Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Catatan Hati Dua Tahun Pandemi 

Dunia sungguh tempat berpisah. Terasa benar selama dua tahun pandemi Covid-19 ini.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Lebih dari 730 hari. Luar biasa deret angka yang tercipta selama dua tahun pandemi Covid-19 yang jatuh pada 2 Maret lalu.  Total  4,9 Juta positif korona, 148.660 korban meninggal. Banyak pelajaran sabar dan kegigihan bagi diri maupun keluarga terkena. 

Wara-wiri berita dan data memaksa siapa saja bersiap. Sebab lingkaran positif kian dekat. Kalau dulu sepertinya virus hanya menghampiri orang-orang yang kita tidak kenal, bergulir  ke kenalan, lalu mendekati teman, tetangga, dan meski tak diharapkan; keluarga atau diri sendiri. 

Seperti yang belum lama kami alami. Bagi keluarga saya: suami dan dua anak, serta menantu setelah dua tahun kurang satu bulan berusaha waspada dan prokes termasuk menghindari kerumunan, akhirnya positif juga. Beberapa teman yang isoman, ada juga yang sampai dirawat di rumah sakit, bahkan masuk ICU, dituntut tegar dan mampu melindungi diri dari pikiran negatif dan waswas.

Pasien yang terjangkit virus SARS-COV2 ini tidak bisa didampingi di kamar perawatan, sebagaimana umumnya penyakit lain. Upaya menghibur dan menguatkan hanya melalui pesan di ruang percakapan, rekaman suara, video call, pemutar Alquran, dan ungkapan tanda sayang lain yang bisa dikirim keluarga dan kerabat ke rumah sakit.

 
Mereka yang mengerti bahwa ruang untuk amal saleh kini terus terbuka lebar, mencari-cari tak hanya siapa di antara tetangga yang bisa dibantu. 
 
 

Banyak pelajaran syukur ketika terkena dengan gejala relatif ringan atau tanpa gejala sama sekali hingga memungkinkan isoman atau dirawat di rumah. Pun alhamdulillah ketika akhirnya negatif.

Tidak terhingga manfaat dari ta’awun; saling menolong dan berusaha meringankan yang sakit. Empati kian berdenyut. Berbagai lapisan masyarakat baik dikordinir atau pun tidak, berusaha berbuat sesuatu. 

Semangat sedekah melonjak. Mereka yang mengerti bahwa ruang untuk amal saleh kini terus terbuka lebar, mencari-cari tak hanya siapa di antara tetangga yang bisa dibantu. Gerakan katering gratis selama tujuh hari isoman berlaku di mana-mana. Kita belajar pembagian tugas. Siapa yang mengkordinir donasi, siapa yang belanja, lalu memasak.

Siapa yang mengkordinir pendataan, pemberian obat dan bantuan terhadap warga, selama terdampak, termasuk mencatat dengan aktif nama-nama warga, yang usai isoman, kini tanpa gejala dan telah menerima surat elektronik dari puskesmas.

Perhatian dan bantuan terus meluas. Juga ke para dhuafa, berbagai kalangan yang perlu dikuatkan. Para pengemudi online, tukang sampah, cleaning service, satpam, marbot, buruh, guru khususnya yang honorer, juga rumah-rumah yatim piatu, dan pesantren tahfiz, apalagi yang memang sejak awal sengaja tidak mengenakan biaya.

Ketika semua pihak sulit, PHK menimpa jutaan rakyat, kegiatan dan ruang publik dibatasi, siapa yang memastikan pasokan beras dan kebutuhan mereka semua terpenuhi. Bagaimana pula mereka menyambut Ramadhan, adakah buat sahur dan berbuka setiap hari? 

 

 
Perhatian dan bantuan terus meluas. Juga ke para dhuafa, berbagai kalangan yang perlu dikuatkan.
 
 

 

Haru menyaksikan kepedulian terus tumbuh. Juga keinginan untuk fastabiqul khairat. Meski di antara kebahagiaan, pelajaran lain menanti mereka yang melalui kehilangan; pasangan, anak, orang tua, saudara, sahabat, dan kenalan.

Jalan panjang untuk menjernihkan keikhlasan, kemampuan untuk tetap berprasangka baik kepada Allah, bahkan saat menerima takdir yang tak diinginkan. Dunia sungguh tempat berpisah. Terasa benar selama dua tahun pandemi Covid-19 ini. 

Tujuh ratus tiga puluh hari lebih dalam harap-harap cemas dengan takdir yang di mata manusia sangat acak. Ada yang kontan terdampak hebat, bahkan sebelum mampu bersiap.

Sejak korona menghampiri Tanah Air, kita memang terpaksa kuat. Dipaksa siap. Menyadari tidak satu pun mampu memilih takdir, tapi setiap manusia insya Allah selalu bisa memilih cara bagaimana menghadapinya. 

 

 
Sikap diskriminatif terhadap penerita Covid-19 jauh menyusut. 
 
 

Edukasi terus bergulir. Masyarakat kian paham prokes -- semoga diiringi kesadaran yang tidak menipis hanya karena merasa sudah vaksin -- hingga bisa tetap melindungi keluarga dan orang-orang di sekitarnya.

Sikap diskriminatif terhadap penderita Covid-19 jauh menyusut. Kericuhan berkurang, termasuk perebutan jenazah terdampak Covid --antara keluarga dan pihak rumah sakit, yang dulu cukup sering menghiasi berita. 

Perjalanan waktu telah menempa kita. Maka lalu menjadi catatan menarik saat mengamati, ragam sikap di antara kita saat menerima hasil swab atau PCR dan dinyatakan positif. Syukurlah makin banyak yang bersikap terbuka.

Tanpa menunda, segera menginformasikan kondisinya yang terpapar. Memberikan pengumuman dengan menaruh status, mengirim berita pada kerabat dan tetangga dekat, juga grup ruang percakapan di ponsel, atau media sosial. Salah satunya berharap kian banyak tangan yang mendoakan.

Namun masih ada pula yang memilih diam. Mungkin karena merasa tidak banyak berinteraksi dengan orang lain karena cenderung hanya di rumah. Meski ada pihak yang aktif dan jelas-jelas positif, tapi memilih menutupi, alih-alih menginformasikan ke pihak-pihak yang sempat berinteraksi. Sebab ini bukan lagi wilayah pribadi, melainkan menyangkut keselamatan banyak orang. 

Tetapi bukankah omikron relatif ringan, cenderung tidak berbahaya? Dari mana kita pasti bahwa virus yang menghampiri adalah omikron dan bukan delta? Sebab varian delta masih ada dan terus mengintai. Tes untuk memastikan varian apa yang mengenai kita, kabarnya memakan biaya sekitar Rp 7 juta. 

 

 
Tindakan menyembunyikan fakta  saat kita terjangkit, sangat mungkin membahayakan pihak yang dalam jangka waktu dekat berinteraksi.
 
 

 

Dan walau telah jauh berkurang, kematian karena Covid-19 masih terjadi. Beberapa teman menceritakan, walau di banyak tempat terasa lebih tenang, raung ambulans masih berbunyi cukup sering di kompleks perumahannya, juga berita meninggal akibat Covid-19. 

“Yang terakhir tetangga, tragis benar. Istri dan anaknya positif, dia yang negatif mengungsi dan baru pulang ke rumah setelah semua negatif. Ternyata kemudian dia terjangkit. Istri dan anak sembuh, tapi sang kepala keluarga meninggal.”

Virus dengan kemampuan menyebar luar biasa dahsyat, entah bagaimana caranya menghampiri seseorang. 

Satu hal, tindakan menyembunyikan fakta saat kita terjangkit, sangat mungkin membahayakan pihak yang dalam jangka waktu dekat berinteraksi, juga keluarga mereka.

Di antaranya bisa saja memiliki komorbid atau dalam usia riskan atau malah belum vaksin karena satu dan lain hal. Mereka yang selama ini telah sekuat tenaga berusaha dijaga dan dilindungi pihak keluarga agar tidak terpapar karena bisa berakibat fatal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat