
Kisah
Tak Gentar Hadapi Maut
Gubernur Hajjaj bin Yusuf tidak segan-segan membunuh siapapun yang berseberangan pandangan dengannya.
OLEH HASANUL RIZQA
Pada masa tabiin, umat Islam sempat dilanda prahara. Penyebabnya adalah kekuasaan orang-orang zalim.
Salah seorang penguasa yang semena-mena kala itu adalah Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Gubernur yang mengabdi pada Dinasti Umayyah itu tidak segan-segan membunuh siapapun yang berseberangan pandangan dengannya.
Seorang alim yang menjadi targetnya adalah Said bin Jubair. Ulama tersebut dikenal luas akan kesalehan dan kedalaman ilmunya. Dia belajar pada sejumlah sahabat, termasuk Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Umar.
Bersama dengan koleganya, Said bin Jubair berjuang untuk membendung rezim Umayyah. Saat itu, jabatan khalifah dipegang Abdul Malik bin Marwan. Sang khalifah dinilai telah melakukan banyak kezaliman sehingga ulama ini melawannya.
Sang khalifah dinilai telah melakukan banyak kezaliman sehingga ulama ini melawannya.
Dalam sebuah pertempuran, kelompok anti-Umayyah kalah. Said termasuk yang ditangkap. Sesudah itu, ahli hadis ini dibawa ke hadapan Hajjaj bin Yusuf. Kedua kaki dan tangannya diikat rantai besi. Maka terjadilah percakapan berikut ini.
“Siapa namamu?” tanya Hajjaj dengan angkuhnya.
“Said bin Jubair.”
“Bukan. Namamu adalah Syaqi bin Kusair.”
“Ibuku lebih mengetahui namaku daripada kamu,” timpal Said dengan tenang.
“Celakalah ibumu dan juga kau!” seru gubernur yang berjulukan Algojo Umayyah itu.
“Bukan dirimu yang mengetahui perkara-perkara gaib,” kata sang alim.
“Apa pendapatmu mengenai Muhammad?”
“Beliau adalah Nabi yang membawa rahmat. Pemimpinnya orang-orang yang memperoleh petunjuk,” jawab Said.
“Nah, bagaimana pendapatmu tentang Ali? Apakah dia ada di surga ataukah neraka?” tanya si raja zalim itu lagi.
“Kalau engkau sudah masuk neraka dan menjumpai siapa saja yang berada di dalamnya, pastilah engkau mengetahui siapa penduduk neraka.”
Jawaban itu membuat gusar Hajjaj. “Bagaimana pendapatmu mengenai para khalifah?” selidiknya lagi.
“Saya bukanlah orang yang bertanggung jawab atas mereka.”
“Di antara keempatnya, mana yang paling kau sukai?”
“Adalah yang paling diridhai oleh Tuhanku,” jawab Said.
“Lantas, siapa yang paling diridhai Allah?” tanya Hajjaj.
“Pengetahuan mengenai hal itu ada di sisi Zat Yang Mahamengetahui segala sesuatu.”
“Mengapa engkau tidak tertawa?” periksa Hajjaj kembali.
“Bagaimana bisa seorang makhluk yang diciptakan dari tanah tertawa, sedangkan tanah dapat dilalap api.”
“Dan sekarang kamu lihat, kamilah yang tertawa,” ujar gubernur picik ini sambil terbahak-bahak.
“Ya sebab hati manusia tidaklah sama,” kata Said. Begitu mendengarnya, Hajjaj menghentikan tawanya dan menghardik ulama tersebut.
Sesaat kemudian, gubernur Irak ini menyuruh para prajuritnya untuk membawakan berpeti-peti emas dan permata di hadapan Said. Di dekat tawanan itu, ia juga memerintahkan beberapa orang untuk memainkan instrumen musik, semisal kecapi dan seruling, serta menari-nari.
Seketika, Said menangis. Maka Hajjaj pun bertanya, “Kamu menangis karena musik ini?”
“Yang membuatku menangis adalah kesedihan. Tiupan (seruling) itu mengingatkanku pada hari nanti, ketika sangkakala ditiup.”
Yang membuatku menangis adalah kesedihan. Tiupan (seruling) itu mengingatkanku pada hari nanti, ketika sangkakala ditiup
“Sialan kau, Said!” seru Hajjaj sembari menampar wajah ulama tersebut.
“Tak ada celaka bagi siapapun yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan dalam surga,” kata alim ini.
Hajjaj kemudian menyuguhkan berbagai alat eksekusi mati di hadapan Said, lalu berkata, “Tibakah saatnya engkau memohon pengampunan, ya Said?”
“Sungguh, ampunan hanya dari sisi Allah. Adapun kamu tidak berhak membebaskan atau memberikan ampunan,” tuturnya tegas.
Hajjaj langsung memerintahkan para bawahannya untuk membunuh ulama tersebut. Saat akan dibawa keluar, ternyata Said tertawa. Seorang prajurit kemudian melaporkan hal ini kepada sang gubernur.
“Mengapa kamu tertawa?” tanya Hajjaj.
“Saya takjub pada kelancanganmu terhadap Allah, dan kesabaran-Nya terhadapmu,” ucap Said.
Tanpa menunggu lagi, Hajjaj menyuruh beberapa personelnya untuk mengeksekusi mati dai ahlu sunnah ini di tempat. Saat dirobohkan, Said membacakan surah al-An’am ayat 79. Artinya, “Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.”
Mendengar itu, Hajjaj menyuruh prajuritnya untuk menghadapkan wajah Saad ke arah selain kiblat. Seketika, ulama ini mengucapkan surah Taha ayat 55, terjemahannya, “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain.”
Said menjadi syuhada pada Syaban tahun 96 Hijriyah. Sebelum dibunuh, ia sempat berdoa semoga Allah tak memberi Hajjaj kesempatan untuk membunuh siapapun sesudah dirinya.
Munajat itu ternyata makbul. Pada Ramadhan tahun yang sama, gubernur tersebut mati. Sebelum ajal menjemputnya, Hajjaj dilaporkan menderita insomnia dan paranoid.
Menurut sebuah riwayat, dokter yang memeriksa jasad Said melaporkan, darah masih mengalir deras dari jenazah sang syuhada. Padahal, jasad orang-orang yang sebelumnya dieksekusi mati oleh Hajjaj tak seperti demikian. Hal itu menandakan, ketika dibunuh, Said tidak mengalami ketakutan sedikit pun.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Shalahuddin al-Ayyubi, Sang Pembebas al-Aqsha
Shalahuddin menginginkan pembebasan Yerusalem dengan pertumpahan darah sesedikit mungkin.
SELENGKAPNYAHeroisme Shalahuddin al-Ayyubi
Di Syam, Shalahuddin dengan cepat merebut satu per satu daerah strategis.
SELENGKAPNYAKisah Paul Fransisko yang Mantap Hati Berislam
Pandangan saya mengenai Islam dan Muslim pun mulai berubah.
SELENGKAPNYA