makanan lengkap) minimal sebesar Rp 35.000 (untuk setiap hari yang ditinggalkan).

(b) Bahan makanan pokok (sembako) senilai minimal harga satu porsi makanan tersebut (untuk setiap hari yang ditinggalkan). (c) Uang tunai minimal sebesar Rp 35 ribu (untuk setiap hari yang ditinggalkan) diserahkan langsung atau melalui lembaga zakat untuk dibelikan makanan (siap santap/sembako).

Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat