
Teraju
Menelisik Muasal Batik Peranakan
Krisis kain pada masa Kolonial Belanda melahirkan banyak sub-genre batik baru yang dikembangkan keturunan Belanda, Arab, dan Tionghoa di Indonesia. Mengawinkan banyak budaya dan kaya filosofi.
OLEH SIWI TRI PUJI B
Batik encim, Anda mengenalnya kan? Dari namanya kita akan tahu dari genre mana batik ini berasal. Nama encim merujuk pada akar Tionghoa, kata encim berarti bibi dalam bahasa kaum Cina peranakan di Indonesia.
Batik encim yang kita kenal saat ini masuk dalam sub-genre batik peranakan yang lahir pada akhir abad ke-18. Sebelumnya, orang hanya mengenal batik pedalaman (batik keraton) yang banyak pakem dan aturan pemakaiannya.
Batik peranakan adalah sub genre batik pesisir, yang lebih fleksibel dalam pakem dan aturan pemakaiannya. Batik peranakan banyak dihasilkan oleh kaum peranakan baik yang berasal dari keturunan Cina, Arab, dan Belanda yang bermukim disepanjang pesisir pantai utara (pantura) Jawa.
Setelah Indonesia merdeka, batik peranakan hanya dihasilkan oleh keturunan Cina. Daerah penghasil batik peranakan Pekalongan, Lasem, Cirebon, Indramayu, hingga Tuban dan Gresik.

Menurut peneliti batik peranakan, William Kwan Hwie Liong, pada awalnya batik peranakan dibuat dan dipakai oleh pengusaha batik dan konsumen dengan latar belakang budaya peranakan. Batik ini dicirikan dengan motifnya yang lebih beragam, filosofinya tidak semua orang tahu, warnanya sangat beragam, beda dengan batik pedalaman yang didominasi warna soga. "Ragamnya ada tiga berdasar pembuatnya, yaitu peranakan Cina, Arab, dan Belanda," ujarnya, dalam diskusi bertajuk "Batik Peranakan, Pusaka Budaya Indonesia" yang diselenggarakan oleh PPBI Sekar Jagad Yogyakarta, pekan lalu.
Batik peranakan Arab dan Belanda dikembangkan terbatas, hanya di Pekalongan, Solo, Banyumas, dan Pacitan. Pada perkembangannya, batik peranakan Arab juga tak semenonjol batik peranakan Cina dan Belanda. Yang masih populer hingga saat ini adalah batik Jupri dari Palembang, yang sejatinya dibuat oleh saudagar batik keturunan Arab di Pekalongan dan Cirebon. Sebaliknya, batik peranakan Cina lebih tersebar di banyak wilayah di pesisir utara Pulau Jawa.
Batik peranakan awalnya terinspirasi kain-kain dari India. Dua yang menonjol yaitu kain motif pohon hayat (tree of life) asal Chitz dan tenun patola dari Gujarat. Mirip saja, lo ya, bukan jiplak abis, karena kain dari India tentu saja tidak dibuat menggunakan teknik perintangan menggunakan malam, seperti jamaknya teknik batik yang masih dilestarikan hingga hari ini."Desain dipengaruhi India iya, tapi secara teknik tidak," tegas Kwan yang juga ketua Institut Pluralisme Indonesia.

Ia menyebut ornamen seperti pohon hayat jamak dijumpai pada batik-batik peranakan awal. Kwang mencontohkan motif gendakan pada batik Rifaiyah, yang sepenuhnya mengadopsi ornamen ini.
Pada batik peranakan Cina, motif India ini diperkaya dengan ornamen yang lekat dengan budaya leluhurnya. Misalnya dengan menambahkan burung Hong atau mengganti motif bunganya dengan bunga peony. Latarnya? Masih kosong, sama seperti kain India, tanpa isen-isen.
Motif patola diterjemahkan menjadi motif Jlamprang pada batik pesisir dan motif nitik pada batik pedalaman. Begitu juga motif sembagi asal Coromandel, India, juga diadopsi untuk membuat ornamen tumpal pada sarung peranakan. Hingga kini, motif ini dikenal aebagai motif pucuk rebung.
Selain dari India, motif batik peranakan juga dipengaruhi budaya Cina. Dalam pertukaran perdagangan dengan Cina, Hindia-Belanda banyak mengimpor kain Nanking, yaitu kain katun dari Pantai Timur Cina, yang dibuat mirip teknik batik tapi tak persis sama. Mereka menggunakan bubur dari biji kedelai yang diaplikasikan ke atas kain menggunakan semacam stensil. Warna kain Nanking juga selalu biru, karena menggunakan warna indigo saja.

Dalam batik peranakan, kain ini diperkaya motifnya dan juga warnanya. Salah satu foto batik yang terinspirasi kain Nanking ini tercantum dalam buku History of Java karya Raffles.
Mengapa mengadopsi motif India dan juga Cina? Tak lain adalah karena kebijakan India pada pertengahan abad ke-18 untuk mengurangi ekspor kain secara signifikan ke banyak negara termasuk Indonesia. Pada kurun itu, terjadilah "krisis kain" terutama di Pulau Jawa. Oleh segelintir saudagar, hal ini dibaca sebagai peluang. Mulailah kain-kain asal India ini diproduksi ulang dalam teknik batik.
Meski berlabel batik peranakan, para perkembangannya tak hanya dikembangkan oleh keturunan yang sama, tapi menjadi bisnis yang berlaku umum dan dikembangkan siapa saja. "Bussiness is bussiness," kata Kwan. Batik bergaya peranakan Belanda (1840-1942), misalnya, juga dikembangkan oleh saudagar keturunan Cina, Arab, atau Jawa.
Hanya saja, perkembangan batik peranakan saat ini tidak sepesat dulu. Salah satu tantangannya adalah inovasi desain kain dan produk turunannya juga masih sangat terbatas. Namun yang paling utama adalah karena kesulitan regenerasi pengusaha dan pembatik batik peranakan. “Anak-anak muda baik dari pengusaha maupun pembatik enggan untuk meneruskannya,” kata Kwan.
Dua yang Melegenda
Bicara tentang batik peranakan Tionghoa, sulit untuk tak menyebut dua nama yang melegenda: Oey Soe Tjoen dan Tjoa Giok Tjiam. Meski tak lagi diproduksi, batik karya kedua tokoh ini masih menjadi buruan kolektor hingga saat ini.

Batik Oey Soe Tjoen tak asing di mata kolektor batik dalam dan luar negeri. Batik-batik OST generasi pertama dan kedua banyak diburu hingga hari ini, dan meski harganya mencapai ratusan juta rupiah. Menyebut tanda Oey Soe Tjoen di sudut kainnya, orang akan mafhum ada di kelas sosial mana kolektornya. Harga yang disandang sebanding dengan nilai seni kain yang kini menjadi salah satu bentuk investasi layaknya lukisan karya maestro ternama itu.
Selain dimiliki kolektor perorangan, batik-batik yang dicirikan dengan motif dan warna yang khas dengan teknik pembatikan yang sangat rapi -- bahkan untuk motif-motif yang sangat rumit -- ini tersebar di banyak museum di berbagai negara. Dalam beberapa pameran kain langka di Singapura atau Belanda, batik-batik OST ada di barisan pertama.
Satu yang harus digarisbawahi dari batikan karya Soe Tjoen adalah padanan warnanya yang menawan dan awet, serta dibatik di kedua sisi kain. Selain itu pembatikan dilakukan dengan menggunakan cating 0, salah satu alat membatik yang tak semua pembatik menguasai penggunaannya.
Dalam berkarya, Soe Tjoen hanya menggunakan kain primisima kualitas terbaik yang mendapat perlakuan khusus.
Dalam berkarya, Soe Tjoen hanya menggunakan kain primisima kualitas terbaik yang mendapat perlakuan khusus. Sebelum mulai dilukis dengan lilin, atau disebut malam dalam dunia batik, kain-kain itu selama beberapa hari diremas-remas dengan minyak kacang, atau proses ketel. Salah satu tujuannya adalah agar warna menyerap dengan sempurna dan awet menempel pada kain.
Proses peng-ketel-an ini tak sesederhana yang kita bayangkan. Peremasan kain dengan minyak kacang ini dilakukan dua sampai tiga kali sehari, selama tiga sampai lima hari. Tradisi sebelum proses pembatikan ini hingga kini masih dilakukan oleh generasi ketiga penerus bisnisnya, Widianti Widjaja, yang yang melakukan produksi batik tapi dalam skala kecil saja.
Nyonya Tjoa Giok Tjiam seperti yang kita tahu, adalah pelopor batik tiga negeri. Ia memulai usaha batiknya pada tahun 1910, dan terus diproduksi selama tiga generasi hingga 2014. Batik tiga negeri Tjoa menjadi buruan kolektor, terutama pada genre pembatikan kopi tutung (warna coklat tua seperti kopi sangrai gosong).

Beda dengan batik OST, batik tiga negeri harganya cenderung lebih murah. Kopi tutung yang sangat halus biasanya dihargai antara Rp 10-15 juta. Sedangkan tiga negeri biasa, yang dicirikan oleh warnanya yang kuning kecokletan, harganya sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2,5 juta.
Batik tiga negeri awalnya berwarna soga dengan motif isen-isen berupa ukelan. Padanan warna yang disematkan adalah hijau, biru, biru muda, hijau muda, merah marun, dan ungu. Pada perkembangannya, tak hanya isen-isen yang lebih beragam, tapi juga motif utama tak hanya berupa buketan. Motif baru seperti merak dengan ekor yang mengembang (dancing peacock) mulai diaplikasikan. Inovasi terbanyak dilakukan oleh generasi ketiga, terutama dalam hal tata warna dan isen-isen latar atau tanahan.
Beda dengan OST yang masih berproduksi walau terbatas -- dulu sebulan bisa 30-an lembar kain, kini setahun hanya paling banyak 20 lembar kain -- batik Tjoa sudah berhenti produksi. Beberapa alasan melatarbelakanginya, antara lain, sulitnya mencari tenaga kerja yang sesuai. Tjoa Siang Swie menjadi generasi terakhir yang memproduksinya pada akhir tahun 2014.
Seleksi-seleksian Komisioner KPU-Bawaslu
Beredarnya nama-nama komisioner terpilih sebelum fit and proper test dan pelanggaran mekanisme seleksi, bisa menjadi beban bagi KPU periode 2022-2027.
SELENGKAPNYACina Jadi Pusat Mobil Listrik Dunia
Berdasarkan data Badan Energi Internasional, 2021 terjadi momentum terbaik kenaikan jumlah kendaraan listrik yang beredar di seluruh dunia.
SELENGKAPNYA