Pekerja merapihkan stok minyak goreng kemasan di toko kelontong Pasar Kranggan, Yogyakarta, Ahad (20/2/2022). | Wihdan Hidayat / Republika

Tajuk

Bergerak Cepat dan Tegas

Pemerintah harus tegas jika ada oknum yang melakukan penimbunan sehingga terjadi kelangkaan.

Pemerintah harus bergerak cepat untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng di masyarakat. Tindakan yang diambil harus memberikan dampak yang nyata. Karena yang terjadi saat ini adalah masyarakat masih kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng, baik di pasar tradisional maupun modern.

Jika kita pikirkan, sesungguhnya kondisi saat ini merupakan hal yang sangat ironis. Karena belum lama ini, pemerintah sempat menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar di sektor hilir kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Seperti diketahui bersama, CPO merupakan bahan utama dari minyak goreng.

Dijelaskan, Indonesia mampu mencatatkan produksi nasional mencapai 52 juta ton. Karena itu, bukan tidak mungkin jika kita bakal menjadi pemasok kelapa sawit terbesar dengan persentase sebanyak 45 persen dari kebutuhan dunia.

Nah, catatan angka ini justru yang menjadi ironi yang menyedihkan. Terlepas dari 'kemampuan' yang kita miliki, masyarakat justru kesulitan dalam mendapatkan minyak goreng.

 
Terlepas dari 'kemampuan' yang kita miliki, masyarakat justru kesulitan dalam mendapatkan minyak goreng.
 
 

Seharusnya, kita dapat menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pemain yang memiliki peran besar di pasar. Bahkan, dapat memengaruhi penentuan harga. Akan tetapi, di negeri dengan pasokan minyak sawit yang selalu melimpah, masyarakat justru dipaksa untuk membeli minyak goreng mengikuti harga impor.

Karena itu, tak heran jika banyak pihak yang berpikir bahwa ada sesuatu yang salah ketika melihat kondisi yang saat ini terjadi. Munculnya pemikiran bahwa ada oknum-oknum yang mengambil keuntungan dari kesusahan yang dirasakan masyarakat pun menjadi masuk akal.

Pemerintah memang telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan terobosan untuk mengatasi masalah minyak goreng ini. Kebijakan DMO dan DPO sebagai solusi persoalan kelangkaan minyak goreng pun dianggap sudah cukup baik. Dua kebijakan ini dipandang tepat sebagai strategi jangka pendek untuk menstabilkan harga dan pasokan minyak goreng.

Dengan domestic mandatory obligation (DMO), para pengekspor CPO harus mengalokasikan 20 persen dari total volume ekspornya untuk kebutuhan dalam negeri. Sementara itu, pemerintah melalui domestic price obligation (DPO) menerapkan harga minyak goreng tertinggi (HET) menjadi Rp 14 ribu per liter.

Namun, kenyataan bahwa masyarakat masih kesulitan menemukan minyak goreng dengan harga sesuai eceran tertinggi (HET), setidaknya membuktikan bahwa ada masalah lain.

 
Kenyataan bahwa masyarakat masih kesulitan menemukan minyak goreng dengan harga HET, setidaknya membuktikan bahwa ada masalah lain.
 
 

Bisa saja masalahnya ada di tahap implementasi sehingga kedua kebijakan ini belum menjadi solusi yang dampaknya dirasakan oleh rakyat. Melihat hal itu, pemerintah harus melakukan terobosan lagi.  

Hal ini penting mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat. Kelangkaan produk ini pun berdampak buruk terhadap ekonomi rakyat. Ini mengingat kebutuhannya bukan hanya untuk kebutuhan lingkup keluarga. Ada jutaan UMKM yang produksinya terganggu akibat susahnya mendapat minyak goreng sesuai HET.

Pemerintah juga harus bersikap tegas jika memang ada oknum yang melakukan penimbunan sehingga terjadinya kelangkaan. Seperti yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi, yang mengingatkan agar para pelaku usaha untuk tidak melakukan penimbunan minyak goreng, di tengah kebijakan HET yang mulai berlaku di tingkat konsumen.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat