Sejumlah aktivis perempuan menggelar aksi damai mengecam kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). (ilustrasi) | ANTARA FOTO

Khazanah

Bagaimana Islam Memandang KDRT?

KDRT merupakan sesuatu yang dilarang dalam Islam

Di antara berbagai fenomena yang dapat berpotensi merusak harmoni suami-istri ialah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pakar ilmu tafsir Alquran, Dr Muchlis Hanafi, mengatakan, KDRT yang dilakukan baik secara verbal maupun fisik tidak dibenarkan oleh Islam.

“Itu (KDRT) hukumnya haram. Pelakunya jelas berdosa,” katanya saat dihubungi Republika, Ahad (6/2). 

Ia menjelaskan, Alquran memuat perintah kepada suami untuk senantiasa memperlakukan dan menggauli istri dengan baik. Bahkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.”

“Teladanilah Rasulullah SAW, yang merupakan contoh terbaik dalam memperlakukan istri. Aisyah RA mengatakan, Nabi SAW tidak pernah memukul siapapun, baik keluarga, sahabat, budak, maupun masyarakat secara umum—kecuali dalam peperangan,” kata alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir, ini. 

Perihal dalil

Pihak-pihak yang salah memahami Islam kerap menjadikan surah an-Nisa ayat 34 sebagai dalih perspektifnya, yakni agama ini “membenarkan” KDRT. Muchlis Hanafi menjelaskan, dalam ayat tersebut memang terdapat ungkapan wadhribuu hunna yang artinya, “pukullah mereka (istri)”.

Menurut dia, kata “pukullah” memang sering disalahpahami. Karena kesalahpahaman itu, Islam pun terzalimi dari dua sisi.

“Pertama, dari umatnya yang salah paham sehingga melakukan, bahkan melegalkan kekerasan terhadap istri dan keluarga. Kedua, dari mereka di luar Islam, yang menilai, Islam agama yang mendukung atau membolehkan kekerasan,” kata Muchlis.

Ayat itu dibuka dengan ungkapan ar-rijaalu qawwaamuuna ‘ala an-nisaa’. Yang juga sering disalahpahami, qawwaamuuna diartikan sebagai “pemimpin”. Muchlis menerangkan, dalam terjemahan mushaf Alquran yang terbaru qawwaamuuna diartikan sebagai “penanggung jawab”.

“Itu merujuk pada tugas suami sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab melindungi, mengayomi keluarganya. Hubungan lelaki dan wanita adalah keberpasangan, bukan hierarki antara atasan dan bawahan,” ujar Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran Balitbangdiklat Kemenag RI itu.

Para ulama memahami kata “pukul” (dharaba) dari wadhribuu dalam ayat tersebut sebagai tindakan yang tidak harus dalam bentuk fisik. Tujuannya semata-mata untuk mengungkapkan ketidaksukaan.

Seorang suami pun tidak dapat langsung menegur dengan pukulan terhadap istrinya yang nusyuz, yakni lalai menunaikan kewajiban atau menolak taat kepada sang suami.

Untuk menyelamatkan bahtera rumah tangga, kata Muchlis, Islam memberikan solusi kepada suami dan istri. Misalnya, menyampaikan nasihat atau berpisah ranjang selama beberapa malam.

Kalau semua itu tidak berhasil, barulah dengan dharaba, yang tidak harus diartikan sebagai pukulan fisik.

“Jika merujuk pada Rasulullah SAW, beliau meluapkannya dengan cara melempar siwak atau lidi, atau sesuatu yang tidak berpotensi melukai. Saya cenderung memaknai kata ‘pukullah’ ini sebagai teguran secara simbolik, sesuatu yang menunjukkan ketidaksukaan suami terhadap perilaku istrinya. Tujuannya bukan menyakiti, tapi mendidik,” ujarnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat