Komunitas yang tergabung dalam Solidaritas Peduli Jilbab (SPJ) melakukan aksi damai sosialisasi menutup aurat. Berhijab bisa dikatakan satu langkah menuju Muslimah sejati. | Republika/Rakhmawaty La

Fikih Muslimah

Tren Berhijab dan Definisi ‘Muslimah Sejati’

Memutuskan berhijab memang baik, dan bisa dikatakan satu langkah menuju Muslimah sejati.

OLEH DEA ALVI SORAYA

Jilbab adalah bagian dari identitas seorang wanita Muslim. Memakai jilbab (hijab) bagi perempuan Muslim juga termasuk dari perintah Allah SWT untuk menutup aurat. 

Zaman makin berkembang, hijab mengalami transformasi, dari identitas Muslimah menjadi tren busana yang terus berkembang. Kini, banyak produsen busana yang memadupadankan hijab dalam beragam tampilan.

Maka tidak aneh jika kini hijab menjadi salah satu mode busana yang terus berevolusi mengikuti zaman. Lantas, bagaimana cara menyikapi tren hijab ini? 

Pendiri Rumah Fiqih Ustaz Ahmad Sarwat menegaskan, perlu adanya pembeda antara tren hijab dengan hukum menutup aurat bagi Muslimah. Ustaz Sarwat mengatakan, Islam sejatinya hanya menyarankan para wanita untuk menutup aurat. Sedangkan, batasan aurat bergantung pada kesepakatan ulama yang tidak jarang memiliki perbedaan.

“Kalau urusan menutup aurat, sebenarnya dari dulu, ibu-nenek kita sudah menutup aurat, setidaknya mereka mengenakan baju yang sopan, minimal tidak mengumbar aurat. Menutup aurat ini yang menjadi tuntunan agama, sedangkan batasan aurat sendiri tergantung pada kesepakatan ulama,” jelasnya saat dihubungi Republika, Selasa (1/2).

photo
Memutuskan berhijab memang baik, dan bisa dikatakan satu langkah menuju Muslimah sejati. - (EPA-EFE/SERGEY DOLZHENKO)

Terkait dengan tren hijab, Ustaz Sarwat membaginya ke dalam dua sisi. Sisi pertama bertujuan untuk menyempurnakan konsep menutup aurat. Sejak tahun 80-an, hijab dengan beragam sebutannya sudah mulai dikenal dan dikenakan oleh Muslimah meski tidak sebanyak sekarang. "Maka, adanya tren hijab ini membuka kesadaran wanita Muslimin untuk mulai berhijab," kata dia. 

Tren ini didukung dengan banyaknya publik figur yang memutuskan berhijab dan membuat industri busana Muslim berkembang makin populer. Bahkan, sudah banyak industri hiburan yang membuat program khusus yang membahas mengenai tren busana Muslim, termasuk hijab. 

“Tren ini tentu baik karena dapat mengajak lebih banyak orang untuk menutup aurat. Namun, ini tidak bisa juga dikatakan 100 persen baik karena ada juga sisi negatifnya,” kata Ustaz Sarwat. 

“Kesalahpahaman yang kerap muncul adalah citra orang yang sudah berjilbab di mata publik. Terkadang mereka yang telah memutuskan berhijab dianggap memiliki taraf keimanan yang lebih tinggi dibanding mereka yang belum berhijab,” sambungnya.

photo
Sejumlah Polisi Wanita (Polwan) Polres Aceh Utara berpose dengan pakaian dinas Polwan berjilbab usai kegiatan Polwan masuk Desa di Lapangan Alue Dua - (Antara)

Efek yang mengecohkan dari tren hijab ini, kata dia, terjadi karena berkembangkan perspektif publik bahwa “wanita berhijab lebih alim dibandingkan dengan yang tidak berhijab”. Dia menjelaskan, stigma itu tentu tidak dapat dibenarkan karena patokan level keimanan seseorang tidak dapat diukur dengan atribut yang dia kenakan saja.  

“Karena ilmu agama tidak otomatis terinstal ketika orang memutuskan untuk berhijab, tentu perlu belajar dulu dan itu tidak sebentar. Ini yang agak mengecoh, maka tren hijab ini memiliki sisi positif dan negatifnya yang perlu diwaspadai,” ujarnya menegaskan.

Saat ditanya mengenai istilah “Muslimah sejati”, Ustaz Sarwat menegaskan bahwa tolok ukur kesempurnaan seorang Muslim atau Muslimah bukan dari atribut yang dikenakan, tapi ketaatannya dalam menjalankan syariat agama.

 
Ukuran agama atau keimanan itu bukan hijab, tapi menutup aurat. Dan hijab ini bukan tolok ukur karena sekarang hijab ini sudah menjadi tren busana.
 
 

 

“Ukuran agama atau keimanan itu bukan hijab, tapi menutup aurat. Dan hijab ini bukan tolok ukur karena sekarang hijab ini sudah menjadi tren busana. Jadi, tidak benar kalau ada yang menjadikan hijab sebagai patokan atau tolak ukur keimanan,” ungkapnya. 

Dia menjelaskan, tolok ukur keimanan dan keislaman seseorang itu banyak dan dari berbagai sisi, mulai dari ibadahnya, ilmunya, kemampuan membaca Alquran, pemahaman fikihnya, atau lainnya.

Sementara itu, hijab hanya kostum, jadi tidak bisa disimpulkan bahwa mereka yang berhijab sudah bisa dikatakan Muslimah sejati. "Karena definisi muslimah sejati itu harus ditelusuri lagi maksudnya apa, dan kesejatian itu tidak bisa disimpulkan hanya karena kostumnya saja,” ujar dia. 

Meski begitu, Ustaz Sarwat mengakui, citra yang muncul di masyarakat tidak akan lepas dari penampilan yang ditampilkan seseorang, termasuk atribut atau kostum yang dia kenakan. Walaupun memakai hijab merupakan keputusan yang baik, dia mengingatkan bahwa memakai jilbab hanya satu dari 100 cara untuk mencapai gelar Muslimah sejati.  

“Memutuskan berhijab memang baik, dan bisa dikatakan satu langkah menuju Muslimah sejati, tapi ingat, ada 99 langkah lagi yang perlu dicapai untuk meraih gelar Muslimah sejati. Ingat bahwa ada orang lain yang mungkin sudah 50 langkah tapi memang belum memutuskan berhijab,” ujar dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat