Sejumlah santri mengikuti kajian kitab kuning di Pondok Pesantren Darul Amin, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (27/4/2021). Setiap Muslim dianjurkan untuk memiliki dan menerapkan akhlak yang terpuji. | ANTARA FOTO/Makna Zaezar

Kitab

Memahami Akhlak Islami

Setiap Muslim dianjurkan untuk memiliki dan menerapkan akhlak yang terpuji.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Islam menempatkan akhlak dalam posisi yang penting. Bahkan, sosok mulia yang membawa risalah tersebut, Nabi Muhammad SAW, menegaskan hal itu. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.”

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, al-khuluq, yang berarti ‘tingkah laku’ atau ‘perangai'. Secara istilah, akhlak merupakan tingkah laku seseorang yang didorong kehendak untuk berbuat baik.

Dalam ajaran Islam, setiap Muslim dianjurkan untuk memiliki dan menerapkan akhlak yang terpuji. “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya,” begitu pesan beliau.

Seorang mubaligh Mesir, Abu Abdullah Musthafa al-‘Adawy Syalbayah, menuliskan sebuah karya yang komprehensif tentang akhlak karimah. Buku itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Qisthi Press. Judulnya ialah Fikih Akhlak.

Dalam karyanya itu, Musthafa al-‘Adawy memaparkan berbagai wujud penerapan akhlak islami dalam kehidupan. Aplikasi akhlak itu tampil dalam berbagai konteks, mulai dari hubungan antarindividu hingga komunitas. Cakupan yang ditawarkan buku setebal 507 halaman ini cukup luas sehingga pantas menjadi salah satu rujukan.

 
Aplikasi akhlak itu tampil dalam berbagai konteks, mulai dari hubungan antarindividu hingga komunitas.
 
 

 

Al-‘Adawy mengawali pembahasan di dalam buku tersebut dengan mengingatkan pembaca tentang keutamaan Muslim yang berakhlak. Menurut dia, Islam sangat menganjurkan lurusnya tabiat seorang Mukmin. Dengan begitu, kehormatan akan diperoleh, baik di dunia maupun akhirat.

Tidak ada tujuan yang lebih utama selain beribadah kepada Allah. Dengan menjaga akhlak, seorang Muslim akan terdorong untuk selalu konsisten dalam upaya meraih ridha-Nya.

Al-‘Adawy mengatakan, harapan seorang Mukmin ialah bahwa kebaikannya dikenang di bumi dan disebut-sebut di akhirat kelak. Dambaan itu tidaklah tercela. Bahkan, hal itu merupakan salah satu kebajikan dalam Islam.

Berbagai ayat Alquran menerangkan sejumlah golongan manusia yang mendapatkan cinta Allah Ta’ala. Mereka semua gemar mengamalkan akhlak yang baik, semisal berbuat adil, sabar, tawakal, atau bertobat.

Segenap perilaku itu dapat membawa kemaslahatan bagi diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitarnya. Allah mencintai sebagian hamba-Nya itu sehingga cinta-Nya tercurah untuk mereka. Di antara sesama manusia pun, orang-orang itu memperoleh sambutan yang hangat.

Rasul SAW merupakan contoh paripurna mengenai akhlak karimah. “Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebaikan) hari Kiamat dan banyak mengingat Allah” (QS al-Ahzab: 21).

Maka dari itu, al-‘Adawy mengingatkan, siapapun yang hendak menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak mulia, hendaknya melihat perjalanan hidup Nabi SAW dan mengikuti keteladanan beliau.

Muslimin kini memang berjarak ruang dan waktu yang begitu jauh dengan Rasul SAW. Belasan abad telah berlalu sejak wafatnya beliau. Akan tetapi, justru Rasulullah SAW sendiri yang menjanjikan kedekatan dirinya dengan Mukminin. Asalkan, mereka memenuhi kriteria yakni berakhlak luhur.

Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat tempat duduknya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling luhur budi pekertinya” (HR Tirmidzi).

Lantas, siapakah yang bertempat duduk paling jauh dengan beliau kelak pada hari akhir? Dalam hadis yang sama, terungkap jawabannya. Mereka adalah ats-tsartsarun, al-mutasyaddiqun, dan al-mutafayhiqun. Berturut-turut, ketiganya berarti kaum yang banyak bicara, bermulut besar, dan sombong.

Ikhlas itu kunci

Al-‘Adawy menyajikan puluhan contoh akhlak yang utama menurut Islam di dalam karyanya, Fikih Akhlak. Di antaranya ialah, menjaga perasaan orang, rendah hati terhadap sesama Mukmin, tidak angkuh dalam berbicara, serta jangan menganggap diri suci. Sang penulis kemudian menyimpulkan, seluruh tabiat yang dianjurkan adanya pada diri Muslimin berkenaan dengan ikhlas.

Kata ikhlash berakar dari khalasha yang berarti ‘jernih’ atau ‘suci dari campuran dan pencemaran'. Dalam konteks amal ibadah, seseorang dianggap telah ikhlas apabila ia beramal karena Allah semata. Seorang mukhlis menghindari pujian dan perhatian makhluk, serta membersihkan amal perbuatan yang dilakukannya dari setiap yang mencemarkan.

Menurut al-‘Adawy, salah satu faktor kesuksesan dalam konsistensi akhlak ialah ikhlas. Dalam arti, mantapkanlah niat dan tujuan hanya untuk menggapai ridha Illahi. “Jika Anda memberi, maka berilah hanya karena Allah. Jika Anda mencintai, maka cintailah hanya karena Allah, dan jika Anda membenci, bencilah karena Allah,” tulisnya.

Ada cukup banyak dalil yang menekankan pentingnya ikhlas setelah berbuat baik. Misalnya, surah al-Insan ayat 8 dan 9. Arti dari ayat tentang keutamaan sedekah itu sebagai berikut. “Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. ‘Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian hanya mengharap keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terima kasih'.”

 
Ada cukup banyak dalil yang menekankan pentingnya ikhlas setelah berbuat baik. 
 
 

 

Allah menjanjikan balasan yang besar bagi mereka yang ikhlas menderma. “Orang yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi. Dan niscaya kelak ia akan mendapatkan kesenangan (yang sempurna).” (QS al-Lail: 18-21).

Sebaliknya, ancaman siksa yang besar dialamatkan kepada mereka yang tidak ikhlas. Ketidaktulusan itu tetap menjadi faktor pembeda di hadapan Allah. Walaupun seseorang semasa hidupnya dikenal sebagai Muslim yang berakhlak mulia, ganjaran surga belum tentu dapat diperolehnya selama jauh dari ridha Illahi.

Al-‘Adawy dalam karyanya ini menukil sebuah hadis yang cukup panjang. Nabi SAW mengisahkan nasib sejumlah Muslimin yang telah beramal di dunia, tetapi sia-sialah nilai ibadah mereka itu di hadapan Allah. Sebab, hati orang-orang itu masih tercemar nafsu ingin dipuji manusia.

Nabi SAW bersabda, “Sungguh, orang pertama yang akan diputuskan pada hari Kiamat kelak adalah seorang yang mati syahid. Ia dihadapkan kepada Allah dan diingatkan akan nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan hal itu diakuinya. Kemudian Allah berfirman, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan (nikmat) itu semua?’

Jawabnya, ‘Aku telah berperang untuk Engkau hingga mati syahid.’

Allah berfirman, ‘Kamu berdusta.  Kamu berperang untuk dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani.’ Lantas, ia diseret ke dalam api neraka.

Orang yang kedua dihadapkan kepada Allah. Ia adalah orang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta pandai membaca Alquran. Maka diberitakan tentang nikmat-nikmat yang telah ia peroleh dan ia mengakuinya. Allah berfirman, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan (nikmat) itu semua?’

Jawab orang itu, ‘Aku telah belajar ilmu, mengajarkannya, serta membaca Alquran untuk Engkau.’

photo
Dalam buku ini, topik akhlak islami dibahas secara bernas dan mendalam. - (DOK IST)

Allah berfirman, ‘Kamu berdusta. Kamu belajar ilmu agar mendapat gelar alim, membaca Alquran agar mendapat gelar qari.’ Kemudian diperintahkan kepada malaikat untuk mencampakkannya ke dalam api neraka.

Orang ketiga yang dihadapkan kepada Allah adalah ia yang diluaskan rezekinya dan hidup kaya (semasa di dunia). Maka diberitakan kepadanya tentang nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya, dan ia mengakuinya. Allah berfirman, ‘Apa yang telah kamu lakukan dengan (nikmat) itu semua?’

Jawab orang itu, ‘Aku selalu mendermakannya demi Engkau di jalan yang Engkau sukai.’ Allah berfirman, ‘Kamu berdusta. Kamu mendermakan harta agar disebut dermawan, dan telah dikenal begitu di dunia.’ Maka Allah memerintahkan malaikat untuk melemparkan orang itu ke dalam neraka.”

Demikian beberapa pesan penuh hikmah yang dijabarkan dalam buku ini. Karya dari murid Syekh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i tersebut bagaikan oase yang menyegarkan pemahaman pembaca tentang pentingnya menjaga akhlak.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat