Nikah. Akhir-akhir ini nikah beda agama menjadi pembicaraan. | Wihdan Hidayat/ Republika

Khazanah

Nikah Beda Agama Bukan Bentuk Toleransi

Perlu regulasi yang tegas untuk menutup kemungkinan pengaruh paham liberal-sekuler seperti nikah beda agama

JAKARTA — Kasus pernikahan beda agama makin marak. Banyaknya praktik ini terungkap setelah viralnya video pernikahan beda agama di sebuah gereja di Semarang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Pernikahan dilakukan dengan dua tata cara agama, yakni pemberkatan di gereja sesuai tata cara Kristen dan akad nikah sesuai tata cara Islam. Apa yang membuat pernikahan beda agama ini makin sering terjadi? 

Menurut Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Ibrahimy (UNIB) Jawa Timur Prof Muhammad Baharun, bermunculannya kasus pernikahan beda agama tak lepas dari akibat upaya propaganda paham liberalisme. Pernikahan beda agama justru dapat menimbulkan benturan iman dua agama yang berbeda fondasi keyakinan. "Menurut saya, ini kontraproduktif dengan upaya toleransi dalam kebinekaan," kata Prof Baharun kepada Republika, belum lama ini.

Baharun menjelaskan, dalam ajaran Islam pernikahan harus dipandang dari akidah atau agamanya terlebih dulu. Sebab menikah adalah sebuah ibadah. Karena itu, Baharun meminta semua pemeluk agama harus menghargai sikap dan prinsip agama lain. 

"Bagaimana mungkin tujuan sakinah, mawadah, warahmah tercapai jika tidak seiman? Lagi pula saya kira menurut UU Perkawinan, nikah beda agama ini tak bisa dicatatkan di KUA, di samping memang tidak memenuhi rukunnya," kata dia. 

Baharun pun meminta agar para pemuka agama mengedukasi umatnya masing-masing bahwa nikah beda agama itu bukan contoh toleransi yang tepat. Sebab implikasinya pada anak keturunan masing-masing pasangan.

“Nanti di satu pihak ada yang mengislamkan dan ada pula pihak lain yang mau membaptis. Akhirnya bukan toleransi yang mau dicapai malah bisa jadi intoleransi," kata.

Perlu regulasi yang tegas untuk menutup kemungkinan pengaruh penyebaran paham liberalis-sekularis ini di Indonesia. Menurut Baharun, organisasi keagamaan lainnya tak akan mau dibenturkan oleh kepentingan individual umatnya. Terlebih, apabila dikaitkan dengan sulitnya merawat kerukunan beragama selama ini.

Di Indonesia, perkawinan diatur dalam UU No 1/1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dua aturan ini mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, termasuk perkawinan antaragama.

Pada Pasal 2 Ayat 1 UU Perkawinan, disebutkan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Kemudian, dalam Pasal 4 Inpres 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan.

Dalam Pasal 40 huruf c Inpres 1/1991, dinyatakan bahwa "Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu". Dalam huruf c disebutkan, "Seorang wanita yang tidak beragama islam".

Inpres itu juga mengatur larangan perkawinan antara wanita Islam dengan pria yang tidak beragama Islam. Pasal 44 Inpres 1/1991 menyatakan, "Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”

Wakil Menteri Agama (Wamenag) KH Zainut Tauhid Sa'adi sebelumnya mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Jawa Tengah dan memastikan pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). "Peristiwa pernikahan beda agama yang viral di media sosial itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau KUA," kata Kiai Zainut kepada Republika.

Wamenag menjelaskan, sampai saat ini regulasi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No 1/1974  tentang Perkawinan. Dia menegaskan, Pasal 2 Ayat 1 yang mengatur pernikahan seagama, bahkan pernah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pasal ini bahkan pernah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2014 dan sudah keluar putusan MK yang menolak judicial review tersebut," ujar Wamenag. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat